Anyar,(SK),-- Setiap suku bangsa yang hidup dengan
kebudayaannya masing-masing selalu memiliki mitos atau cerita rakyat
yang berupa folklor ataupun babad dan dongeng suci mengenai penciptaan
alam semesta, tokoh-tokoh yang dianggap suci, dan cerita-cerita rakyat
yang dianngap memiliki nilai-nilai luhur dalam sebuah budaya dianut dan
lakukan secara berkelangsungan dan turun temurun.
Cerita rakyat biasanya penuh dengan keajaiban-keajaiban atau
nilai-nilai mistis yang tidak bisa dikaji dan bahkan sulit untuk
dipercayai dengan nalar, namun demikian, para pendukung dari cerita
rakyat ini selalu percaya dan menerimanya sebagai suatu hal yang
bernilai luhur bahkan lebih dari itu, mereka senantiasa
mengagung-agungkan cerita rakyat yang berkembang di daerah mereka
masing-masing.
Di pulau Lombok sendiri terdapat banyak sekali cerita rakyat yang
berkembang dan tetap hidup hingga sekarang. Diantara sekian banyak
cerita rakyat yang berkembang di pulau Lombok, ada beberapa cerita
rakyat yang sangat terkenal dan bahkan tersebar hingga ke luar pulau
Lombok.
Cerita-cerita dimaksud adalah cerita rakyat Dewi Anjani, cerita
rakyat Cupak Gurantang, cerita rakyat Denda Cilinaya, cerita rakyat
Putri Nyale, cerita rakyat Doyan Neda, dan cerita rakyat Batara Guru.
Cerita rakyat yang telah disebut tadi, hampir tersebar di seluruh wilyah
pulau Lombok dan dikenal oleh semua masyarakatnya, sebab cerita
tersebut telah tersebar dari mulut ke mulut dan dari masa ke masa.
Pada bagian ini, penulis hanya membahas mengenai cerita rakyat Denda
Cilinaya yang disebut juga dengan nama Bibi Cili. Cerita rakyat Denda
Cilinaya ini tersebar hampir di seluruh penjuru pulau Lombok, dan setiap
daerah mengklaim bahwa di daerah merekalah Denda Cilinaya tersebut
hidup pada masa lampau.
Misalnya masyarakat Lombok Timur menganggap bahwa Denda Cilinaya
adalah cerita rakyat yang asli dari Lombok Timur, demikian juga dengan
masyarakat Lombok Tengah, Lombok Barat, dan Lombok Utara. Namun selama
ini belum ada bukti yang pasti sebagai bukti bahwa Denda Cilinaya atau
Bibi Cili itu memang benar-benar hidup di Lombok Timur, Lombok Tengah,
ataupun Lombok Barat pada masa lampau.
Berbeda dengan di Lombok Utara yang memiliki bukti autentik tentang
keberadaan Denda Cilinaya pada masa lampau. Bukti keberadaan Denda
Cilinaya di Lombok Utara adalah adanya makam Denda Cilinaya atau Bibi
Cili di Desa Anyar Kecamatan Bayan yang tepatnya berada di Bangket
Montong milik Raden Singanem yang sekaligus juru kunci dan mangku dari
makam tersebut, yang letaknya tidak jauh dari pantai Labuhan Carik.
Makam Bibi Cili terletak sekitar 350 meter kearah timur dari tepi pantai
Labuhan Carik, makam ini merupakan suatu bukti yang autentik mengenai
keberadaan Denda Cilinaya pada masa silam.
Makam Bibi Cili berada di daerah persawahan masyarakat Desa Anyar, makam
ini berada lebih tinggi dari pada daerah sekitarnya, oleh sebab itulah
makam ini juga sering disebut dengan makam Montong yang berarti tinggi.
Ketinggian tempat makam ini kurang lebih 40 meter dengan luas sekitar 6 x
4 meter dengan bentuk semakin ke atas semakin lancip, layaknya sebuah
anak bukit. Di sebelah barat makam terdapat sebatang pohon beringin tua
yang usianya diperkirakan sekitar ratusan tahun, di sebelah timur makam
terdapat pohon mengkasar yang usianya juga diperkirakan sudah mencapai
ratusan tahun, di sebelah selatan makam terhampar sawah dan sekitar 50
meter kearah tenggara makam juga terdapat sebuah makam patih Jero Tuek
yang membunuh Cilinaya dan di sebelah utaranya juga terdapat persawahan
dan pantai.
Sekitar 50 meter ke arah selatan terdapat sumur yang disebut dengan
nama Sumur Tada yang konom sumur tesebut adalah tempat Raden Mas Panji
mengambil air minum saat berburu bersama maha patih yang mengawalnya dan
dari sanalah Raden Mas Panji pertama kali melihat Denda Cilinaya.
Menurut salah seorang tokoh masyarakat Anyar Sukarsah, mengatakan
bahwa: “…Pada zaman dahulu di gumi Bayan ini pernah terjadi suatu
pristiwa besar, yaitu dibunuhnya Denda Cilinaya oleh patih yang diutus
oleh Datu Keling. Pembunuhan tersebut terjadi di sekitar Tanjung Poros
Mua yang sekarang disebut dengan Tanjung Menangis, yang letaknya di
sekitar pantai Labuhan Carik.
Pada masa itu bumi Bayan ini masih berupa hutan belantara, namun
sebagai pengingat peristiwa itu di pinggir pantai masih terdapat Pohon
Ketapang dan tidak jauh dari sana terdapat Memontong (dataran tinggi)
yang di atasnya terdapat Makam Denda Cilinaya.
Pada bagian sebelah selatan terdapat Sumur Tada yang merupakan sumur
tempat Raden Mas Panji mengambil air minum pada saat ia berburu bersama
tiga orang patih yang mengawalnya, patih itu adalah Raden Gerude, Raden
Tokok dan Raden Semar.
“Dari sumur itulah Raden Panji pertama kali melihat Denda Cilinaya,
sehingga ia jatuh cinta dan akhirnya ia mumutuskan untuk tinggal di
rumah pengasuh Denda Cilinaya,”cerita Sukarsah.
Berbicara mengenai cerita rakyat Denda Cilinaya atau yang disebut
juga dengan Bibi Cili, maka kita harus membahas siapa sebenarnya Denda
Cilinaya dan dari mana asal usul sehingga makamnya terdapat di
Memontong.
Di daerah Bayan memang terdapat sebuah lontar yang menceritakan asal
usul Denda Cilinaya, namun lontar tersebut hingga sekarang masih
disimpan di Bencingah Agung Bayan Timur dan orang yang boleh
membacanyapun memiliki keturunan tersendiri.
Keturunan yang boleh membuka dan membaca lontar tersebut adalah
keturunan dari Pemangku Mandalika yaitu keturunan dari orang yang
memelihara Makam Denda Cilinaya. Oleh karena itu penulis mencari
keterangan dari Pemangku Mandalika terkait dengan asal muasal Denda
Cilinaya dan makamnya.
Setelah mencari informasi dari para tokoh adat dan tokoh masyarakat
Anyar, maka penulis mendapatkan informasi bahwa yang mengetahui tentang
asal muasal Makam Bibi Cili adalah keturunan dari Pemangku Mandalika
atau disebut juga dengan Amaq Lokaq Mandalika.
Berikut ini penulis sajikan cerita Denda Cilinaya yang merupakan
hasil wawancara dengan Amak Lokak Mandalika, yang juga juru kunci
sekaligus Mangku Makam Denda Cilinaya (Raden Singanem), secara runtut
sesuai dengan apa yang tertera di dalam Lontar Cilinaya.
Konon, menurut Mangku Raden Singanem, pada zaman dahulu sekitar Bayan
Beleq sekarang ini, yaitu pada abad ke 8 M di bumi Bayan berkembang dua
buah kerajaan besar yaitu Kerajaan Daha dan Kerajaan Keling. Posisi
persisnya, katanya, bahwa Kerajaan Daha berada di wet timur Orong dan
Kerajaan Keling berada di wet barat Orong.
Di ceritakan bahwa antara Datu Daha dan Datu Keling itu bersaudara.
Masing-masing menjalankan pemerintahan di kerajaannya dengan aman gemah
ripah loh jinawi. Namun kedua bersaudara ini belumlah cukup merasa
bahagia kalau penggantinya kelak belum ada tanda-tanda akan di karuniai
putra sebagai calon penerus penguasa kerajaan.
Konon kedua orang raja ini sulit sekali memiliki keturunan, sehingga
pada suatu hari mereka berdua berencana untuk pergi bertapa di Montong
Kayangan, dengan tujuan keduanya ingin meminta atau bertafakur di sana
supaya Sang Hiyang Tunggal memberi mereka berdua keturunan.
Keesokan harinya mereka berdua pergi bertapa, dalam pertapaannya Datu
Keling memohon kepada Sanghiyang Tunggal supaya ia mendapatkan anak
laki-laki, sedangkan Datu Daha memohon supaya ia mendapatkan seoramg
anak perempuan.
Datu Keling berjanji jika kelak ia mendapatkan anak laki-laki maka
ia akan kembali ke Montong Kayangan untuk membayar Kaul atau nazar
berupa sirih pinang dan sesajen secukupnya. Pada kesempatan yang sama
Datu Daha juga berjanji, kelak jika ia benar-bernar mendapatkan anak
perempuan, maka ia akan kembali ke Montong Kayangan untuk membayar Kaul
dengan membawa pinang sirih, sesajen selengkapnya, ia juga berjanji akan
membawa seekor kerbau bertanduk emas, berkuku permata, berekor sutra,
dan permadani.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan,
dikisahkan istri Datu Daha dan Datu Keling pun hamil, kemudian mereka
melahirkan. Istri Datu Keling melahirkan anak Laki-laki yang diberi nama
Raden Mas Panji. Begitu juga dengan istri Datu Daha beberapa minggu
kemudian melahirkan seorang anak perempuan. Tidak diceritakan dalam
lontar Cilinaya itu siapa nama anak dari Datu Daha yang baru lahir itu.
Begitu anaknya lahir, Konon Datu Keling langsung pergi untuk membayar
nazarnya ke Montong Kayangan dengan membawa apa yang diucapkan pada saat
melakukan permohonan ketika melakukan tapa bratanya. Berbeda dengan
Datu Daha, ia lupa akan apa yang pernah diucapkannya saat beliau bertapa
untuk meminta anak perempuan itu. Diceritakan Datu Daha sangat bahagia
dengan kehadiran putrinya, sehingga dengan kebahagiaan tersebut, beliau
terlena dan lupa untuk membayar janjinya ke Montong Kayangan.
Dikisahkan pada saat putri Datu Daha berusia sekitar tiga tahun, anak
tersebut hilang tanpa jejak, ia hilang saat bermain di halaman istana
kerajaan. Konon anak perempuan tersebut dibawa oleh angin dan pada
akhirnya putri tersebut terdampar di kebun milik Inaq Bangkol dan Amaq
Bangkol.
Tidak lama berselang semenjak putri tersebut terdampar, Inaq Bangkol
yang sedang mencari pakis mendengar suara tangisan dari semak-semak
belukar di kebunnya, mendengar suara bayi tersebut Inaq Bangkol
terkejut, lalu mencari dari mana terdengarnya tangisan bayi tersebut,
setelah beberapa lama mencari di semak-semak belukar yang dicurigainya,
maka Inaq Bangkol pun menemukan seorang anak kecil mungil di
tengah-tengah semak belukar yang tidak jauh dari sumurnya yang nantinya
di sebut Sumur Tada itu.
Melihat anak mungil tersebut, Inaq Bangkol terkejut dan belum berani
mengambilnya, maka Inaq Bangkol segera memanggil suaminya Amaq Bangkol.
Setelah mereka berunding maka Inaq Bangkol langsung mengangkat dan
menggendong anak tersebut, selanjutnya mereka bawa ke dalam rumah.
Sesampainya di rumah mereka (Inaq Bangkol dan Amaq Bangkol) berunding
untuk memberikan anak tersebut nama. Pada saat itu Amaq Bangkol
langsung mengusulkan supaya anak itu diberi nama Cilinaya, di mana Cili
berarti kecil mungil dan Naya berarti Cantik Jelita. Setelah itu maka
anak tersebut dipanggil dengan nama Cilinaya, mereka mengasuh dan
membesarkan anak tersebut dengan penuh kasih sayang dan menganggapnya
sebagai anak mereka sendiri. Hingga Denda Cilinaya berusia kurang lebih
25 tahun.
Sementara itu di kerajaan Keling, Raden Mas Panji (Putra Datu Keling)
juga sudah dewasa, ia juga berumur 25 tahun sama dengan Denda Cilinaya.
pada suatu hari Raden Mas Panji tiba-tiba berniat untuk pergi berburu
ke Pawang Bening (hutan belantara). Lalu Raden Mas Panji meminta izin
kepada ayahandanya (Datu Keling). Datu Keling memberi izin kepada
putranya untuk pergi berburu dengan dikawal oleh tiga orang patih, yaitu
Raden Gerude, Raden Tokok, dan Raden Semar.
Keesokan harinya mereka berempat berangkat dengan membawa bekal dan
alat-alat untuk melakukan perburuan di hutan belantara. Dalam
perjalannaya mencari hewan buruan mereka terus menyusuri hutan
belantara. Semenatara haru sudah mau beranjak sore, mereka belum
menemukan satupun hewan buruan, sedangkan persiapan air yang di bawa
dari kerajaan sudah habis. Karena merasa haus maka Raden Mas Panji
mengajak ketiga pengawalnya untuk mencari air minum sambil menusuri
hutan belantara.
Dalam perjalanan mencari air minum mereka mendengar suara Jajak yaitu
suara orang menenun. Mendengar suara tersebut mereka langsung mencari
sumber suara, sebab mereka yakin di tempat itu pasti terdapat sumur
untuk mengambil air minum.
Tidak lama berselang, mereka menemukan rumah Inaq Bangkol dan Amaq
Bangkol, sesampai di sana mereka disambut oleh Inaq Bangkol dan
merekapun langsung menyatakan keinginan mereka untuk meminta air minum,
setelah itu Inaq Bangkol memberikan Ceret (kendi) yang berisi air kepada
Raden Mas Panji dan merekapun minum untuk melepas dahaga yang mereka
rasakan sejak tadi siang.
Singkat cerita, mereka beristirahat dan berbincang-bincang dengan
Ianq Bangkol dan Amaq Bangkol. Raden Mas Panji menanyakan tentang
situasai dan kehidupan Inaq Bangkol dan suaminya. Saat
berbincang-bincang itu, tidak sengaja Raden Mas Panji melihat Denda
Cilinaya yang sedang menenun di dalam rumah, lalu dari sela-sela pagar
yang bolong Raden Mas Panji terus saja mengawasi Denda Cilinaya. Karena
penasaran ingin melihat Denda Cilinaya lebih jelas maka Raden Mas Panji
terus saja duduk bersama Inaq Bangkol dan Amaq Bangkol.
Sementara itu, ketiga patih yang mengawalnya mengajak Raden Mas Panji
untuk segera pulang ke isatana sebab hari sudah sore, beberapa kali
mereka mengajak Raden Mas Panji untuk pulang, namun Raden Mas Panji
tidak bergeming dari tempat duduknya. Akhirnya ke tiga orang patih itu
memutuskan untuk pulang dan Raden Mas Panji memutuskan untuk tinggal
bersama Inaq Bangkol dan Amaq Bangkol digubuk yang sederhana itu.
Sesampainya di istana, ketiga patih tersebut langsung melaporkan
keberadaan Raden Mas Panji yang tidak mau diajak pulang dan memutuskan
untuk tinggal bersama Inaq Bangkol dan Amaq Bangkol di gubuk yang
sederhana di tengah hutan.
Mendengar laporan tersebut Datu Keling sangat murka, sebab putra
mahkotanya lebih memilih tinggal di rumah orang miskin karena jatuh
cinta kepada anak dari orang kebanyakan tersebut. Ia merasa putranya
tidak layak untuk tinggal dan menjalin cinta kasih bersama anak orang
miskin seperti Inaq Bangkol dan Amaq Bangkol sebagaimana yang
diceritakan oleh ketiga patih tersebut.
Sementara itu Raden Mas Panji yang berada di gubuq Inaq Bangkol
semakin terpikat dengan kecantikan Denda Cilinaya, akhirnya mereka
menjalin cinta kasih. Setelah kurang lebih 6 tahun tinggal di sana,
Raden Mas Panji memutuskan untuk menikah dengan Denda Cilinaya. dari
hasil pernikahan tersebut mereka mendapatkan seorang putra yang sangat
mungil, yang kelak dikenal dengan nama Raden Megatsih. Mereka hidup
dengan bahagia meskipun dalam keadaan yang sangat sederhana.
Ketika anak mereka bisa merangkak (kurang lebih 6 bulan), Datu Keling
mendengar kabar bahwa putranya menikah dengan anak Amaq bangkol,
mendengar kabar tersebut Datu Keling semakin murka sebab Raden Mas Panji
sudah mau tujuh tahun tidak pernah pulang ke istana. Akhirnya Datu
Keling mengutus dua orang maha patihnya Raden Adipati dan Raden Tokok,
yang juga lebih dikenal dengan sebutan patih Jero Tuek, untuk mengajak
Raden Mas Panji pulang dengan siasat bahwa Datu Keling sedang sakit
keras, dan setelah itu mereka akan membunuh istri Raden Mas Panji.
Sesampainya di gubuq Inaq Bangkol, kedua maha patih tersebut
menjelaskan tujuan kedatangan mereka kepada Raden Mas Panji bahwa mereka
diutus oleh Datu Keling untuk menyampaikan kabar bahwa Datu Keling
sedang dalam keadaan sakit keras dan Raden Mas Panji harus mencarikannya
obat yaitu hati menjangan putih. Itulah siasat mereka supaya Raden Mas
Panji mau meninggalkan istrinya.
Mendengar hal tersebut, Raden Mas Panji berunding dengan istrinya
Denda Cilinaya. Raden Mas Panji menceritakan maksud kedatangan kedua
patih itu kepada Denda Cilinaya, mendengar penjelasan itu Denda Cilinaya
langsung memiliki pirasat tidak baik terhadap kedatangan kedua orang
patih tersebut, namun ia tidak berani mengatakannya kepada suaminya.
Sebelum Raden Mas Panji berangkat untuk mencari hati menjangan putih,
Denda Cilinaya meberinya sebuah cincin. Sewaktu memberikan cicin
tersebut Denda Cilinaya berkata,
“Kanda pakailah cincin ini, jika ditengah perjalanan mata cincin ini
gugur maka itu pertanda bahwa aku telah tiada dan jika mata cincin ini
tidak apa-apa maka itu berarti tidak terjadi apaun terhada aku dan anak
mu”.
Mendengar perkataan istrinya, Raden Mas Panji curiga, namun kedua
patih itu terus mendesaknya untuk segera pergi mencarikan Datu Keling
obat. Akhirnya Raden Mas Panji berangkat dengan membawa peralatan untuk
berburu. Sedangkan kedua patih juga pergi dari rumah Ianq bangkol, namun
mereka tidak langsung pulang ke istana, melainkan mereka bersembunyi,
menunggu Raden Mas Panji pergi jauh kemudian melaksanakan tugas mereka
untuk membunuh Denda Cilinaya.
Setelah kira-kira Raden Mas Panji berjalan sekitar 1 Km, kedua patih
itu kembali ke rumah Inaq Bangkol untuk membunuh Denda Cilinaya.
Sesampainya di sana, Adipati dan Tokok (Jero Tuek) menjelaskan maksud
kedatangannya kepada Denda Cilinaya, bahwa ia akan membunuh Denda
Cilinaya dan membumi hanguskan rumah Inaq Bangkol, sebab Denda Cilinaya
yang merupakan anak hina, anak dari orang miskin telah lancang menikah
dengan putra raja.
Mendengar penjelasan dari kedua patih tersebut, Denda Cilinaya yang
pada saat itu sedang menggendong putranya berkata, “Kalau memang tujuan
kalian akan membunuhku, maka aku tidak bisa berbuat apa-apa, silahkan
kalian lakukan”.Denda Cilinaya berucap dengan logat dan bahasa Bayan
yang pasih, “Mun tetu aku anak dedoro bebenes, agar darahku mencerit tun
gon gumi berbau amis, kemudian mun tetu aku terijati anak raja, maka
biar darahku mencerit taik sengeh,”(jika aku benar-benar anak orang
miskin dan kebanyakan seperti yang kalian katakan, maka biarlah darahku
akan tertumpah ke tanah dan berbau amis, sedangkan jika aku adalah
keturunan dari seorang raja atau anak orang mulia maka darahku akan
muncrat ke atas dan berbau harum”.
Setelah perkataan Denda Cilinaya terebut mereka dengarkan, mereka
hanya tertawa terbahak-bahak dan Patih Tokok (Jero Tuek) langsung
menancapkan pedangnya di hulu hati Denda Cilinaya.
Konon darah Denda Cilinaya muncrat ke atas dan membasahi daun
ketapang yang berada di pinggir pantai tempat dilakukannya pembunuhan
tersebut, darahnya juga berbau harum. Setelah itu Denda Cilinaya jatuh
terkapar di bawah pohon ketapang tepatnya di pinggir pantai Labuhan
Carik, sekitar 200 meter kearah timur laut dari makamnya sekarang,
sedangkan putranya masih memeluknya sambil menangis.
Tidak lama berselang angin badai pun datang menerjang kedua patih
tersebut. Di ceritakan Patih Tokok (Jero Tuek) langsung mati terkapar
tidak jauh dari mayat Denda Cilinya, dan makamnya hingga sekarang masih
ada, tempatnya sekitar 50 meter kearah tenggara dari makam Cilinaya,
sedangkan Adipati bisa pulang sampai istana dengan keadaan yang
mengenaskan. Sesampai di istana Adipati melaporkan bahwa mereka telah
berhasil membunuh Denda Cilinya, seteah laporannya selesai, maka Adipati
itupun mati bersimbah darah di depan Datu Keling. Makamnya sekarang
masih ada di Tempos Bayan Beleq.Melihat hal tersebut Datu Keling heran
dan merasa takut.
Sementara itu, Raden Mas Panji yang sedang berjalan menyusuri hutan
untuk mencari menjangan putih mendapatkan pirasat, cincin yang diberikan
oleh istrinya Denda Cilinaya gugur. Melihat hal itu, ia memutuskan
untuk kembali ke rumah. Ia pun langsung pulang, sesampai di rumah ia
melihat rumahnya sudah rata dengan tanah, ia langsung mencari istri dan
anaknya dan akhirnya Raden Mas Panji menemukan istrinya sudah terkapar
di Memontong tepatnya di bawah pohon ketapang, pada saat di temukan
putranya sedang menyusu sambil mendekap tubuh ibunya yang sudah terapar.
Melihat hal itu, Raden Mas Panji sangat sedih, ia langsung mengambil
putranya, lalu membuatkan istrinya peti mati. Setelah peti mati itu jadi
maka mayat Denda Cilinaya dimasukkan dan kemudian diapungkan dan di
hanyutkan di lautan, dimana peti itu diikatkan di pohon beringin yang
ada di Memontong (tempat makam Cilinaya dikenal sekarang).
Diceritakan, tidak lama kemudian tali pengikat peti mati tersebut
putus dan akhirnya peti mati itu terapung dan dibawa arus entah kemana.
Pada saat itulah Raden Mas Panji memberi anaknya nama “Raden Megatsih”
yang artinya terputusnya tali kasih.
Selanjutnya untuk mengenang istrinya, Raden Mas Panji membuatkan
pertanda di Memontong, disana ia membuatkan istrinya makam yang hingga
sekarang dikenal dengan sebutan makam Denda Cilinaya itu.
Dikisahkan, delapan tahun setelah kejadian itu Datu Daha mengajak
kaula balanya berekreasi ke pantai Labuhan Carik, pada saat itu Raden
Megatsih juga berusia delapan tahun. Sesampainya di pantai Datu Daha
berjalan-jalan di pinggir laut sambilm melihat-lihat keadaan lautan.
Pada saat itu Datu Daha melihat sebuah Tabla (peti mayat) terapung dari
kejauhan dan terus menuju ke pinggir lautan. Setelah peti mayat berada
sekitar beberapa meter dari pantai, Datu Daha langsung memerintahakan
rakyatnya untuk mengangkat peti mati tersebut dan membawanya ke luar
dari lautan. Namun tidak satupun dari mereka yang dapat mengeluarkan
peti tersebut dari lautan, akhirnya Datu Daha sendirilah yang langsung
mengambilnya dan barulah peti itu bisa dikeluarkan dari lautan.
Sesampainya di pantai, Datu Daha langsung membuka peti mayat dan
betapa terkejutnya Datu Daha saat melihat isi dari peti mayat tersebut.
Di dalam peti mayat itu Denda Cilinaya duduk tenang dalam keadaan yang
masih cantik jelita. Setelah itu Denda Cilinaya mengaku bahwa dirinya
adalah putri pertama dari Datu Daha, di sana Datu Daha sangat bersyukur
sebab anaknya yang sudah hilang puluhan tahun lamanya sekarang telah ia
temukan.
Sebagai ungkapan rasa syukurnya kehadirat Yang Maha Tunggal, maka
Datu Daha pergi membayar nazarnya ke Montong Kayangan. Setelah itu Datu
Daha melakukan selamatan selama delapan hari delapan malam yang disebut
dengan Gawe Pelentungan.
Pada saat dilaksanakannya gawe Pelentungan tersebut, Datu Daha
mementaskan berbagai kesenian pada setiap malamnya, seperti Gendang
Beleq dan Perisean. Pada saat pementasan kesenian tersebut, Raden
Megatsih selalu menonton, melihat Raden Megatsih yang selalu menonton
tanpa dibarengi oleh kedua orang tuanya, maka Datu Daha curiga dan
menyelidiki siapa sebenarnya bocah tersebut. Setelah itu beberapa orang
punggawa kerajaan Daha diutus untuk mencari dan membawanya ke istana.
Akhirnya Raden Megatsih ditemukan di Memontong (dimakam ibundanya)
dan kemudian ia di bawa ke istana Datu Daha, di sana Denda Cilinya
langsung mengenali anaknya sebab di jari tangan Raden Megatsih terdapat
cincin yang diberikan olehnya. Akhirnya Denda Cilinaya menyuruh punggawa
kerajaan untuk menjemput Raden Mas Panji supaya mereka bersama-sama
tinggal di istana Datu Daha. Akhir cerita Denda Cilinaya hidup bahagia
bersama keluarganya di istana Kerajaan Daha.
Berdasarkan cerita lontar Cilinaya tersebut, maka dapat di ketahui
bahwa nama asli dari Bibi Cili adalah Denda Cilinaya yang merupakan
putri bungsu dari Datu Daha yang memimpin kerajaan Budha Daha pada
sekitar abad ke-VIII Masehi.
Namun nama Bibi Cili juga tidak kalah tenarnya di kalangan masyarakat
suku Sasak, tetapi jika mendengar nama Bibi Cili maka yang dimaksud
adalah Denda Cilinaya.
Mengenai asal usul nama Bibi Cili, memang tidak terdapat lontar atau
bukti-bukti yang menjelaskan mengapa Denda Cilinaya di sebut dengan
panggilan Bibi Cili. Memang di dalam lontar Cilinaya disebutkan bahwa
putri pertama Datu Daha bernama Denda Cilinaya, tidak disebutkan ada
nama Bibi Cili. Namun dalam kalangan masyarakat ramai nama Bibi Cili
mungkin lebih dikenal dari pada Denda Cilinaya.
Menurut Raden Setia Wati, nama asli Bibi Cili adalah Denda Cilinaya,
sebagaimana yang diceritakan di dalam Lontar Cilinaya.Di dalam lontar
tersebut tidak terdapat atau tidak pernah disebutkan nama Bibi Cili,
tetapi dalam kalangan masyarakat Anyar,Bayan dan sekitarnya, nama Bibi
Cili lebih dikenal dari pada Denda Cilinaya.
“Namun dari cerita yang pernah kami dengar dari para leluhur kami,
nama Bibi Cili merupakan suatu penghormatan bagi Denda Cilinaya. Konon
keturunan Denda Cilinaya inilah yang berkembang menjadi masyarakat Bayan
dan sekitarnya hingga sekarang. Oleh sebab itulah kami di Anyar ini
lebih mengenal Denda Cilinaya dengan sebutan Bibi Cili, di mana Bibi
berarti Ibu atau nenek moyang dan Cili berarti kecil, oleh karena itu
sebenarnya nama Bibi Cili merupakan suatu penghargaan terhadap Denda
Cilinaya,”cerita Raden Setia Wati.
Dari keterangan di atas, maka dapat diketahui bawa nama Bibi Cili
merupakan suatu penghormatan kepada Denda Cilinaya, nama Bibi Cili juga
sebagai peringatan bahwa Denda Cilinaya adalah nenek moyang masyarakat
Bayan dan sekitarnya. Oleh sebab itulah ia disebut dengan nama Bibi Cili
yang berarti ibu atau nenek moyang yang cantik dan mungil.
Dari kisah yang telah terpapar di atas juga dapat kita ketahui bahwa
Makam Bibi Cili yang bisa di lihat dan saksikan sekarang ini merupakan
suatu pertanda bahwa di tempat tersebut pernah terjadi peristiwa besar,
dimana Memontong (tempat Makam Bibi Cili) merupakan tempat dibunuhnya
Bibi Cili oleh Patih Tokok (Jero Tuek) dan di sana juga merupakan tempat
terakhir Raden Mas Panji melihat Bibi Cili yang kemudian hanyut dibawa
arus bersama peti mayatnya.
Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa Bibi Cili adalah seorang
putri raja yang hidup sekitar abad ke-VIII Masehi, dimana pada saat itu
di bumi Bayan masih berkembang agama Budha. Bibi Cili merupakan keturunan dari Datu Daha yang pada saat itu
adalah penganut agama Budha, sehingga kerajaannya dikenal dengan sebutan
Budha Daha dan saudaranya memimpin kerajaan Budha Keling.
Jadi dari cerita rakyat Bayan ini tentang Bibi Cili itu, kita bisa
banyak mengetahui tentang keberadaan kerajaan Budha pada masa itu. Oleh
karena itu cerita rakyat Bibi Cili bisa dijadikan sebagai suatu acuan
atau referensi mengenai keberadaan atau perkembangan agama Budha di
daerah Bayan masa itu. Keberadaan ini pula yang memperkuat bahwa ada
patung kepala di baon gontor Senaru. Patung kepala ini mirip dengan
patung Budha. Sehingga sisa peninggalan penduduknya hingga sekarang ada
dan berkembang di Torean Bayan, dusun Baru dan Lenek di Desa Bentek
Gangga serta Tebango di Desa Pemenang Barat Kecamatan Pemenang.
Terkait dengan mitos Makam Bibi Cili yang keberadaannya hingga
sekarang masih terpelihara dan lestari oleh keturunannya itu, dapat
diketahui adalah karena terjadinya peristiwa pembunuhan Denda Cilinaya
oleh Patih Tokok (Jero Tuek) dan Adipati di pinggir pantai Labuhan Carik
tepatnya di Memontong. Di tempat tersebut Raden Masa Panji membuatkan
istrinya makam sebagai pertanda bahwa di tempat itulah istrinya
menghembuskan napas terakhir dan di tempat itulah terakhir kali ia
melihat istrinya. “Jadi makam Bibi Cili ini bukanlah kuburan melainkan
sebuah tempat yang mengingatkan masyarakat bahwa di tempat tersebut
Denda Cilinaya hilang atau moksa,”jelas Raden Setiawati.
Untuk itu perlu dipahami bahwa makam adalah suatu tempat yang pernah
disinggahi oleh orang-orang yang dianggap memiliki karomah, kemudian
tempat tersebut dibuatkan sebuah bangunan berupa kuburan sebagai
pertanda bahwa tempat itu pernah dikunjungi atau pernah dijadikan
sebagai tempat istirahat atau tempat terakhir orang melihat tokoh yang
dikaromahkan. Sebagaimana juga tentang keberadaan beberapa makam yang
dianggap memiliki karomah lainnya,seperti makam Sesait di Bayan,makam
mas penghulu, makam kubur beleq di Sesait,makam sayid budiman,makam titi
sama guna dan lain sebagainya.
Makam Bibi Cili yang ada di Bangket Memontong Desa Anyar itu bukanlah
kuburan yang berisi mayat atau jasad Bibi Cili atau Cilinaya, melainkan
hanya sekedar gundukan tanah yang dibuat seperti kuburan sebagai
pertanda bahwa di tempat itu pernah terjadi peristiwa pembunuhan Bibi
Cili dan ditempat itu pula sosok Bibi Cili hilang dibawa oleh arus
bersama Tabla yang dibuatkan oleh suaminya Raden Mas Panji putra Datu
Keling. Jadi, Makam Bibi Cili bukanlah sebuah kuburan, namun makam
tersebut sangat dikeramatkan oleh warga Desa Anyar dan sekitarnya sebab
menurut kepercayaan mereka Makam Bibi Cili menyimpan nilai mistis yang
tinggi.(@).