Minggu, 17 Juli 2011

Masyarakat Adat Trauma, hadang rombongan 14 Negara

KLU-Suarakomunitas.net, --- Kegiatan Field Trip dalam rangka Internasional Conversion Forest Tenure ,Governance and Interprise  yang dibuka langsung oleh Wakil Persiden RI, Prof. Dr. H. Budiono,Senin (11/07) di hotel Sentosa Senggigi,  sejak awal ditentang oleh sebagian komunitas Adat di Lombok Utara.
Hal ini dkarenakan oleh kurangnya koordinasi antara penyelenggara dengan tokoh-tokoh masyarakat adat. Selain itu masyarakat juga masih trauma dengan  banyaknya permasalahan yang kaitannya dengan eksploitasi budaya. Saat Kegiatan field trip dilaksanakan peserta dibagi menjadi lima kelompok. Tiga kelompok menuju Lombok Tengah dan Lombok Timur dan dua Kelompok menuju kawasan hutan Lombok utara.

Kedatangan  lembaga pemerhati lingkungan yang terdiri dari 14 Negara ke kawasan hutan Lombok Utara, Kamis (14/07/2011) disambut oleh Bupati KLU di Kawasan Hutan Monggal.
Ssetelah acara penyambutan, rombongan Pemerhati Lingkungan 14 Negara berdasarkan rencana dijadwalkan memasuki kawasan hutan dan Sumber mata air, namun pada saat memasuki kawasan hutan rombongan di hadang oleh sekelompok masyarakat adat.

Menurut salah seorang tetua adat yang tidak mau disebutkan namanya, ketika ditanya seputar keinginan para tamu dari 14 negara untuk memasuki kawasan hutan tersebut, “harus terlebih dahulu mengadakan ritual, supaya setiap orang yang memasuki kawasan hutan tidak diganggu oleh mahluk penunggu hutan,”katanya.

 “Selain itu ritual juga bertujuan untuk membersihkan niat orang yang tidak baik dalam memperlakukan hutan yang ada,”tambahnya meyakinkan.Saat ditanya tentang keterlibatan masyarakat adat, tetua adat menerangkan bahwa memang benar mereka dilibatkan tetapi pemberitahuan tentang kegiatan baru dilakukan sehari sebelum pelaksanaan.

“Bagaimana kami tahu maksud dan tujuan dari penyelenggaraan kegiatan oleh 14 Negara tersebut, sementara kami seakan-akan dijadikan obyek kajian dan obyek eksploitasi saja atau bahasa kasarnya jadi kelinci percobaan,” cetusnya.

Sementara itu  ketua kelompok I field trip berbesar hati atas penolakan masyarakat adat yang tidak memberikan ijin memasuki kawasan hutan dan sumber mata air, dan akhirnya perjalanan pun dilanjutkan ke kawasan Hutan Masyarakat Wet adat Sesait (HKM Santong).

Di kawasan hutan adat wet sesait tamu diperlakukan dengan baik oleh masyarakat adat dan diteima di plawangan (gerbang memasuki kawasan hutan).

Sama halnya dengan di desa genggelang, masyarakat adat Sesait tidak mengizinkan rombongan field trip 14 negara memasuki kawasan hutan. Namun demikian masyarakat adat tetap memperlakukan para tamu dengan baik seraya mengajak mereka berdialog.

Menurut juru tulis Pembekel Adat, Masidep mengatakan kepada suarakomunitas.net bahwa, komunitas masyarakat adat se KLU pada dasarnya memiliki konsep yang sama dalam pemeliharaan hutan.

“Jadi kami tidak mengizinkan orang asing memasuki kawasan hutan, sebelum dilakukan ritual adat. Apalagi panitia penyelenggara tidak pernah melibatkan masyarakat adat dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan,”katanya menyayangkan.

Akan tetapi, lanjut Masidep, “Kami masyarakat adat memanfaatkan moment ini untuk berdialog dengan para pemerhati Lingkungan dari berbagai Negara. Kami bisa berbagi cerita dengan mereka, disamping itu kami juga mengungkapkan segudang persoalan yang dihadapi komunitas masyarakat adat sehingga harapan kami mereka tidak akan pernah percaya kepada siapa pun terhadap informasi yang kaitannya dengan keberadaan masyarakat Adat kecuali dari Purusa (keturunan) Komunitas  Adat itu sendiri,”ungkapnya.

Ditegaskan Masidep bahwa, rombongan tamu 14 negara tidak kecewa ketika pihaknya melarang mereka memasuki kawasan hutan. Justru sebaliknya, mereka mengacungi jempol terhadap aksi yang kami lakukan, bahkan salah seorang mereka bertanya tentang apa yang dilakukan masyarakat adat terhadap keberadaan hutan, padahal menurut mereka masyarakat adat lebih dulu ada ketimbang HKM.

Penolakan masyarakat adat tidak hanya dilakukan oleh komunitas masyarakat adat Genggelang dan Komunitas masyarakat Adat Sesait saja. Pada waktu yang bersamaan komunitas masyarakat adat Bayan juga menolak kedatangan kelompok II field Trip yang dijadwalkan akan meninjau kawasan Hutan Taman Nasional (HTN) dan Rumah adat Karang Bajo.

Menurut salah seorang tokoh adat R. Akria Buana, yang juga Kepala Desa Senaru, menuturkan kepada wartawan Suarakomunitas.net, bahwa penolakan tersebut berdasarkan Gundem Beleq (Rapat Akbar) para Pemangku Adat Bayan di Bale Bencingah (Balai Musyawarah Adat) dan telah bersurat kepada Gubernur TGKH. Zaenul Majdi, untuk tidak hadir pada acara peresmian Pembangunan Bale Pusaka Sebaya Satanta yang dirangkai denga kegiatan Field Trip 14 negara.

Raden Akria Buana menjelaskan bahwa, alasan penolakan tersebut adalah karena masyarakat adat trauma dengan berbagai upaya dari sekelompok orang yang tidak bertanggung jawab, yang ingin mengkomersilkan budaya.

Selain itu, sambungnya, saat ini komunitas masyarakat adat Bayan sedang menghadapi permasalahan yang dikarenakan adanya upaya perebutan situs budaya penting, masyarakat adat Bayan oleh pihak-pihak yang berupaya menjual adat kepada pihak asing.

Sehingga pada acara field trip saat ini, lanjut kepala Desa yang biasa di sapa pak Raden ini, bahwa untuk tetap menjaga nama baik Bangsa di mata Internasional yang dikenal sebagai bangsa yang ramah dan sopan masyarakat adat mengalihkan rute perjalanan rombongan 14 negara yang semula akan meninjau sekaligus mengikuti peresmian pembangunan Bale Pusaka Sebaya Satanta di Karang Bajo, terpaksa pihaknya mengalihkan ke kawasan Mesjid Kuno Bayan Beleq.(DN)

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar