Sabtu, 28 September 2013

Ritual Tradisi ”Taeq Lauq” di Kalangan Masyarakat Adat Wet Sesait, Nyaris Punah

Sesait,(SK),-- Adat adalah sesuatu yang bersifat luhur, yang menjadi landasan kehidupan bagi masyarakat. Adat ditetapkan secara bersama sejak zaman dahulu hingga sekarang sebagai sarana menjamin keharmonisan antara sesama manusia dengan alam sekitar dan manusia dengan sang penciptanya.
Menurut Pembekel Adat Sesait Masidep, mengatakan bahwa adat sering dipertentangkan dengan agama oleh banyak kalangan, terutama dimasa transisi dari istilah ”gama telu”(gama waktu telu) menjadi ”gama lima” (agama Islam). Justeru agama mengakui keberadaan adat sebagai bentuk pengejawantahan dari keyakinan beragama.
Dikatakan Masidep, umumnya dalam masyarakat Suku Sasak khususnya komunitas adat wet Sesait, dikenal istilah ”Adat Luwir Gama”, bahwa adat bersendikan agama. ”Hukum adat sangat perlu ditumbuhkan sepanjang tidak bertentangan dengan norma-norma agama,”jelasnya.
Dengan istilah ”agama diadatkan” dan bukan ”adat diagamakan” artinya, lanjut Masidep, yang juga tokoh adat berpengaruh ini berpendapat bahwa, perintah-perintah agama harus diadatkan atau dibudayakan dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Masyarakat adat wet Sesait sangat menjunjung tinggi keluhuran adat luwir gama dengan senantiasa melaksanakan tradisi upacara keagamaan versi adat Sesait, seperti upacara agama bulan Mi’raj, upacara syukuran bulan lebaran, upacara ruwah tanaman, upacara kelahiran,upacara kematian, upacara ngurisan,upacara sunatan, perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw secara adat dan lain-lain.
Pada zaman dahulu secara turun-temurun sebelum datangnya pergerakan penyempurnaan ajaran Islam di gumi paer Sesait, upacara-upacara adat tradisi lokal yang sering di lakukan masyarakat adat wet Sesait seperti upacara Mempayone Gunung Kenawan, mempayone Lande dan mempayone Gunung Gedeng (taek lauq). Tetapi sejalan dengan datangnya pergerakan penyempurnaan ajaran Islam di gumi paer adat wet Sesait, segala bentuk ritual adat yang bertentangan dengan ajaran Islam di hentikan atau di larang.

Maka sejak tahun 1968 segala bentuk ritual tersebut di larang untuk dilakukan.Kecuali ritual adat yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam tetap dilakukan, bahkan hingga kini ritual tersebut masih dilestarikan, seperti ziarah ke makam penyebar agama Islam di Sesait yang di kenal dengan sebutan ’Kubur Beleq’ (Kanjeng Pangeran Sangupati), ziarah ke makam Sesait di Bayan (Datu Bayan) dan upacara peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw yang dilaksanakan secara adat di Sesait.
Dalam tulisan kali ini, penulis mencoba untuk sekedar mengulas kilas balik dari prosesi adat ”Taek Lauq” yang pernah dilakukan oleh masyarakat adat wet Sesait sebelum datangnya pergerakan penyempurnaan ajaran Islam ke gumi paer Sesait tahun 1968 silam.
Menurut Inaq Ijin (76) salah seorang tokoh keturunan Mangku Gedeng yang kini tinggal di Lokok Tujan Desa Sesait Kecamatan Kayangan KLU menuturkan kepada penulis tentang rangkaian prosesi ritual upacara adat ”Taek Lauq” hingga akhir pelaksanaannya.
Di tuturkannya, ritual adat taek lauq yang secara turun-temurun dilakukan purusanya dari sejak zaman ireng (zaman kegelapan) adalah salah satu sarana untuk memohon kepada yang kuasa atas penomena alam, seperti musim kemarau yang berkepanjangan, sehingga hal ini sangat merugikan bagi masyarakat yang pada saat itu membutuhkan air hujan untuk segala kebutuhan hidup. Karena satu-satunya yang diharapkan pada saat itu adalah hanya air hujan.Belum ada air irigasi seperti yang ada sekarang ini.
Maka untuk mengatasi hal tersebut, lanjut cerita Inak Ijin, sebagai yang bertanggung jawab untuk semua itu adalah Mangku Gedeng.Melihat kejadian ini, lalu Mangku Gedeng (Papuk Nanom,Papuk Jumedah) tidak tinggal diam, bagaimana mengatasi permasalahan yang di hadapi masyarakatnya kala itu.
Untuk mengatasi hal tersebut, selaku Mangku Gedeng pada masa di jabat oleh Papuk Nanom (abad 18 M), Papuk Jumedah (abad 19 M) dan Papuk Surya (abad 20), pertama yang dilakukannya adalah mengadakan rapat (sangkep) dengan ”Tau Lokaq Empat (Mangkubumi,Jintaka,Pemusungan dan Penghulu) ” bagaimana langkah-langkah mengatasi yang sedang menimpa masyarakat gumi paer Sesait kala itu.Oleh Tau Lokaq Empat bersama Mangku Gedeng sepakat untuk menggelar upacara adat ”Taeq Lauq” ke Montong Gedeng (gunung Kayangan yang sekarang), dimana di Montong Gedeng ini terdapat petilasan seorang tokoh spiritual bernama Panji Mas Kolo yang mengaku saudara kandung dari Datu Bayan.
Diceritakan Inaq Ijin, setelah sepakat untuk menggelar upacara adat Taeq Lauq tersebut dan ketika sudah tiba waktunya, maka pelaksanaannya pun segera di gelar selama 3 hari 2 malam, yaitu setiap tanggal 12,13 dan 14 Syawal tiap tahun. Namun sebelum pelaksanaan itu di gelar, lanjut Inaq Ijin,Mangku Gedeng di bantu oleh para pelingsirnya melakukan berbagai persiapan, seperti melakukan bersih-bersih dilokasi sekitar petilasan Panji Mas Kolo yang dijadikan tempat ritual nantinya termasuk membuat berugak saka empat disekitar petilasan.Adapun segala persiapan untuk perabotan kayu Salinguru, tales diambil dari pawang adat utara Sesait, termasuk atap berugak yang terbuat dari Santek dilapisi Ijuk (dibuat di Karang Lande Lokok Rangan yang sekarang). Itulah sebabnya pada zaman dahulu, juga pernah di adakan ritual ”Mempayone Lande”, tetapi sekarang sudah menjadi perkampungan Karang Lande Lokok Rangan.
Pada hari pertama ritual ”Taeq Lauq” yaitu pada tanggal 12 Syawal, gong dua di turunkan dari peraduannya (dari rumah adat Mangku Gedeng Papuk Jumedah).Setelah itu barulah masyarakat adat wet Sesait berdatangan untuk merembun ke rumah Mangku Gedeng yang dulu terletak di utara Mesjid Kuno Sesait.Sementara tari-tarian pun terus berlangsung tanpa henti mengiringi ritual merembun tersebut hingga malam hari.
Keesokan harinya yaitu tanggal 13 Syawal, Mangku Gedeng ”Tun Melauk”(turun ke Montong Gedeng duluan). Dalam perjalanan Mangku Gedeng ini pun tidak boleh ada orang yang mengetahui, termasuk tidak boleh berbicara,jika dia makan tidak boleh mengajak orang berbicara, tidak boleh bertemu dengan praja Taeq Lauq.Hal ini dimaksudkan agar segala bangsa hewan dan unggas tidak buas. ”Pokoknya tidak boleh ngomong kepada siapa saja alias diam seribu bahasa,”jelas Inak Ijin dengan mimik serius.
Kemudian pada hari ketiga yaitu puncaknya tanggal 14 syawal, masyarakat wet Sesait mulai berdatangan ke Sesait dengan membawa segala macam kelengkapan sajian makanan yang di kemas di atas dulang adat, termasuk gong gambelan dari segala penjuru wet adat Sesait. Termasuk mempersiapkan sepasang muda-mudi yang belum aqil balek sebagai Praja Taek Lauq.
Setelah semuanya telah siap, maka iring-iringan pun di gelar dengan posisi praja Taeq Lauq berada paling depan diapit dan di iringi para pelingsir adat, dibelakangnya diikuti oleh para pengiring pasukan tombak muda-mudi, lalu di belakangnya barisan pembawa dulang saji adat, baru kemudian di belakangnya lagi diiringi gong dua dan gong gambelan lainnya. Setelah itu baru diikuti oleh masyarakat umum.
Perjalanan ritual Taeq Lauq menuju Montong Gedeng tersebut di lakukan pada sore hari dan menyusuri hutan belantara (pawang adat pedewak Sesait). Tiba di kaki Montong Gedeng sebelah selatan menjelang Maghrib.Lalu di lanjutkan dengan ritual penyembelihan kerbau berbulu putih yang belum dewasa.
Penyembelihan ini pun dilakukan di kaki Montong Gedeng sebelah selatan. Ketika segala sesuatunya sudah siap, sajiannya lalu di bawa naik ke atas dimana petilasan Panji Mas Kolo berada dengan di iringi gong dua. Sementara masyarakat pengiring termasuk praja Taeq Lauq dan gong gambelan lainnya tetap tinggal di bawah.Tari-tarian pun terus berlangsung hingga Mangku Gedeng selesai melaksanakan tugasnya di atas.
Setelah Mangku Gedeng selesai melaksanakan tugasnya di atas, maka Mangku Gedeng pun turun diringi gong dua dan di sambut oleh Praja Taek Lauq, para pelingsir adat, gong gambelan lainnya serta masyarakat kebanyakan yang sejak sorenya menunggu. Sambil bersorak sorai kegirangan yang tak terbendung dari masyarakat menyambut turunnya Mangku Gedeng yang telah selesai melaksanakan tugasnya.Tari-tarian pun terus di gelar hingga tiba waktunya untuk berangkat pulang kembali ke rumah sesuai dengan asal masing-masing, yang dari Sesait kembali ke Sesait, yang dari Luk kembali ke Luk, dari Kelongkong kembali ke Kelongkong, dari Rempek kembali ke Rempek dan lain sebagainya. Iring-iringan pulang pun berlangsung penuh kegirangan sambil terus menari.
Seluruh rombongan yang ikut ambil bagian dalam ritual Taek Lauq ini, ketika kembali dan sebelum memasuki pintu gerbang pintu masuk ke Sesait, maka oleh Tau Lokak Empat, mereka di sembek terlebih dahulu baru boleh masuk di tanah Sesait. Hal ini dilakukan karena ritual yang dilakukan pada jaman itu, di anggap keluar dari aqidah ajaran Islam. Sehingga prosesi ritual Taek Lauq seperti yang pernah dilakukan pada zaman itu praktis sejak tahun 1968 resmi di larang. Walau ritual ini sudah dilarang, namun keturunan Mangku Gedeng yang hingga kini masih hidup, tetap melakukannya walau hanya sebatas ruwah biasa.(Eko)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar