Jumat, 26 April 2013

Kenyamanan sebagai makna hakiki manusia beradab (3)

Oleh : Abu Mushlih Ari Wahyudi

Muslim.Or.Id (SK),-- Kenyamanan jiwa bukanlah suatu hal yang mudah didapat, layaknya orang bijak bicara seharusnyalah kita bisa menemukan kenyamanan jiwa dikala usia mulai bertambah, tapi sepertinya hal itu butuh perjuangan yang besar karena kenyamanan jiwa memang mahal harganya. Usia yang bertambah, pengalaman hidup mengajarkan begitu banyak hal, mulai dari yang salah hingga yang benar, mulai dari yang pahit hingga menyenangkan, mulai dari yang mudah hingga yang berat, segala warna, seribu rasa dan jutaan kisah, tapi kapankah kita temukan kenyamanan jiwa?

Saat begitu banyak keinginan yang bermain dengan indahnya di dalam kepala ini, ada keinginan untuk bisa tidur lebih lama, keinginan untuk bisa punya pasangan yang baik, keinginan untuk makan enak, keinginan untuk bisa liburan panjang tanpa harus memikirkan pekerjaan, keinginan untuk sukses di karir, keinginan untuk bahagiakan keluarga,keinginan untuk bisa lebih dan lebih lagi...hingga kita bisa mendengarkan suara hati yang paling dalam, jujur dan rendah hati untuk bicara "bersyukurlah dengan apa yang telah terjadi dalam hidup kita". Orang bijak bicara,"apapun itu pasti ada maknanya."

Lalu kita kembali bertanya, dengan semua hal di atas, kapankah kenyamanan jiwa akan ditemukan?

Dalam diam yang hening, saat kita melihat senyum yang tulus, saat kita menutup mata menjelang tidur yang lelap, saat kita membantu yang susah, saat kita menerima ucapan terima kasih, saat-saat kita memberikan makna bagi sesama adalah wujud menjelang kenyamanan jiwa... Kenyamanan jiwa adalah kemampuan kita bermain dengan isi kepala...dan tingkat penerimaan diri. Karena kenyamanan jiwa yang utuh hanya ketika kita bersama-Nya.

Rumusan orang mengenai kenyamanan hidup pastilah beragam. Maka, tidak heran jika masing-masing memiliki definisinya sendiri. Makan enak, rumah mewah, penghasilan besar, dan sebagainya, mungkin menjadi bagian dari “isi” kenyamanan hidup dari kita semua. Sehingga, hal itu patut untuk diperjuangkan.

Tetapi, kenyamanan pribadi seperti di atas bukanlah segala-galanya bagi seseorang. Banyak orang yang telah memperoleh berbagai macam kenikmatan secara individu, tetapi justru merasa kesepian dan gelisah. Kenapa seperti itu? Tidak lain adalah ia telah melupakan kenyamanan yang lebih tinggi sebagai makhluk sosial yaitu kenyamanan sosial.

Di sini ia akan merasakan lebih bahagia ketika hidup di dalam komunitas tertentu. Lebih bahagia lagi jika bisa memberi kontribusi di dalamnya. Ia akan merasa hidupnya berguna, berarti, dan dihargai. Melalui komunitasnyalah ia bisa berekspresi, yang secara fitrah adalah sebuah kebutuhan. Orang yang hidup kaya raya cepat atau lambat akan mencapai puncak kejenuhan. Jika ia tidak bisa mengekspresikan dirinya maka ia akan merasa gelisah, tidak berguna, dan hidup terasa hampa. Meskipun segala kenikmatan telah dimilikinya.

Agar bisa berekspresi, seseorang butuh orang lain untuk mengapresiasi atau merespon ekspresinya. Bahkan, dengan pujian dan penghargaan. Ini adalah fitrah sosial sebagai manusia. Makanya, ia butuh hidup dalam komunitas tertentu. Karena sesungguhnya, salah satu bentuk kenyamanan hidupnya ada pada kehidupan sosial itu. Kenyamanan sosial ini akan mengantarkan seseorang untuk mencapai kenyamanan hidup yang lebih tinggi, lebih luas, dan lebih banyak.
Kita bisa membedakan lebih tinggi mana, apakah tingkat kenyamanan pribadi ataukah kenyamanan sosial, melalui gambaran di bawah ini.
Katakanlah soal makan enak. Kenikmatan makan adalah ketika ia bisa makan sampai kenyang. Yang menjadi parameter di sini adalah isi perut dan rasa di lidah. Jika sudah kenyang, makanan yang enak pun akan terasa tidak enak lagi. Dan, jika lidah sudah berulang kali merasakannya, semuanya akan membosankan. Mencoba mengejar lagi, mencari makanan yang lain, hasilnya sama saja. Betapa terbatasnya kenyamanan pribadi itu.
Demikian juga dengan penghasilan besar yang bisa untuk membeli rumah mewah, perhiasan, pakaian mahal, dan lain-lain. Awalnya sangatlah senang memiliki rumah mewah dan perhiasan mahal. Tetapi, itu tidak akan bertahan lama. Beberapa bulan atau tahun, perasaan itu sudah biasa lagi. Ketika ia hanya diukur untuk kepentingan pribadi, kenikmatannya menjadi demikian terbatas, tidak tahan lama dan semakin lama akan biasa bahkan membosankan. Makanya, supaya tidak bosan ia akan mengejar lagi dan lagi apa-apa yang belum ia punyai. Milik orang selalu menggiurkan. Dan, sering kali bosan dengan segala sesuatu yang telah dimiliki dan berulang kali dinikmati. Termasuk dalam urusan seksualitas. Maka, ia akan terjebak pada keserakahan.
Dalam kesempatan ini saya akan menyinggung sedikit tentang poligami. Apalagi sekarang marak kontroversi tentang berdirinya klub poligami di Bandung. Ketika poligami untuk kesenangan pribadi, maka poligami tak lebih adalah sebuah bentuk dari keserakahan manusia yang dilegalkan. Ini tak ada bedanya dengan sudah punya mobil, masih ingin punya mobil lagi lebih banyak. Karenanya sangat keliru kalau kita mencoba mengatasi desakan keinginan dan kesenangan pribadi dengan cara mengumbarnya agar tercapai kepuasan yang kita inginkan. Padahal, kepuasan pribadi tidak akan pernah terpuaskan. Jika berpoligami dibolehkan menurut agama yang mereka anut, apakah tidak keliru? Sedangkan di Kitab Suci mereka, tidak akan pernah ditemukan ayat yang membolehkan poligami karena alasan kesenangan pribadi.
Tentang berdirinya klub poligami yang asalnya dari Malaysia itu. Ini bukti bahwa mereka tidak nyaman dengan hidup mereka. Bosan, hampa, dan merasa diri tidak berarti meskipun telah memiliki empat orang istri dan kaya sekalipun. Makanya, mereka membangun komunitas agar mereka bisa mengekspresikan dirinya sehingga mendapat apresiasi atau bahkan penghargaan dan pujian dari komunitasnya tersebut. Sehingga, diharap hidup mereka tidak hampa lagi. Untuk itu masyarakat tidak perlu resah, kita semua memaklumi jika pemahamannya seperti itu.
Sangat terasa sekali bedanya, bukan? Ternyata kenyamanan pribadi itu sangat terbatas jika dibandingkan dengan kenyamanan sosial. Kita akan merasa sangat bahagia jika bisa memberikan kontribusi dan membantu orang lain. Semakin kita lakukan semakin kita bahagia dan puas. Bahkan, kebahagiaan dan kenyamanan kita tidak terbatas. Ini berarti kenyamanan yang lebih tinggi ada pada interaksi dan saling memberi manfaat. Kita boleh mengejar kenyamanan pribadi, tetapi tidak boleh mengumbarnya sehingga menjadi serakah. Karena kenyamanan pribadi itu cepat atau lambat akan mencapai titik kejenuhan. Sedangkan kenyamanan sosial tidak pernah mengalami titik jenuh. Karena sumbernya lebih banyak dan bersumber pada orang lain. (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar