Sesait, -- Berbicara mengenai sejarah, pandangan
kita tidak pernah lepas dari masa lampau.
Sejarah bukanlah suatu yang asing bagi kita.Walaupun demikian, masih
banyak diantara kita yang belum mengetahui sejarah peninggalan masa lalu
yang ada disekitar kita. Hal ini disebabkan karena kurangnya
peninggalan – peninggalan tertulis yang ditinggalkan oleh masyarakat
terdahulu yang sampai kepada generasi berikutnya.
Dalam tulisan kali ini, terfokus pada beberapa peninggalan sejarah yang
ditemukan di Gumi Paer Sesait, yang berhasil penulis kumpulkan dari
berbagai sumber.
Menurut Perbekel Adat Sesait Masidep, menyebutkan ada beberapa
peninggalan sejarah yang ditemukan di Gumi Paer Sesait, yang hingga kini
masih tersimpan lestari. Peninggalan-peninggalan sejarah tersebut, ada
disimpan dalam Kampu dan ada pula masih disimpan oleh keturunannya.
Diantara peninggalan sejarah yang hingga kini masih tersimpan lestari
tersebut,
Pertama, Kulem adalah nama sebuah alat yang
dipergunakan oleh Mak Beleq (sebutan Datu Bayan sebelum menjadi Datu
Bayan) sebagai sikap (senjata) dalam perjalanan jauh ke Semboya, untuk
memantau kawasan utara gunung Rinjani yang nantinya akan dijadikan
sebagai lokasi mendirikan sebuah kerajaan.
Kulem, yang sudah berusia puluhan abad ini, secara turun binurun masih
tersimpan rapi oleh keturunannya yang ke-58 di dusun Sumur Pande Tengak
Desa Sesait Kecamatan Kayangan KLU. Kulem tersebut adalah sejenis
Perisai terbuat dari kayu dan sebilah keris.
Sebenarnya, Kulem ini adalah nama orang yang mendampingi Mak Beleq dalam
perjalanannya menuju daerah Semboya, untuk melihat seluruh daerah
kawasan utara gunung Rinjani, daerah yang mana kira-kira yang cocok
untuk mendirikan sebuah kerajaan baru. Dari kerajaan baru inilah
nantinya akan dijadikan pusat penyebaran Islam keseluruh pelosok
dikawasan utara gunung Rinjani.
Mak Beleq, dengan didampingi oleh pengiringnya yang bernama Kulem pada
masa itu, sebelum sampai ke tempat tujuan, Mak Belek singgah dulu
disebuah gubug di daerah Santong (sekarang Santong Asli) untuk
beristirahat sejenak menghilangkan kepenatan akibat perjalanan jauh.
Gubug yang digunakan oleh Mak Beleq sebagai tempat istirahat tersebut,
hingga sekarang gubug ini masih terpelihara dengan baik oleh
keturunannya, yang memang berdasarkan purusanya.
Untuk sampai ketempat yang dituju oleh Mak Beleq bersama pendampingnya
Kulem kala itu, mengharuskan dirinya singgah dulu untuk beristirahat
dirumah yang sampai saat ini masih terpelihara di Santong Asli. Setelah
itu baru dilanjutkan perjalanannya menuju Semboya. Tiba disana,
dicarilah tempat yang cocok dijadikan pijakan, untuk melihat daerah
sejauh mata memandang yang ada di lereng utara gunung Rinjani. Batu
pijakan yang digunakan oleh Mak Beleq kala itu, yang oleh masyarakat
adat wet Sesait dikenal dengan nama”Batu Penginjakan Semboya,” juga
sampai saat ini masih terpelihara dengan baik dan dijaga oleh purusanya.
Kedua, ‘Bale Bangar Gubuq’, yang oleh masyarakat
setempat disebutnya Pagalan. Bale ini, terletak ditengah-tengah Gubuq
Dasan Beleq, dengan ukuran 5x5 m. Bale (rumah) ini, menurut Malinom,
keberadaannya diyakini dibuat oleh orang yang pertama kali datang dan
menetap di Dusun Dasan Beleq.
“Kedatangannya dari mana, dan siapa nama nya, itu tidak bisa
dipastikan,”kata Malinom dengan mimik yang penuh keseriusan.
Namun menurut Sahir (40), salah seorang tokoh muda yang disegani di
dusun setempat, menceritakan kepada suarakomunitas.net, tentang
keberadaan dari seorang wali penyebar agama Islam yang pertamakali
datang dan menetap di kampung Dasan Beleq tersebut.
Diceritakan, konon katanya, pada sekitar abad 16 Masehi, ketika agama
Islam sudah mulai tersebar ke seluruh pelosok tanah air, tak terkecuali
para penyebar ajaran Islam sampai juga ke wilayah utara lereng gunung
Rinjani. Termasuk di gumi Dasan Beleq ini.
Para penyebar agama Islam yang pertama kali datang ke tempat itu (Dasan
Beleq), menurut Sahir, diawali dari Gunung Rinjani. Penyebar agama Islam
ini, bernama Mak Beleq dan Kendi (menyerupai Kendi) turun dari Gunung
Rinjani, yang dikemudian hari, dalam perjalanan sejarah, setelah
berkuasa dan menyebarkan agama Islam di daerah Bayan, Mak Beleq dikenal
dengan sebutan Datu Bayan.Sedangkan temannya yang bernama Kendi tadi,
kala itu,tetap tinggal dan menyebarkan agama Islam di daerah Dasan Beleq
dan sekitarnya.
Ketiga, Peninggalan Sriangge, berupa : Takepan Lahat
yang ditulis didaun lontar, Kitab Shalawatan dan Umbak Bayan, juga yang
hingga kini masih tersisa adalah pohon Kelor dan Paving block. Pohon
Kelor (remunggek) ini masih ada hingga sekarang, tidak jauh dari
makamnya. Pohon ini dulunya diyakini sengaja ditanam dekat tempayan
(Ploncor) yang digunakan sebagai wadah menyimpan air untuk wudu’.
Dalam menjalani kehidupan bersama istrinya di gawah alas bana ini,
Sriangge terus menjalankan kewajibannya untuk ta’at kepada Allah Swt,
hingga akhir hayatnya.Disamping itu, hingga saat ini bekas peninggalan
Sriangge masih tersimpan.
Menurut Amaq Sudirahman (Narimah), salah seorang keturunan ke -12 dari
Sriagan, menceritakan bahwa ke-5 anak Sriagan ini, antara lain Sriangge,
Bading, Gubah, Oncok dan Goneng.
”Kelima anak dari Sriagan ini mempunyai andil dalam memperluas wilayah
penyebaran Islam kala itu,”sebut Narimah.
Sebut saja, lanjut Narimah seperti Gubah, mendapat tugas ke Soloh dan
ke Jawa Timur serta ke Betawi, Bading ke Lombok Tengah, Goneng ke Bayan,
Oncok di sekitar Barat Laut wet Sesait dan Sriangge ke Beraringan dan
sekitarnya.
Bagaimana kiprah dan keberadaan dari para penyebar Islam putra asli dari
Gumi Paer Sesait ini, tidak banyak diketahui. Hanya yang dibahas dalam
tulisan ini adalah ketokohan Sriangge dan keteguhan imannya dalam
mempertahankan ajaran Islam dari pengaruh Hindu yang masuk ke wet Sesait
kala itu.
Di ceritakan bahwa ketika berkuasanya kerajaan Majapahit sampai
menguasai seluruh Nusantara lewat sumpah serapah dari patihnya Gajah
Mada, maka pengaruhnya sampai juga ke tanah / gumi paer Sesait, yang
kala itu penduduknya menganut agama Islam yang ta’at beribadah.
Sehingga, ketika pengaruh Hindu ini masuk ke gumi paer Sesait, maka dari
kalangan santri yang ta’at beribadah ini, meninggalkan gumi paer Sesait
untuk mengasingkan diri dari pengaruh Hindu ke salah satu kawasan Gawah
Alas Bana, yang belum pernah terjamah tangan manusia.
Di Gawah Alas Bana (diyakini sebelah barat Dusun Beraringan sekarang)
inilah Santri yang bernama Sriangge bersama keluarganya tinggal dan
menetap hingga akhir hayatnya.
Keempat, Peninggalan Sayyid Anom dalam kiprahnya
menyebarkan agama Islam. Al-Qur’an tulis tangan pada kulit onta, yang
usianya menurut Piagam Sesait sekitar 580 tahun yang lalu. Disamping
itu, ada juga peninggalannya yang lain, seperti Mesjid Kuno, Tongkat
khutbah yang terbuat dari hati pohon pisang (galih) dan Balai Agung Adat
(Singgasana Raja) yang disebut Kampu.
Ajaran-ajaran yang dibawa oleh ulama Sayyid Anom ini adalah Fiqh Ushul
dan Tasawuf. Dalam praktek syiarnya, metode yang dilakukan adalah tidak
bertentangan dengan adat istiadat setempat. Sehingga dalam perayaan
hari-hari besar Islam, seperti Maulid Nabi Muhammad Saw ketika itu,
dilaksanakan secara adat. Hingga kini, ritual Maulid adat di kampung
yang namanya Sesait ini, tetap lestari pelaksanaan Maulid secara Adat.
Ulama Sayyid Anom, dalam penyampaian risalah atau ajaran agama Islam
yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw ini, menurut Piagam Sesait, bahwa
Raja Sesait Demung Melsi Jaya, berikut empat orang Patihnya masuk Islam
pada awal abad ke 17.
Kelima, Peninggalan situs pemandian Inaq Empleng
Bleleng yaitu Situs Sumur Lokok Paok.
Sekitar satu kilo meter ke arah barat laut Kampung Sesait inilah lokasi
situs Sumur Lokok Paok itu berada. Keberadaan sumur ini, persis dilereng
bukit gontoran Gunung Konoq, diatas Lokok Saong sebelah timur Gubuq
Setowek, yang hingga kini keasliannya masih terpelihara rapi. Hanya
saja, seiring dengan perubahan zaman jutaan abad yang silam, penutup
dari sumur ini sudah raib ditelan waktu.
Menurut cerita M.Ali salah seorang tokoh masyarakat Sesait, menceritakan
hal ihwal keberadaan sumur lokok paok tersebut.
Di ceritakannya bahwa, sumur lokok paok ini, dulu pada zaman ireng,
sumur ini diyakini sebagai sumur tempat pemandian Inaq Empleng Bleleng.
Batu lesung yang ada persis didekat sumur ini, diyakini sebagai wadah
tempat menumbuk kelapa atau sejenisnya sebagai alat untuk keramas.
Kebiasaan orang tua zaman dahulu, sebelum mandi, biasanya keramas
terlebih dahulu, baru kemudian mandi ’melangeh’.
Tidak jauh dari tempat batu lesung tadi, yaitu sekitar satu meter arah
utara darinya terdapat satu buah batu lesung lagi yang lubangnya ada
lima. Ini, menurut M.Ali, diyakini juga sebagai tempat Inaq Empleng
Bleleng menaruh segala macam racikan ramuan untuk dijadikan obat-obatan.
Disamping situs Sumur Lokok Paok, ada dua sumur lagi berderet disebelah
utaranya, yaitu Sumur Lokok Lengkak dan Sumur Lokok Koloh yang
menyerupai gua. Dari sumur Koloh yang menyerupai gua inilah hingga
sekarang digunakan oleh penduduk Sejongga, untuk mengambil air sebagai
sumber kehidupan mereka.
Keenam, situs Lokok Kremean,Sumur Jukung, Sumur Minyak,
Batu Lesong dan Lokok Nampih.
Menurut penuturan Lakiep (48) yang sudah empat tahun menjaga situs ini,
menjelaskan bahwa, situs-situs ini ada keterkaitannya satu sama lain dan
mengaku sebagai penjaga situs tersebut berdasarkan Purusa (garis
keturunan) dari Bapuk Buntit-Amaq Sanggia (Marga Sanggia).
”Menurut cerita orang tua jaman dahulu, bahwa sebelum pelaksanaan Maulid
Adat, ditempat situs ini, Pare (padi) ditutu (ditumbuk) , kemudian
ditampik (dibersihkan), kemudian di Krem (di rendam), lalu dibuat Jaja
Pangan (sejenis penganan), lau di goreng. Setelah semuanya ini sudah
selesai, kemudian dibawa kembali menggunakan Jukung (sampan/rakit) ke
Kampu (rumah adat) di Sesait untuk proses selanjutnya.”cerita Lakiep
dengan semangat.
”Itulah sebabnya ada situs Batu Lesong (digunakan untuk menumbuk padi),
situs Lokok Nampih (tempat Menampik/membersihkan beras), situs Lokok
Kremean (tempat merendam beras sebelum dibuat jaja pangan) dan situs
Sumur Jukung (diyakini sebagai sampan/rakit untuk membawa beras dan jaja
pangan ke Kampu),”jelas Lakiep.
Ketujuh, Sumur Pemandian Datu Sesait Lokok Kapuk.
Konon, menurut sejarah Sesait, dimasa jayanya pemerintahan “Datu Sesait”
atau yang lebih dikenal oleh masyarakat Wet Sesait dengan sebutan “Tau
Lokak Empat” (Pemusungan, Penghulu, Mangku Gumi dan Jintaka), sumur
lokok Kapuk ini adalah di yakini sebagai tempat Pemandiannya.
Menurut cerita A.Kaimah (alm) yang berkuasa di Kampu Sesait (1870)
sebagai Raja Sesait yang ke-25 kala itu, yang diceritakan kembali oleh
Dagul dan Bukren, bahwa keberadaan Sumur Lokok Kapuk ini, dulunya adalah
sebagai induk dari seluruh mata air yang bermunculan di gontoran Sentul
hingga Gubug Setowek. Namun setelah Sumur Lokok Kapuk ini ditutup oleh
Tau Lokak Empat Sesait, maka sumur ini tidak lagi mengeluarkan air
seperti sedia kala atau sebesar sebagaimana keadaannya semula.
Sebagaimana diceritakan bahwa diameter sumber mata air di sumur lokok
Kapuk yang diyakini ditunggui oleh seekor ikan Tuna Putih ini adalah
sebesar batang pohon enau. Tidak bisa dibayangkan, betapa besar air yang
keluar dari sumur tersebut. Sehingga ketika sumur ini belum ditutup
dulu, aliran airnya membentuk sebuah kali besar. Namun sekarang, bekas
aliran kali tersebut sudah menjadi areal persawahan milik Dagul Sentul.
Sumur ini ditutup oleh Tau Lokak Empat Sesait, menggunakan Ijuk, pare
bulu satu ikat, sebilah keris, seekor ayam putih mulus dan daun sirih
digulung kemudian dimasukkan dalam kepeng bolong dalam sebuah upacara
ritual adat, karena dikhawatirkan akan menjadi rebutan penguasa Hindu
yang sampai ke wet Sesait kala itu. Seandainya sumur ini tidak ditutup,
maka orang-orang Hindu pelarian Majapahit dari Jawa abad 16 silam, akan
bermukim dan menetap di lokasi sekitar sumur itu.
Kekhawatiran para sesepuh Sesait kala itu, patut diacungi jempol. Karena
berhasil menutup sumur yang menjadi tempat pemandian para Datu yang
memerintah di wet Sesait kala itu. Sehingga dengan ditutupnya sumur
tersebut, penguasa Hindu yang datang ke Sesait yang merupakan pelarian
dari Majapahit karena terdesak dengan masuknya pengaruh Islam masa itu,
maka tidak menemukan sumur yang merupakan tempat pemandian para ‘Datu
Sesait’ yang berkuasa secara turun-binurun.
Kedelapan, Situs Makam Datu Sentul yang bernama
’Sinom’. Makam ini tidak jauh dari jalan raya Sentul-Cempaka dan
terletak dipinggir telabah, sekitar 10 meter sebelah timur rumah Masdan
(43) di Sentul Desa Pendua Kecamatan Kayangan Lombok Utara.
Keberadaan Makam ini, yang oleh masyarakat setempat diyakini memilki
Karomah tersendiri. Misalnya saja, menurut salah seorang tokoh
masyarakat Sentul yang tidak ingin dipublikasikan namanya mengatakan,
ketika ada anggota masyarakat yang secara kebetulan duduk di atas makam
Datu ini, maka seketika buah pelirnya terasa membesar. Padahal
kenyataannya tidak demikian. Hanya perasaannya saja yang merasakan buah
pelirnya membesar.
Menurut sejarah, ketika Datu Sinom ini memerintah kerajaan Sentul
ratusan tahun silam, diceritakan bahwa pada masa jayanya, Datu Sinom
adalah satu – satunya Raja yang tidak memiliki musuh dengan raja-raja
yang berkuasa dilingkar utara gunung Rinjani kala itu. Termasuk dengan
Raja Sesait. Karena antara Raja Sentul dengan Raja Sesait berbesan.
Wilayah kerajaan Sentul diyakini adalah hanya sebatas gontoran Sentul
yang sekarang hingga Gubug Setowek. Kerajaan ini memiliki Kaula Bala
sejumlah 144 KK. Itulah sebabnya, hingga sekarang, jumlah penduduk yang
mendiami daerah Sentul yang menjadi sebuah Dusun saat ini harus
berjumlah 144 KK. Tidak boleh lebih dari itu. Kalau lebih, menurut
Bukren, harus pindah tempat tinggal diluar dari wet Sentul.
Peninggalan Datu Sinom diantaranya adalah Sumur Lokok Buyut. Sumur ini
adalah tempat pemandian Datu Sinom beserta keluarganya. Namun keberadaan
keluarga maupun sampai kapan memerintah, tidak banyak diketahui. Hanya,
Datu sinom ini memiliki menantu yang bernama Merkani. Merkani inilah
yang menurunkan nenek moyang Bukren Klau di Sesait.Dan salah satu
peninggalannya yang sangat terkenal hingga kini masih dilestarikan
adalah ’Tembang Sinom’.
Kesembilan, Situs telapak kaki Datu Keling. Menrut
keterangan tokoh Adat KLU, Djekat S.Sos. yang juga anggota DPRD KLU,
bahwa bekas telapak kaki ini erat kaitannya dengan cerita rakyat atau
dongeng masyarakat Sesait, yaitu kisah perjalanan Teruna Keling (Datu
Keling). Konon ceritanya Datu Keling pernah berwasiat kepada Kaula
Balanya (Rakyat) jika suatu saat dia akan menghilang maka dia akan
meninggalkan bekas telapak kakinya. Sangat besar kemungkinan, jika bekas
telapak kaki ini adalah jejak Datu Keling seperti yang diwasiatkan.
Hal ini juga, dibenarkan oleh Juru Tulis Pembekel Adat Wet
Sesait,Masidep. menjelaskan bahwa kisah perjalanan Datu Keling
diabadikan dalam cerita Cupak Gurantang. Konon ceritanya, Teruna Kling
memiliki dua orang putra. Putra pertamanya bernama Cupak yang
berkarakter rakus dan sombong sedangkan putra keduanya bernama Gurantang
adalah sosok yang lembut, baik hati, jujur dan patuh kepada orang tua.
Sehingga kisah cupak gurantang diabadikan dalam bentuk drama oleh
masyarakat.
Disamping keberadaan situs telapak kaki yang menempel ditebing bebatuan
sungai cempogok Kayangan tersebut, bukti yang lain memperkuat dugaan
bahwa, memang benar bekas telapak kaki Datu Keling yang diyakini pernah
berkuasa disekitar lereng gunung Rinjani pada masa pra aksara, juga
tidak jauh dari situs telapak kali ini,sekitar dua ratus meter kea rah
selatan, ditemukan pula situs Jukung (sampan/rakit), Telapak Kaki Kuda
dan situs dudukan serta situs aliran air seni dari Datu Keling yang
menempel disekitar bebatuan kelat lante Empak Mayong Kayangan.
Tidak hanya itu saja, sebagai pendukung keberadaan situs telapak kaki
ini, sekitar 500 meter kearah barat daya situs tersebut, ditemukan pula
situs Sumur Jembung dan situs Batu Dendeng Bertutup. Situs-situs yang
ditemukan ini pula, yang oleh masyarakat adat wet Sesait diyakini
sebagai peninggalan dari Datu Keling yang pernah ada dan jaya
dimasanya.(Eko).