Sabtu, 01 Oktober 2011

Peninggalan Sejarah di Gumi Paer Sesait, Menyimpan Nilai Sejarah

Sesait, -- Berbicara mengenai sejarah, pandangan kita tidak pernah lepas dari masa lampau.

Sejarah bukanlah suatu yang asing bagi kita.Walaupun demikian, masih banyak diantara kita yang belum mengetahui sejarah peninggalan masa lalu yang ada disekitar kita. Hal ini disebabkan karena  kurangnya  peninggalan – peninggalan tertulis yang ditinggalkan oleh masyarakat terdahulu yang sampai kepada generasi berikutnya.

Dalam tulisan kali ini, terfokus pada beberapa peninggalan sejarah yang ditemukan di Gumi Paer Sesait, yang berhasil penulis kumpulkan dari berbagai sumber.

Menurut Perbekel Adat Sesait Masidep, menyebutkan ada beberapa peninggalan sejarah yang ditemukan di Gumi Paer Sesait, yang hingga kini masih tersimpan lestari. Peninggalan-peninggalan sejarah tersebut, ada disimpan dalam Kampu dan ada pula masih disimpan oleh keturunannya.

Diantara peninggalan sejarah yang hingga kini masih tersimpan lestari tersebut,

Pertama, Kulem adalah nama sebuah alat yang dipergunakan oleh Mak Beleq (sebutan Datu Bayan sebelum menjadi Datu Bayan) sebagai sikap (senjata) dalam perjalanan jauh ke Semboya, untuk memantau kawasan utara gunung Rinjani yang nantinya akan dijadikan sebagai lokasi mendirikan sebuah kerajaan.

Kulem, yang sudah berusia puluhan abad ini, secara turun binurun masih tersimpan rapi oleh keturunannya yang ke-58  di dusun Sumur Pande Tengak Desa Sesait Kecamatan Kayangan KLU. Kulem tersebut adalah sejenis Perisai terbuat dari kayu dan sebilah keris.

Sebenarnya, Kulem ini adalah nama orang yang mendampingi Mak Beleq dalam perjalanannya menuju daerah Semboya, untuk melihat  seluruh daerah kawasan utara gunung Rinjani, daerah yang mana kira-kira yang cocok untuk mendirikan sebuah kerajaan baru. Dari kerajaan baru inilah nantinya akan dijadikan pusat penyebaran Islam keseluruh pelosok dikawasan utara gunung Rinjani.

Mak Beleq, dengan didampingi oleh pengiringnya yang bernama Kulem pada masa itu, sebelum sampai ke tempat tujuan, Mak Belek singgah dulu disebuah gubug di daerah Santong (sekarang Santong Asli) untuk beristirahat sejenak menghilangkan kepenatan akibat perjalanan jauh. Gubug yang digunakan oleh Mak Beleq sebagai tempat istirahat tersebut, hingga sekarang gubug  ini masih terpelihara dengan baik oleh keturunannya, yang memang berdasarkan purusanya.

Untuk sampai ketempat yang dituju oleh Mak Beleq bersama pendampingnya Kulem kala itu, mengharuskan dirinya singgah dulu untuk beristirahat dirumah yang sampai saat ini masih terpelihara di Santong Asli. Setelah itu baru dilanjutkan perjalanannya menuju Semboya. Tiba disana, dicarilah tempat yang cocok dijadikan pijakan, untuk melihat daerah sejauh mata memandang yang ada di lereng utara gunung Rinjani. Batu pijakan yang digunakan oleh Mak Beleq kala itu, yang oleh masyarakat adat wet Sesait dikenal dengan nama”Batu Penginjakan Semboya,” juga sampai saat ini masih terpelihara dengan baik dan dijaga oleh purusanya.

Kedua, ‘Bale Bangar Gubuq’, yang oleh masyarakat setempat disebutnya Pagalan. Bale ini, terletak ditengah-tengah Gubuq Dasan Beleq, dengan ukuran 5x5 m. Bale (rumah) ini, menurut Malinom, keberadaannya diyakini dibuat oleh orang yang pertama kali datang dan menetap di Dusun Dasan Beleq.

“Kedatangannya dari mana, dan siapa nama nya, itu tidak bisa dipastikan,”kata Malinom dengan mimik yang penuh keseriusan.
Namun menurut Sahir (40), salah seorang tokoh muda yang disegani di dusun setempat, menceritakan kepada suarakomunitas.net, tentang keberadaan dari seorang wali penyebar agama Islam yang pertamakali datang dan menetap di kampung Dasan Beleq tersebut.
Diceritakan, konon katanya, pada sekitar abad 16 Masehi, ketika agama Islam sudah mulai tersebar ke seluruh pelosok tanah air, tak terkecuali para penyebar ajaran Islam sampai juga ke wilayah utara lereng gunung Rinjani. Termasuk di gumi Dasan Beleq ini.

Para penyebar agama Islam yang pertama kali datang ke tempat itu (Dasan Beleq), menurut Sahir, diawali dari Gunung Rinjani. Penyebar agama Islam ini, bernama Mak Beleq dan Kendi (menyerupai Kendi) turun dari Gunung Rinjani, yang dikemudian hari, dalam perjalanan sejarah, setelah berkuasa dan menyebarkan agama Islam di daerah Bayan, Mak Beleq dikenal dengan sebutan Datu Bayan.Sedangkan temannya yang bernama Kendi tadi, kala itu,tetap tinggal dan menyebarkan agama Islam di daerah Dasan Beleq dan sekitarnya.
Ketiga, Peninggalan Sriangge, berupa : Takepan Lahat yang ditulis didaun lontar, Kitab Shalawatan dan Umbak Bayan, juga yang hingga kini masih tersisa adalah pohon Kelor dan Paving block. Pohon Kelor (remunggek) ini masih ada hingga sekarang, tidak jauh dari makamnya. Pohon ini dulunya diyakini sengaja ditanam dekat tempayan (Ploncor) yang digunakan sebagai wadah menyimpan air untuk wudu’.
Dalam menjalani kehidupan bersama istrinya di gawah alas bana ini, Sriangge terus menjalankan  kewajibannya untuk ta’at kepada Allah Swt, hingga akhir hayatnya.Disamping itu, hingga saat ini bekas peninggalan Sriangge masih tersimpan.
Menurut Amaq Sudirahman (Narimah), salah seorang keturunan ke -12 dari Sriagan, menceritakan bahwa ke-5 anak Sriagan ini, antara lain Sriangge, Bading, Gubah, Oncok dan Goneng.
”Kelima anak dari Sriagan ini mempunyai andil dalam memperluas wilayah penyebaran Islam kala itu,”sebut Narimah.
Sebut saja, lanjut Narimah  seperti Gubah, mendapat tugas ke Soloh dan ke Jawa Timur serta ke Betawi, Bading ke Lombok Tengah, Goneng ke Bayan, Oncok di sekitar Barat Laut wet Sesait dan Sriangge ke Beraringan dan sekitarnya.

Bagaimana kiprah dan keberadaan dari para penyebar Islam putra asli dari Gumi Paer Sesait ini, tidak banyak diketahui. Hanya yang dibahas dalam tulisan ini adalah ketokohan Sriangge dan keteguhan imannya dalam mempertahankan ajaran Islam dari pengaruh Hindu yang masuk ke wet Sesait kala itu.

Di ceritakan bahwa ketika berkuasanya kerajaan Majapahit sampai menguasai seluruh Nusantara lewat sumpah serapah dari patihnya  Gajah Mada, maka pengaruhnya sampai juga ke tanah / gumi paer Sesait, yang kala itu penduduknya menganut agama Islam yang ta’at beribadah. Sehingga, ketika pengaruh Hindu ini masuk ke gumi paer Sesait, maka dari kalangan santri yang ta’at beribadah ini, meninggalkan gumi paer Sesait untuk mengasingkan diri dari pengaruh Hindu ke salah satu kawasan Gawah Alas Bana, yang belum pernah terjamah tangan manusia.
Di Gawah Alas Bana (diyakini sebelah barat Dusun Beraringan sekarang) inilah Santri yang bernama Sriangge bersama keluarganya tinggal dan menetap hingga akhir hayatnya.
Keempat, Peninggalan Sayyid Anom dalam kiprahnya menyebarkan agama Islam. Al-Qur’an tulis tangan pada kulit onta, yang usianya menurut Piagam Sesait sekitar 580 tahun yang lalu. Disamping itu, ada juga peninggalannya yang lain, seperti Mesjid Kuno, Tongkat khutbah yang terbuat dari hati pohon pisang (galih) dan Balai Agung Adat (Singgasana Raja) yang disebut Kampu.

Ajaran-ajaran yang dibawa oleh ulama Sayyid Anom ini adalah Fiqh Ushul dan Tasawuf. Dalam praktek syiarnya, metode yang dilakukan adalah tidak bertentangan dengan adat istiadat setempat. Sehingga dalam perayaan hari-hari besar Islam, seperti Maulid Nabi Muhammad Saw  ketika itu, dilaksanakan secara adat. Hingga kini, ritual Maulid adat di kampung yang namanya Sesait ini, tetap lestari pelaksanaan Maulid secara Adat.

Ulama Sayyid Anom, dalam penyampaian risalah atau ajaran agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw ini, menurut Piagam Sesait, bahwa Raja Sesait Demung Melsi Jaya, berikut empat orang Patihnya masuk Islam pada awal abad ke 17.

Kelima, Peninggalan situs pemandian Inaq Empleng Bleleng yaitu Situs Sumur Lokok Paok.

Sekitar satu kilo meter ke arah barat laut Kampung Sesait inilah lokasi situs Sumur Lokok Paok itu berada. Keberadaan sumur ini, persis dilereng bukit gontoran Gunung Konoq, diatas Lokok Saong sebelah timur Gubuq Setowek, yang  hingga kini keasliannya masih terpelihara rapi. Hanya saja, seiring dengan perubahan zaman jutaan abad yang silam, penutup dari sumur ini sudah raib ditelan waktu.

Menurut cerita M.Ali salah seorang tokoh masyarakat Sesait, menceritakan hal ihwal keberadaan sumur lokok paok tersebut.

Di ceritakannya bahwa, sumur lokok paok ini, dulu pada zaman ireng, sumur ini diyakini sebagai sumur tempat pemandian Inaq Empleng Bleleng. Batu lesung yang ada persis didekat sumur ini, diyakini sebagai wadah tempat menumbuk kelapa atau sejenisnya sebagai alat untuk keramas. Kebiasaan orang tua zaman dahulu, sebelum mandi, biasanya keramas terlebih dahulu, baru kemudian mandi ’melangeh’.

Tidak jauh dari tempat batu lesung tadi, yaitu sekitar satu meter arah utara darinya terdapat satu buah batu lesung lagi yang lubangnya ada lima. Ini, menurut M.Ali, diyakini juga sebagai tempat Inaq Empleng Bleleng menaruh segala macam racikan ramuan untuk dijadikan obat-obatan.

Disamping situs Sumur Lokok Paok, ada dua sumur lagi berderet disebelah utaranya, yaitu Sumur Lokok Lengkak dan Sumur Lokok Koloh yang menyerupai gua. Dari sumur Koloh yang menyerupai gua inilah hingga sekarang digunakan oleh penduduk Sejongga, untuk mengambil air sebagai sumber kehidupan mereka.

Keenam, situs Lokok Kremean,Sumur Jukung, Sumur Minyak, Batu Lesong dan Lokok Nampih.

Menurut penuturan Lakiep (48) yang sudah empat tahun menjaga situs ini, menjelaskan bahwa, situs-situs ini ada keterkaitannya satu sama lain dan mengaku sebagai penjaga situs tersebut berdasarkan Purusa (garis keturunan) dari Bapuk Buntit-Amaq Sanggia (Marga Sanggia).

”Menurut cerita orang tua jaman dahulu, bahwa sebelum pelaksanaan Maulid Adat, ditempat situs ini, Pare (padi)  ditutu (ditumbuk) , kemudian ditampik (dibersihkan), kemudian di Krem (di rendam), lalu dibuat Jaja Pangan (sejenis penganan), lau di goreng. Setelah semuanya  ini sudah selesai, kemudian dibawa kembali menggunakan Jukung (sampan/rakit) ke Kampu (rumah adat) di Sesait untuk proses selanjutnya.”cerita Lakiep dengan semangat.

”Itulah sebabnya ada situs Batu Lesong (digunakan untuk menumbuk padi), situs Lokok Nampih (tempat Menampik/membersihkan beras), situs Lokok Kremean (tempat merendam beras sebelum dibuat jaja pangan) dan situs Sumur Jukung (diyakini sebagai sampan/rakit untuk membawa beras dan jaja pangan ke Kampu),”jelas Lakiep.

Ketujuh, Sumur Pemandian Datu Sesait Lokok Kapuk. Konon, menurut sejarah Sesait, dimasa jayanya pemerintahan “Datu Sesait” atau yang lebih dikenal oleh masyarakat Wet Sesait dengan sebutan “Tau Lokak Empat” (Pemusungan, Penghulu, Mangku Gumi dan Jintaka), sumur lokok Kapuk ini adalah di yakini sebagai tempat Pemandiannya.

Menurut cerita A.Kaimah (alm) yang berkuasa di Kampu Sesait (1870) sebagai Raja Sesait yang ke-25 kala itu, yang diceritakan kembali oleh Dagul dan Bukren, bahwa keberadaan Sumur Lokok Kapuk ini, dulunya adalah sebagai induk dari seluruh mata air yang bermunculan di gontoran Sentul hingga Gubug Setowek. Namun setelah Sumur Lokok Kapuk ini ditutup oleh Tau Lokak Empat Sesait, maka sumur ini tidak lagi mengeluarkan air seperti sedia kala atau sebesar sebagaimana keadaannya semula.

Sebagaimana diceritakan bahwa diameter sumber mata air di sumur lokok Kapuk yang diyakini ditunggui oleh seekor ikan Tuna Putih ini adalah sebesar batang pohon enau. Tidak bisa dibayangkan, betapa besar air yang keluar dari sumur tersebut. Sehingga ketika sumur ini belum ditutup dulu, aliran airnya membentuk sebuah kali besar. Namun sekarang, bekas aliran kali tersebut sudah menjadi areal persawahan milik Dagul Sentul.

Sumur ini ditutup oleh Tau Lokak Empat Sesait, menggunakan Ijuk, pare bulu satu ikat, sebilah keris, seekor ayam putih mulus  dan daun  sirih digulung kemudian dimasukkan dalam kepeng bolong dalam sebuah upacara ritual adat, karena dikhawatirkan akan menjadi rebutan penguasa Hindu yang sampai ke wet Sesait kala itu. Seandainya sumur ini tidak ditutup, maka orang-orang Hindu pelarian Majapahit dari Jawa abad 16 silam, akan bermukim dan menetap di lokasi sekitar sumur itu.

Kekhawatiran para sesepuh Sesait kala itu, patut diacungi jempol. Karena berhasil menutup sumur yang menjadi tempat pemandian para Datu yang memerintah di wet Sesait kala itu. Sehingga dengan ditutupnya sumur tersebut, penguasa Hindu yang datang ke Sesait yang merupakan pelarian dari Majapahit karena terdesak dengan masuknya pengaruh Islam masa itu, maka tidak menemukan sumur yang merupakan tempat pemandian para ‘Datu Sesait’ yang berkuasa secara turun-binurun.

Kedelapan, Situs Makam Datu Sentul yang bernama ’Sinom’. Makam ini tidak jauh dari jalan raya Sentul-Cempaka dan terletak dipinggir telabah, sekitar 10 meter  sebelah timur rumah Masdan (43) di Sentul Desa Pendua Kecamatan Kayangan Lombok Utara.

Keberadaan Makam ini, yang oleh masyarakat setempat diyakini memilki Karomah tersendiri. Misalnya saja, menurut salah seorang tokoh masyarakat Sentul yang tidak ingin dipublikasikan namanya mengatakan, ketika ada anggota masyarakat yang secara kebetulan duduk di atas makam Datu ini, maka seketika buah pelirnya terasa membesar. Padahal kenyataannya tidak demikian. Hanya perasaannya saja yang merasakan buah pelirnya membesar.

Menurut sejarah, ketika Datu Sinom ini memerintah kerajaan Sentul ratusan tahun silam, diceritakan bahwa pada masa jayanya, Datu Sinom adalah satu – satunya Raja yang tidak memiliki musuh dengan raja-raja yang berkuasa dilingkar utara gunung Rinjani kala itu. Termasuk dengan Raja Sesait. Karena antara Raja Sentul dengan Raja Sesait berbesan.

Wilayah kerajaan Sentul diyakini adalah hanya sebatas gontoran Sentul yang sekarang hingga Gubug Setowek. Kerajaan ini memiliki Kaula Bala sejumlah 144 KK. Itulah sebabnya, hingga sekarang, jumlah penduduk yang mendiami daerah Sentul yang menjadi sebuah Dusun saat ini harus berjumlah 144 KK. Tidak boleh lebih dari itu. Kalau lebih, menurut Bukren, harus pindah tempat tinggal diluar dari wet Sentul.

Peninggalan Datu Sinom diantaranya adalah Sumur Lokok Buyut. Sumur ini adalah tempat pemandian Datu Sinom beserta keluarganya. Namun keberadaan keluarga maupun sampai kapan memerintah, tidak banyak diketahui. Hanya, Datu sinom ini memiliki menantu yang bernama Merkani. Merkani inilah yang menurunkan nenek moyang Bukren Klau di Sesait.Dan salah satu peninggalannya yang sangat terkenal hingga kini masih dilestarikan adalah ’Tembang Sinom’.

Kesembilan, Situs telapak kaki Datu Keling. Menrut keterangan tokoh Adat KLU, Djekat S.Sos. yang juga anggota DPRD KLU, bahwa bekas telapak kaki ini erat kaitannya dengan cerita rakyat atau dongeng masyarakat Sesait, yaitu kisah perjalanan Teruna Keling (Datu Keling). Konon ceritanya Datu Keling pernah berwasiat kepada Kaula Balanya (Rakyat) jika suatu saat dia akan menghilang maka dia akan meninggalkan bekas telapak kakinya. Sangat besar kemungkinan, jika bekas telapak kaki ini adalah jejak Datu Keling seperti yang diwasiatkan.

Hal ini juga, dibenarkan oleh Juru Tulis Pembekel Adat Wet Sesait,Masidep. menjelaskan bahwa kisah perjalanan Datu Keling diabadikan dalam cerita Cupak Gurantang. Konon ceritanya, Teruna Kling memiliki dua orang putra. Putra pertamanya bernama Cupak yang berkarakter rakus dan sombong sedangkan putra keduanya bernama Gurantang adalah sosok yang lembut, baik hati, jujur dan patuh kepada orang tua. Sehingga kisah cupak gurantang diabadikan dalam bentuk drama oleh masyarakat.
Disamping keberadaan situs telapak kaki yang menempel ditebing bebatuan sungai cempogok Kayangan tersebut, bukti yang lain memperkuat dugaan bahwa, memang benar bekas telapak kaki Datu Keling yang diyakini pernah berkuasa disekitar lereng gunung Rinjani pada masa pra aksara, juga tidak jauh  dari situs telapak kali ini,sekitar dua ratus meter kea rah selatan, ditemukan pula situs Jukung (sampan/rakit), Telapak Kaki Kuda dan situs dudukan serta situs aliran air seni dari Datu Keling yang menempel disekitar bebatuan kelat lante Empak Mayong Kayangan.
 
Tidak hanya itu saja, sebagai pendukung keberadaan situs telapak kaki ini, sekitar 500 meter kearah barat daya situs tersebut, ditemukan pula situs Sumur Jembung dan situs Batu Dendeng Bertutup. Situs-situs yang ditemukan ini pula, yang oleh masyarakat adat wet Sesait diyakini sebagai peninggalan dari Datu Keling yang pernah ada dan jaya dimasanya.(Eko).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar