Anyar,(SK),-- Wilayah Kabupaten Lombok Utara yang
lebih dikenal masyarakatnya dengan sebutan Dayan Gunung, ternyata
memiliki banyak peninggalan sejarah masa lalu, baik berupa
benda,tulisan,rekaman maupun yang berbentuk lisan.
Salah satu bukti peninggalan sejarah masa lampau yang masih terpelihara dengan baik hingga saat ini adalah makam Denda Cilinaya, yang terletak di Labuhan Carik Bayan. Denda Cilinaya di kisahkan mati terbunuh oleh Patih Jero Tuek atas perintah Datu Keling.
Salah satu bukti peninggalan sejarah masa lampau yang masih terpelihara dengan baik hingga saat ini adalah makam Denda Cilinaya, yang terletak di Labuhan Carik Bayan. Denda Cilinaya di kisahkan mati terbunuh oleh Patih Jero Tuek atas perintah Datu Keling.
Keberadaan makam Denda Cilinaya ini di kalangan masyarakat Dayan
Gunung dan bahkan mungkin masyarakat sasak pada umumnya sudah banyak
yang mengetahuinya. Sedangkan makam Patih Jero Tuek yang merupakan
pembunuh Denda Cilinaya, yang keberadaannya tidak jauh dari makam
Cilinaya, mungkin tidak banyak orang yang mengetahui.
Untuk bisa sampai ke lokasi makam Cilinaya, para pengunjung
dihadapkan pada medan yang cukup melelahkan. Pasalnya, jarak makam dari
pusat pemerintahan Kecamatan Bayan sekitar 1 km, dari Labuhan Carik
kearah timur sekitar 350 meter. Para pengunjung yang menggunakan alat
transportasi baik roda empat maupun roda dua, cukup di parkir di Labuhan
Carik. Setelah itu, para pengunjung harus jalan kaki melewati pematang
sawah dan sebuah kali yang membatasi lokasi makam dengan Labuhan Carik.
Menurut Raden Singanem (47), Situs makam Denda Cilinaya ini, untuk
pertama kalinya di pelihara oleh mendiang orang tuanya Mangku Raden
Singagrib (alm) sejak tahun 1977 silam. Setelah orang tuanya mangkat
tahun 1980, dari sejak itulah dirinya aktif sebagai Mangku makam Denda
Cilinaya ini.
Dikatakan Raden Singanem, dulu katanya, ketika dirinya masih kecil,
lokasi makam ini masih gawah (hutan) yang di penuhi oleh tumbuhan
ilalang. Waktu itu belum di ketahui bahwa di lokasi itu ada makam,
seperti yang di kenal sekarang (Cilinaya).
Di lokasi itu ada makam Cilinaya, sekitar tahun 1977, berawal dari
adanya warga Tanak Song Tanjung yang mendapatkan petunjuk dari
paranormal dengan mendatangi lokasi itu untuk sebuah hajatan Ngurisan.Dari paranormal yang mendapatkan wangsit dari pemilik makam inilah di
ketahui bahwa di lokasi itu ada sebuah makam yang di kenal dengan
makam Denda Cilinaya. Dari paranormal ini pula di ketahui bahwa yang
menjadi Mangku atau yang menjadi penanggung jawab sebagai pemelihara
makam itu harus yang lebih tua dari keluarga Raden Singagrib. Paranormal
yang sudah di rasuki roh penghuni makam itu pula yang memerintahkan
agar mencari Raden Singagrib dan Raden Singanem sebagai yang
bertanggungjawab memelihara makam itu. Maka di putuskanlah Raden
Singagrib yang memelihara pertama makam itu, karena menurut Paranormal
yang sedang disanding roh makam itu, dia lebih tua. Setelah beliau
mangkat tahun 1980, praktis Raden Singanem yang meneruskannya hingga
sekarang.
Bagaimana kisah terbunuhnya putri Denda Cilinaya oleh Patih Jero Tuek
atas perintah Datu Keling dan bagaimana makamnya bisa berada di atas
montong dekat Labuhan Carik Bayan, Mangku Raden Singanem, yang merupakan
generasi kedua sekaligus juru kunci makam Denda Cilinaya, bersama
wartawan media ini mengisahkannya dalam tulisan ini.
Konon, menurut Mangku Raden Singanem, pada jaman ireng di sekitar
Bayan Beleq sekarang ini, terdapat dua buah kerajaan besar yaitu
Kerajaan Daha dan Kerajaan Keling. Posisi persisnya, katanya, bahwa
Kerajaan Daha berada di wet timur Orong dan Kerajaan Keling berada di
wet barat Orong.
Di ceritakan bahwa antara Datu Daha dan Datu Keling itu bersaudara.
Masing-masing menjalankan pemerintahan di kerajaannya dengan aman gemah
ripah loh jinawi. Namun kedua bersaudara ini belumlah cukup merasa
bahagia kalau penggantinya kelak belum ada tanda-tanda akan di karuniai
putra sebagai calon penerus penguasa kerajaan.
Maka kedua bersaudara ini (Datu Daha dan Datu Keling) berencana akan
melakukan tapa brata di sebuah bukit atau montong yang dipenuhi hutan
belantara, memohon kepada yang kuasa agar keduanya diberikan putra
sebagai calon penggantinya kelak ketika mereka sudah mangkat.
Pada waktu yang sudah di tentukan, maka berangkatlah Datu Daha Mas Mutering Sejagat dengan membawa perlengkapan secukupnya menuju ke sebuah tempat yang juga sudah di tentukan yaitu Montong Kayangan. Dalam waktu yang bersamaan, Datu Keling Mas Mutering Sejagat pun berangkat pula menuju ke tempat itu, untuk bersama-sama melakukan tapa brata. Dalam perjalanan menuju tempat tapa brata itu, Datu Daha dan Datu Keling bertemu di perempatan Geruk Gundem untuk selanjutnya bersama-sama menuju Montong Kayangan.
Pada waktu yang sudah di tentukan, maka berangkatlah Datu Daha Mas Mutering Sejagat dengan membawa perlengkapan secukupnya menuju ke sebuah tempat yang juga sudah di tentukan yaitu Montong Kayangan. Dalam waktu yang bersamaan, Datu Keling Mas Mutering Sejagat pun berangkat pula menuju ke tempat itu, untuk bersama-sama melakukan tapa brata. Dalam perjalanan menuju tempat tapa brata itu, Datu Daha dan Datu Keling bertemu di perempatan Geruk Gundem untuk selanjutnya bersama-sama menuju Montong Kayangan.
Setiba di tempat melakukan tapa brata, masing-masing menghaturkan
sesuai dengan syarat dan niatnya untuk mendapatkan anak. Dimana Datu
Daha dalam nazarnya berniat, jika sang penguasa jagat memberikan anak
perempuan, maka kelak dirinya akan membayar kaul, dengan persyaratan
membawa lekok buak,kerbau bertanduk emas, ber ekor sutera, mengkupak
slaka (bertapak kaki slaka) dan mentete gangsa ( alat yang di gelar atau
yang dibentangkan) sebagai pijakan waktu bayar nazar mulai dari
Kerajaannya hingga ke lokasi Montong Kayangan. Begitu pula dengan Datu
Keling, bernazar yang sama, dengan persyaratan yang sama, namun Datu
Keling menginginkan anak yang laki.
Dalam tapa bratanya itu, diceritakan tidak di ketahui berapa lama
berlangsung.Hanya konon ceritanya semua hajat dari kedua pembesar
kerajaan itu dikabulkan. Ajaib memang, kedua permaisuri dari dua buah
kerajaan yang ada di lereng Gunung Rinjani sebelah utara itu pun
mengandung secara bersamaan. Sebagaimana adat kebiasaan di kalangan
istana kerajaan terhadap yang mengandung, maka di adakan pula acara
ritual selamatan tiga bulanan,tujuh bulanan dan upacara kelahiran.
Setelah tiba waktunya untuk melahirkan, maka kedua permaisuri, baik
kerajaan Datu Daha maupun kerajaan Datu Keling pun melahirkan anak
sesuai dengan keinginan Datu Daha yang menginginkan anak perempuan
maupun Datu Keling yang menginginkan anak laki-laki.
Berselang satu tahun kemudian, tibalah saatnya untuk menunaikan nazar
mereka masing-masing.Kedua Datu dari dua kerajaan besar yang melingkari
Gunung Rinjani itu pun sepakat untuk membayar nazar (kaul) sesuai
dengan apa yang pernah mereka janjikan. Di ceritakan bahwa yang bisa
menunaikan nazarnya itu baru Datu Keling. Sementara Datu Daha akan
menyusul kemudian.
Maka Datu Keling berangkatlah menuju Montong Kayangan dengan di
iringi seluruh kaula balanya untuk menunaikan janjinya membayar nazar,
dengan membawa persyaratan seperti yang pernah di terimanya melalui
wangsit ketika melakukan tapa brata dulunya ditempat itu.
Suatu ketika Cilinaya sebagaimana kebiasaan anak kecil sebayanya
setiap harinya selalu bermain di halaman istana kerajaan. Sedang
asyiknya bermain, tiba-tiba menghilang begitu saja dari alam dunia.
Dengan menghilangnya Cilinaya ini, seluruh kalangan istana kerajaan Daha
kala itu kaget. Maka Datu Daha mengerahkan seluruh kaula balanya untuk
mencari putri semata wayangnya itu ke seluruh negeri. Namun upaya
pencarian itu pun gagal, sang putri tidak ditemukan.Maka pencarian pun
di hentikan.
Sementara itu di pinggir hutan belantara masih dalam wilayah Kerajaan
Datu Daha, hiduplah sepasang suami isteri yang bernama Amak Lokaq dan
Inaq Lokaq (Amaq Bangkol dan Inaq Bangkol).Suatu hari Amaq Bangkol dan
Inaq Bangkol pergi ke kebun miliknya untuk mencari sayuran.Tiba-tiba
keduanya mendengar ada suara tangisan anak kecil. Setelah diselidiki
ternyata benar tangisan anak kecil.Lalu di bawa pulang ke pondoknya yang
reot beratapkan ilalang dan berpagar bedek itu.
Setiba di rumah keduanya berunding, apa yang pantas untuk diberikan namanya.Sebab kalau di lihat dari wajahnya memang anak tadi berparas cantik. Dari sinilah timbul ide dari Amak Bangkol untuk memberikan nama Cilinaya (Cili=kecil, naya= bagus,elok).Itulah sebabnya nama Cilinaya terkenal hingga sekarang khususnya di kalangan masyarakat suku sasak Lombok.
Diceritakan, Denda Cilinaya pun hiduplah bersama Amak Bangkol dan Inaq Bangkol di gubuq terpencil di pinggir hutan kerajaan Daha hingga menginjak remaja.Dalam kesehariannya, dikisahkan bahwa Denda Cilinaya ini pekerjaannya adalah menyesek atau menenun. Sebagai seorang gadis belia pekerjaan menenun itu sangat di gemari olehnya.Sehingga tidak heran pekerjaan itu terus di tekuninya setiap hari. Itulah sebabnya pekerjaan menenun ini hingga sekarang para gadis atau kaum hawa di daerah Bayan Beleq masih dapat di lihat. Keberadaan Cilinaya di gubuq ini tidak ada yang tahu selain kedua orang tua angkatnya itu.
Raden Mas Panji putra Datu Keling saat itu juga baru menginjak
remaja. Sebagai putra mahkota kerajaan, kegiatan sehari-harinya selain
berlatih bela diri juga hobinya berburu. Suatu ketika, Raden Mas Panji
berkeinginan pergi berburu ke hutan di pinggir kerajaan Daha.Keinginan
itu kemudian disampaikan kepada ayahandanya (mamiknya) Datu Keling. Raja
Keling pun mengijinkan putranya untuk pergi berburu rusa dihutan
tutupan di pinggir daerah kekuasaan kerajaan Datu Daha.
Tiba waktu yang telah ditentukan, Raden Mas Panji berangkatlah
menuju hutan yang dimaksud untuk berburu rusa, dengan diiringi tiga
orang pengasuhnya Raden Krude, Raden Kalang dan Raden Semar. Hutan
tutupan yang di tuju Raden Mas Panji beserta tiga orang pengiringnya itu
diperkirakan berada di sebelah timur Bayan Beleq sekarang.
Diceritakan, hutan tutupan yang di jadikan lokasi berburu Raden Mas
Panji ini pada jaman itu banyak sekali di huni oleh binatang buruan
seperti babi rusa,kijang, dan berbagai jenis burung. Sedang asyiknya
berburu, tiba-tiba Raden Mas Panji merasa kehausan, kepingin minum.Maka
di carilah mata air di sekitar hutan itu.Namun ketika sampai di dekat
sebuah gubuq, Raden Mas Panji mendengar ada suara Jajak (alat tenun)
sedang di mainkan. Lalu Raden Mas Panji berfikir kalau ada suara Jajak
seperti itu, berarti ada orang penghuni gubuq itu. Dengan demikian
berarti dapat minta air untuk sekedar melepas dahaga,pikirnya.Raden Mas
Panji pun tanpa pikir panjang langsung menuju gubuq itu untuk minta air
minum.Singkat cerita, Inaq Bangkollah yang memberikan air minum kepada
Raden Mas Panji.Sementara Cilinaya sembunyi dalam rumah. Walau demikian,
Cilinaya sempat juga dilihat oleh Raden Mas Panji.Seketika itu pula
hati Raden Mas Panji tertutup untuk melanjutkan perburuannya. Akhirnya
berburu pun gagal di lanjutkan.
Dengan bersusah payah, ketiga pengiring itu mengajak Raden Mas Panji pulang kembali ke istana kerajaan.Namun Raden Mas Panji tidak menghiraukan ajakan ketiga pengiringnya itu.Akhirnya, Raden Mas Panji ditinggal.
Dengan bersusah payah, ketiga pengiring itu mengajak Raden Mas Panji pulang kembali ke istana kerajaan.Namun Raden Mas Panji tidak menghiraukan ajakan ketiga pengiringnya itu.Akhirnya, Raden Mas Panji ditinggal.
Setiba di istana kerajaan, pengiring Raden Mas Panji itu melapor
kepada Mamiknya Datu Keling. Mendengar laporan itu, maka Datu Keling
murka.Keadaan inilah yang membuat Raden Mas Panji betah tinggal di gubuq
itu selama 3 tahun. Hingga akhirnya Raden Mas Panji menikah dengan Denda
Cilinaya dan di karuniai seorang anak laki-laki yang diberi nama Raden
Megatsih.
Tiga tahun telah berlalu,kemurkaan Datu Keling belum sirna begitu
saja atas kelakuan dan perbuatan putra satu-satunya sebagai harapan
penggantinya kelak, rela tinggal di sebuah gubuq dipinggir hutan. Maka
Datu Keling mengumpulkan para punggawa kerajaan untuk musyawarah. Dalam
musyawarah tersebut, atas titah raja telah disepakati untuk menjemput
Raden Mas Panji yang sudah lama tinggal di gubuq pinggir hutan kawasan
kerajaan Daha.
Konon ceritanya seluruh punggawa dan kaula bala kerajaan Keling di
kerahkan untuk menjemput putra mahkota Raden Mas Panji, dibawah pimpinan
kedua maha patih Jero Tuek dan Adipati (Mangkubumi dan Mangkunegaran).
Alasan Datu Keling menjemput anaknya ini adalah dikatakan dirinya
kepingin makan hati menjangan. Agar putra satu-satunya inilah yang
berburu untuknya.Padahal dalam hatinya sebenarnya ingin memisahkan
Cilinaya dengan anaknya Raden Mas Panji. Karena menurutnya, tidak
pantaslah seorang putra mahkota (Pangeran) kerajaan kawin dengan orang
kebanyakan.Padahal seandainya Datu Keling mengetahuinya, sebenarnya
Cilinaya itu adalah putri saudaranya Datu Daha yang dikabarkan sempat
hilang 20 tahun silam.Tapi karena Datu Keling sama sekali tidak
mengetahuinya, maka hal itulah yang dilakukannya.
Datu Keling salah kaprah, karena dianggapnya anaknya Raden Mas Panji
kawin dengan anaknya Amaq Bangkol itu tidak sederajat. Itulah sebabnya
di utus patih dalam (Mangkubumi-Jero Tuek) dan patih luar
(Mangkunegaran-Adipati) untuk menjemput putranya Raden Mas Panji pulang,
dengan alasan Mamiknya Datu Keling sakit keras dan ingin makan hati
menjangan putih.
Maha
Patih Jero Tuek dan Maha Patih Adipati pun berangkatlah menuju hutan
dimana Raden Mas Panji tinggal bersama isterinya Cilinaya. Raden Mas
Panji ketika mendengar kabar itu, lalu minta ijin pada isterinya untuk
memenuhi keinginan dan permintaan ayahandanya Datu Keling.Cilinaya pun
mengijinkan suaminya berangkat berburu memenuhi pesan Datu Keling. Namun
sebelum suaminya Raden Mas Panji berangkat, Cilinaya memberikan sebuah
cincin sambil berpesan pada suaminya, apabila cincin ini gugur (hancur)
dari jarinya, berarti dirinya sudah tidak ada di dunia ini.
Dikisahkan, usai memberikan cincin pada suaminya itu, maka Cilinaya
dan suaminya Raden Mas Panji berpisahlah. Mas Panji bersama pengiringnya
yang lain, selain Patih Jero Tuek dan Adipati, berangkatlah menuju
hutan untuk berburu demi memenuhi permintaan ayahandanya Datu Keling
yang kepingin makan hati menjangan putih.Sementara Jero Tuek dan Adipati
tetap tinggal di gubuq tempat Cilinaya berada bersama keluarganya.
Kemudian setelah kira-kira jarak 1 km Raden Mas Panji pergi masuk
hutan berburu, maka Patih Jero Tuek dan Patih Adipati menjalankan maksud
sebenarnya mereka berada di tempat itu, yaitu ingin melenyapkan
Cilinaya dari muka bumi. Namun sebelum niat kedua maha patih itu
dilaksanakan, Cilinaya mengajak keduanya ke kebun miliknya di pinggir
pantai bawah pohon ketapang, yang menurut Mangku Raden Singanem, lokasi
yang dimaksud oleh Cilinaya ketika itu adalah pantai sekitar 200 meter
kearah timur laut dari makam Cilinaya yang sekarang.”Di lokasi inilah
Cilinaya dibunuh oleh patih Jero Tuek,”kata Raden Singanem.
Sebelum dibunuh, Cilinaya berpesan kepada patih Jero Tuek, “Mun tetu
aku anak dedoro bebenes, agar darahku mencerit tun gon gumi berbau,
kemudian mun tetu aku terijati anak raja, maka biar darahku mencerit
taik sengeh,”(Kalau benar saya ini anak rakyat jelata, agar darah saya
muncrat keluar menetes ke bumi berbau busuk dan kalau benar saya ini
keturunan raja, agar darah saya keluar muncrat dari tubuh saya berbau
harum).
Patih Jero Tuek pun usai Cilinaya menyampaikan pesannya itu melakukan
tugasnya untuk melenyapkan keberadaan Cilinaya dari atas bumi. Patih
Jero Tuek terkejut dan kaget, ternyata darah Cilinaya muncrat keatas
bumi dibarengi dengan bau harum mewangi. Pikirnya ternyata ucapan
Cilinaya itu benar bahwa dirinya adalah keturunan raja yang tidak lain
adalah putri Datu Daha yang dikabarkan hilang 20 tahun silam.Penyesalan
pun tiada guna nasi sudah menjadi bubur.
Setelah Cilinaya mangkat, kemudian anaknya Raden Megatsih yang
kira-kira kala itu baru berumur 2 tahun, kemudian dilangkepkan diatas
jasad ibunya untuk di susui. Amak Bangkol dan Inaq Bangkol yang membawa
Raden Megatsih kala itu tidak kuasa melihat kenyataan di depan
matanya.Lalu Raden Megatsih di bawa pulang kembali ke gubuqnya oleh Amaq
Bangkol dan Inaq Bangkol untuk dipelihara. Sementara jasad Cilinaya
ketika itu masih terkapar di atas bumi.
Dengan bersusah payah Patih Jero Tuek dan Patih Adipati mempersiapkan
tablak (peti) sebagai tempat menaruh jasad Cilinaya, termasuk tenandan
(tali) dari perdu untuk mengikat tablak itu juga dipersiapkan.Setelah
seluruh persiapan sudah lengkap dan jasad Cilinaya juga sudah
ditempatkan dalam tablak, maka tablak yang berisi jasad Cilinaya itu di
hanyutkan ke tengah lautan luas hingga tidak terlihat kearah mana tablak
itu terbawa arus.
Sementara di tempat terbunuhnya Cilinaya, keadaan semakin mencekam.
Tiba-tiba datanglah angin pusut disertai hujan lebat dan halilintar
menyambar setiap benda yang dilaluinya.Patih Jero Tuek maupun Patih
Adipati sempoyongan sambil jatuh bangun akibat terjangan bencana
tersebut. Sehingga dengan peristiwa tersebut Patih Jero Tuek akhirnya
mangkat dan jasadnya dimakamkan di Tete Bukal, sekitar 200 meter kearah
selatan dari lokasi terbunuhnya Cilinaya. Makamnya hingga saat ini masih
ada dan tetap terpelihara tidak jauh dari makam Cilinaya.
Patih Adipati kemudian kembali ke istana kerajaan Datu Keling untuk
melaporkan bahwa tugasnya sudah dilaksanakan serta peristiwa dan
kejadian yang menimpa Patih Jero Tuek.Usai melaporkan itu, tiba-tiba
Patih Adipati pun juga mangkat seketika ditempat. Makam Patih Adipati
ini pun hingga sekarang masih ada dan tetap terpelihara di utara Bayan
Beleq (Tempos).
Konon ceritanya, setelah berselang 8 tahun kemudian, Datu Daha
berniat mengadakan acara rekreasi ke pantai “segara meneng” dengan
mengajak seluruh kaula balanya. Setelah tiba waktunya keluarga besar
kerajaan itu pun berangkatlah menuju pantai. Dari kejauhan Datu Daha
melihat sebatang pohon terapung diatas lautan.Disaat memperhatikan
batang kayu itu, tiba-tiba Datu Daha melihat burung gagak hinggap di
batang itu lalu terbang kembali. Datu Daha kala itu tidak memiliki
firasat apa-apa terhadap keadaan yang dilihatnya.
Batang kayu itu pun semakin lama semakin mendekat, ternyata yang
tadinya di kira batang kayu oleh Datu Daha, melainkan sebuah peti yang
isinya belum diketahui. Setelah agak dekat, kira-kira dalam air laut
kala itu sepinggang orang dewasa, maka Raja Daha mengerahkan seluruh
kaula balanya untuk mengangkat dan membuka peti itu. Namun peti itu
tidak bisa diangkat, apalagi membukanya.Maka Datu Daha sendirilah yang
mengambil dan membukanya dengan disaksikan oleh seluruh kaula balanya
serta para pembesar istana.
Betapa terkejutnya Datu Daha ketika membuka peti itu. Ternyata di
dalam peti itu adalah terdapat putrinya sendiri Cilinaya sedang duduk.
Kabar tentang ditemukannya putri Cilinaya masih hidup itu, cepat
tersebar ke seantero negeri kerajaan Daha maupun kerajaan Keling.
Kabar Cilinaya masih hidup ini pun sampailah ke telinga Raden Mas
Panji suaminya.Maka Raden Mas Panji pun tanpa pikir panjang berangkatlah
menuju istana kerajaan Daha untuk memastikan dengan membawa anak mereka
Raden Megatsih. Pertemuan sepasang suami isteri dan anak ini pun
berlangsung sangat memilukan. Karena mereka berpisah dulunya tidak
dengan sewajarnya.
Atas pertemuan tersebut, maka kedua belah keluarga besar kerajaan
mengadakan pesta syukuran selama 8 hari 8 malam.Datu Daha bersyukur
karena bertemu lagi dengan putrinya Cilinaya beserta cucunya, sementara
Datu Keling bersyukur karena putranya bisa kembali lagi ke istana.
Kemudian kedua kerajaan, baik Kerajaan Daha maupun Kerajaan Keling dapat
dipersatukan menjadi satu kerajaan yaitu Kerajaan Bayan. Karena adanya
ikatan tali perkawinan antara Cilinaya putri Datu Daha dan Raden Mas
Panji putra Datu Keling itulah, sehingga kerajaan Bayan itu
berdiri.(Eko).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar