Sesait,(SK),-- Adat
adalah sesuatu yang bersifat luhur, yang menjadi landasan kehidupan bagi
masyarakat. Adat ditetapkan secara bersama sejak zaman dahulu hingga
sekarang sebagai sarana menjamin keharmonisan antara sesama manusia
dengan alam sekitar dan manusia dengan sang penciptanya.
Menurut
Pembekel Adat Sesait Masidep, mengatakan bahwa adat sering
dipertentangkan dengan agama oleh banyak kalangan, terutama dimasa
transisi dari istilah ”gama telu”(gama waktu telu) menjadi ”gama lima”
(agama Islam). Justeru agama mengakui keberadaan adat sebagai bentuk
pengejawantahan dari keyakinan beragama.
Dikatakan Masidep, umumnya dalam
masyarakat Suku Sasak khususnya komunitas adat wet Sesait, dikenal
istilah ”Adat Luwir Gama”, bahwa adat bersendikan agama. ”Hukum adat
sangat perlu ditumbuhkan sepanjang tidak bertentangan dengan norma-norma
agama,”jelasnya.
Dengan istilah ”agama diadatkan” dan
bukan ”adat diagamakan” artinya, lanjut Masidep, yang juga tokoh adat
berpengaruh ini berpendapat bahwa, perintah-perintah agama harus
diadatkan atau dibudayakan dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Masyarakat adat wet Sesait sangat
menjunjung tinggi keluhuran adat luwir gama dengan senantiasa
melaksanakan tradisi upacara keagamaan versi adat Sesait, seperti
upacara agama bulan Mi’raj, upacara syukuran bulan lebaran, upacara
ruwah tanaman, upacara kelahiran,upacara kematian, upacara
ngurisan,upacara sunatan, perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw secara adat
dan lain-lain.
Pada zaman dahulu secara turun-temurun
sebelum datangnya pergerakan penyempurnaan ajaran Islam di gumi paer
Sesait, upacara-upacara adat tradisi lokal yang sering di lakukan
masyarakat adat wet Sesait seperti upacara Mempayone Gunung Kenawan,
mempayone Lande dan mempayone Gunung Gedeng (taek lauq). Tetapi sejalan
dengan datangnya pergerakan penyempurnaan ajaran Islam di gumi paer adat
wet Sesait, segala bentuk ritual adat yang bertentangan dengan ajaran
Islam di hentikan atau di larang.
Maka sejak tahun 1968 segala bentuk ritual tersebut di larang untuk
dilakukan.Kecuali ritual adat yang tidak bertentangan dengan ajaran
Islam tetap dilakukan, bahkan hingga kini ritual tersebut masih
dilestarikan, seperti ziarah ke makam penyebar agama Islam di Sesait
yang di kenal dengan sebutan ’Kubur Beleq’ (Kanjeng Pangeran Sangupati),
ziarah ke makam Sesait di Bayan (Datu Bayan) dan upacara peringatan
Maulid Nabi Muhammad Saw yang dilaksanakan secara adat di Sesait.
Dalam tulisan kali ini, penulis mencoba
untuk sekedar mengulas kilas balik dari prosesi adat ”Taek Lauq” yang
pernah dilakukan oleh masyarakat adat wet Sesait sebelum datangnya
pergerakan penyempurnaan ajaran Islam ke gumi paer Sesait tahun 1968
silam.
Menurut Inaq Ijin (76) salah seorang
tokoh keturunan Mangku Gedeng yang kini tinggal di Lokok Tujan Desa
Sesait Kecamatan Kayangan KLU menuturkan kepada penulis tentang
rangkaian prosesi ritual upacara adat ”Taek Lauq” hingga akhir
pelaksanaannya.
Di tuturkannya, ritual adat taek lauq
yang secara turun-temurun dilakukan purusanya dari sejak zaman ireng
(zaman kegelapan) adalah salah satu sarana untuk memohon kepada yang
kuasa atas penomena alam, seperti musim kemarau yang berkepanjangan,
sehingga hal ini sangat merugikan bagi masyarakat yang pada saat itu
membutuhkan air hujan untuk segala kebutuhan hidup. Karena satu-satunya
yang diharapkan pada saat itu adalah hanya air hujan.Belum ada air
irigasi seperti yang ada sekarang ini.
Maka untuk mengatasi hal tersebut,
lanjut cerita Inak Ijin, sebagai yang bertanggung jawab untuk semua itu
adalah Mangku Gedeng.Melihat kejadian ini, lalu Mangku Gedeng (Papuk
Nanom,Papuk Jumedah) tidak tinggal diam, bagaimana mengatasi
permasalahan yang di hadapi masyarakatnya kala itu.
Untuk mengatasi hal tersebut, selaku
Mangku Gedeng pada masa di jabat oleh Papuk Nanom (abad 18 M), Papuk
Jumedah (abad 19 M) dan Papuk Surya (abad 20), pertama yang dilakukannya
adalah mengadakan rapat (sangkep) dengan ”Tau Lokaq Empat
(Mangkubumi,Jintaka,Pemusungan dan Penghulu) ” bagaimana langkah-langkah
mengatasi yang sedang menimpa masyarakat gumi paer Sesait kala itu.Oleh
Tau Lokaq Empat bersama Mangku Gedeng sepakat untuk menggelar upacara
adat ”Taeq Lauq” ke Montong Gedeng (gunung Kayangan yang sekarang),
dimana di Montong Gedeng ini terdapat petilasan seorang tokoh spiritual
bernama Panji Mas Kolo yang mengaku saudara kandung dari Datu Bayan.
Diceritakan Inaq Ijin, setelah sepakat
untuk menggelar upacara adat Taeq Lauq tersebut dan ketika sudah tiba
waktunya, maka pelaksanaannya pun segera di gelar selama 3 hari 2
malam, yaitu setiap tanggal 12,13 dan 14 Syawal tiap tahun. Namun
sebelum pelaksanaan itu di gelar, lanjut Inaq Ijin,Mangku Gedeng di
bantu oleh para pelingsirnya melakukan berbagai persiapan, seperti
melakukan bersih-bersih dilokasi sekitar petilasan Panji Mas Kolo yang
dijadikan tempat ritual nantinya termasuk membuat berugak saka empat
disekitar petilasan.Adapun segala persiapan untuk perabotan kayu
Salinguru, tales diambil dari pawang adat utara Sesait, termasuk atap
berugak yang terbuat dari Santek dilapisi Ijuk (dibuat di Karang Lande
Lokok Rangan yang sekarang). Itulah sebabnya pada zaman dahulu, juga
pernah di adakan ritual ”Mempayone Lande”, tetapi sekarang sudah menjadi
perkampungan Karang Lande Lokok Rangan.
Pada hari pertama ritual ”Taeq Lauq”
yaitu pada tanggal 12 Syawal, gong dua di turunkan dari peraduannya
(dari rumah adat Mangku Gedeng Papuk Jumedah).Setelah itu barulah
masyarakat adat wet Sesait berdatangan untuk merembun ke rumah Mangku
Gedeng yang dulu terletak di utara Mesjid Kuno Sesait.Sementara
tari-tarian pun terus berlangsung tanpa henti mengiringi ritual merembun
tersebut hingga malam hari.
Keesokan harinya yaitu tanggal 13
Syawal, Mangku Gedeng ”Tun Melauk”(turun ke Montong Gedeng duluan).
Dalam perjalanan Mangku Gedeng ini pun tidak boleh ada orang yang
mengetahui, termasuk tidak boleh berbicara,jika dia makan tidak boleh
mengajak orang berbicara, tidak boleh bertemu dengan praja Taeq Lauq.Hal
ini dimaksudkan agar segala bangsa hewan dan unggas tidak buas.
”Pokoknya tidak boleh ngomong kepada siapa saja alias diam seribu
bahasa,”jelas Inak Ijin dengan mimik serius.
Kemudian pada hari ketiga yaitu
puncaknya tanggal 14 syawal, masyarakat wet Sesait mulai berdatangan ke
Sesait dengan membawa segala macam kelengkapan sajian makanan yang di
kemas di atas dulang adat, termasuk gong gambelan dari segala penjuru
wet adat Sesait. Termasuk mempersiapkan sepasang muda-mudi yang belum
aqil balek sebagai Praja Taek Lauq.
Setelah semuanya telah siap, maka
iring-iringan pun di gelar dengan posisi praja Taeq Lauq berada paling
depan diapit dan di iringi para pelingsir adat, dibelakangnya diikuti
oleh para pengiring pasukan tombak muda-mudi, lalu di belakangnya
barisan pembawa dulang saji adat, baru kemudian di belakangnya lagi
diiringi gong dua dan gong gambelan lainnya. Setelah itu baru diikuti
oleh masyarakat umum.
Perjalanan ritual Taeq Lauq menuju
Montong Gedeng tersebut di lakukan pada sore hari dan menyusuri hutan
belantara (pawang adat pedewak Sesait). Tiba di kaki Montong Gedeng
sebelah selatan menjelang Maghrib.Lalu di lanjutkan dengan ritual
penyembelihan kerbau berbulu putih yang belum dewasa.
Penyembelihan ini pun dilakukan di kaki
Montong Gedeng sebelah selatan. Ketika segala sesuatunya sudah siap,
sajiannya lalu di bawa naik ke atas dimana petilasan Panji Mas Kolo
berada dengan di iringi gong dua. Sementara masyarakat pengiring
termasuk praja Taeq Lauq dan gong gambelan lainnya tetap tinggal di
bawah.Tari-tarian pun terus berlangsung hingga Mangku Gedeng selesai
melaksanakan tugasnya di atas.
Setelah Mangku Gedeng selesai
melaksanakan tugasnya di atas, maka Mangku Gedeng pun turun diringi
gong dua dan di sambut oleh Praja Taek Lauq, para pelingsir adat, gong
gambelan lainnya serta masyarakat kebanyakan yang sejak sorenya
menunggu. Sambil bersorak sorai kegirangan yang tak terbendung dari
masyarakat menyambut turunnya Mangku Gedeng yang telah selesai
melaksanakan tugasnya.Tari-tarian pun terus di gelar hingga tiba
waktunya untuk berangkat pulang kembali ke rumah sesuai dengan asal
masing-masing, yang dari Sesait kembali ke Sesait, yang dari Luk kembali
ke Luk, dari Kelongkong kembali ke Kelongkong, dari Rempek kembali ke
Rempek dan lain sebagainya. Iring-iringan pulang pun berlangsung penuh
kegirangan sambil terus menari.
Seluruh rombongan yang ikut ambil bagian
dalam ritual Taek Lauq ini, ketika kembali dan sebelum memasuki pintu
gerbang pintu masuk ke Sesait, maka oleh Tau Lokak Empat, mereka di
sembek terlebih dahulu baru boleh masuk di tanah Sesait. Hal ini
dilakukan karena ritual yang dilakukan pada jaman itu, di anggap keluar
dari aqidah ajaran Islam. Sehingga prosesi ritual Taek Lauq seperti yang
pernah dilakukan pada zaman itu praktis sejak tahun 1968 resmi di
larang. Walau ritual ini sudah dilarang, namun keturunan Mangku Gedeng
yang hingga kini masih hidup, tetap melakukannya walau hanya sebatas
ruwah biasa.(Eko)