Kamis, 24 Maret 2011

Kondisi Pranata Lokal Pada Wet Sesait (6)

SESAIT, -- Beberapa temuan dalam intervensi pranata lokal pada wet Sesait (Persekutuan Adat Sesait), fungsi dan eksistensinya di masyarakat wet Sesait (Desa Kayangan, Desa Sesait, Desa Pendua dan Desa Santong) sampai saat ini sangat kuat.

Tidak jarang institusi (pranata) ini masih efektif dan mampu menyelesaikan berbagai persoalan dan konflik horisontal serta mampu mengajukan perubahan struktur pemerintahan desa berikut tugas dan fungsi tanggung jawabnya.

Menurut Perbekel Adat Sesait Masidep, menjelaskan bahwa institusi pranata lokal dan unsur-unsur yang mampu bertahan dan ada yang diaktifkan kembali dalam sistem  Pemerintahan Desa pada era otonomi luas saat ini, diantaranya, sebut saja Banjar,Lang-lang, Merebot, Kyai, Penghulu, Calak, Pembayun, Mangku, Belian, Pemusungan, Juru Tulis, Keliang, Jintaka, Anakoda, Pengancang, Nyawen dan lain-lain.

Keberadaan institusi dan pranata lokal di Sesait ini, lanjut Masidep, tetap bertahan   dari zaman ke zaman dan eksistensinya tetap kuat untuk di jalankan, baik dari segi tugas, fungsi maupun tanggung jawabnya.

Selanjutnya temuan hasil inventarisasi beberapa institusi dan pranata lokal, baik yang masih tetap dipakai oleh Pemerintah setempat dan masyarakat, namun harus dikembalikan dahulu, maupun yang masih kuat keberadaannya ditengah-tengah masyarakat, serta menjabarkan peran, fungsi dan tanggung jawabnya dari satuan-satuan pemerintahan desa.

Menurut pemerhati Adat Wet Sesait, Abidin Tuarita,B.Sc  mengatakan bahwa, institusi dan pranata lokal yang sampai saat ini diberdayakan kembali, diantaranya adalah Pemusungan, Keliang, Juru Tulis, Juru Arah, Lang-lang, Mangku Gumi, Penghulu,Toak Lokaq, Jintaka, Aji Makam,Anakoda dan lain-lain.

Selanjutnya Abidin Tuarita juga menjelaskan bahwa institusi dan pranata lokal yang kembali diberdayakan di Sesait ini, adalah merupakan hak-hak masyarakat adat yang selama era pemerintahan orde baru telah dikebiri bahkan dibekukan.

Konsepsi Negara Kesatuan Republik Indonesia pada masa pemerintahan ored baru, benar-benar mengalami internalisasi setelah keluarnya UU No.5 Tahun 1979. Keluarnya produk Undang-undang ini memberi arti yang cukup mendalam bagi tenggelamnya hak-hak masyarakat adat atas kelembagaan sosial, budaya,ekonomi dan politik.

Undang-undang Pemerintahan Desa yang berbau monolitik ini,lanjut Abidin, memberlakukan penyeragaman struktur pemerintahan desa yang sebelumnya memiliki struktur kelembagaan pemerintahan masyarakat adat yang plural.

”Hak-hak masyarakat adat meliputi tiga hal mendasar, yaitu, pertama; mengacu pada hak-hak atas sumber kehidupan/hak ulayat yang berada diwet geografis mereka, kedua; pengakuan hak-hak masyarakat adat didasarkan pada tradisi dan hukum yang mengatur masyarakat adatnya sendiri; dan yang ketiga adalah pengakuan pada sistem dan kelembagaan sosial, budaya, ekonomi dan politik, ”urai Abidin Tuarita.(Eko).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar