Sumbawa,(SK),--
 OBYEK wisata di Kabupaten Sumbawa, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, 
tidak cuma laut. Peninggalan sejarah dan purbakala agaknya perlu 
ditengok. 
Sebutlah
 sarcophagus atau kubur batu, di mana mayat manusia disimpan. Tinggalan 
budaya megalitik ini berada di Situs Ai Renung, Dusun Ai Renung, Desa 
Batu Tering, Kecamatan Moyo Hulu, sekitar 35 kilometer selatan Sumbawa 
Besar. Ai berarti air, dan renung adalah pohon kapuk. Air itu keluar 
dari pohon kapuk sekaligus jadi sumber air minum bagi penduduk. 
"Itu dulu, sekarang airnya cuma netes," 
kata Anwar (55), penjaga situs. Tumbangnya pohon kapuk disertai 
degradasi lingkungan hutan, menjadikan sumber air itu tinggal kenangan. 
Situs ai renung adalah situs pertama 
yang ditemukan di Kabupaten Sumbawa.  Penemunya adalah Dinullah Rayes 
dari kabin kebudayaan kabupaten Sumbawa tahun 1971 bersama Drs. Made 
Purusa dari Balai Arkeologi Denpasar serta tenaga ahli dari pusat 
Arkeologi nasional yang melakukan penelitian pertama. Pada penelitian 
pertama ditemukan hanya tiga buah sarkopagus, lalu setelah dilakukan 
peneitian yang berkelanjutan, sampai saat ini sudah ditemukan tujuh buah
 sakopagus (kuburan batu).
Disebut situs Ai renung karena berada 
dikompleks persawahan Ai-renung dekat kampung Ai-Renung (waktu itu). 
Seluruh lokasi tersebut berada dalam wilayah Desa Batu Tering Kecamatam 
Moyohulu.
Setelah dilakukan pemugaran, situs 
Ai-renung sebenarnya sudah dapat di jadikan obyek wisata budaya. Tetapi 
tersebab tidak ditunjangnya dengan pembangunan jalan raya ke lokasi 
situs, maka obyek menjadi jarang dikujungi orang. Tetapi tidak jarang 
juga para mahasiswa dan peneliti asing datang ke Ai-renung, lebih-lebih 
mahasiswa arkeologi. Padahal lokasinya sangat memungkinkan untuk di 
kembangkan menjadi obyek wisata, baik wisata budaya, alam(wana-wisata), 
camping dan lain-lain.
Untuk datang ke Ai-Renung yang berjarak 5
 km dari Batu tering (30 km dari Sumbawa besar). Sebelum memasuki 
gerbang desa Batu Tering, ada simpang jalan ke kanan arah selatan. Dari 
itu jalan kaki sejauh 5 km yang ditempuh selama 1 sampai 1,5 jam. Bagi 
yang nekad boleh saja naik motor karena jalan menanjak dan berbatu-batu,
 namun kendaraan tidak boleh di bawa masuk ke lokasi situs Karena akan 
mengganggu kelestarian benda-cagar budaya.
Dari Sumbawa Besar ke situs itu, sejauh 
30 kilometer bisa ditempuh dengan kendaraan roda empat dan roda dua, 
sisanya enam-tujuh kilometer berjalan kaki selama dua jam, atau empat 
jam pergi-pulang. Jalan yang dilalui umumnya jalan perintis maupun jalan
 setapak. Agaknya kawasan itu masih berstatus hutan, meski terlihat 
satu-dua penduduk yang tengah merintis lahan untuk dijadikan kebun 
maupun sawah.
Kaki mesti dikuat-kuatkan melenggang, 
mengingat kondisi jalan yang naik-turun, berdebu, berbatu dan pandangan 
seakan digiring berhenti pada gugusan bukit. Hanya kesepian yang 
membungkus suasana perjalanan. Benak pun menyimpan tanya: benar atau 
salahkah jalan yang ke situs, sebab tidak ada terpasang tanda penunjuk 
arah ke situs.
Apa boleh buat hati dipaksa main tebak, 
karena banyak jalan bercabang. Keliru pilih jalan, tenaga bisa rontok 
sebelum sampai tujuan, apalagi medan tempuh yang menanjak. Sudah untung 
berpapasan dengan manusia dalam satu jam jalan kaki. Di kiri-kanan jalan
 membentang sawah tadah hujan yang kosong tanaman saat musim kemarau.
Kalau pun ada hiburan, mungkin datang dari cicit burung yang bermain di ranting pohon, atau suara kerotok (bahasa Sasak), sejenis assesori ternak di antaranya terbuat dari kayu. Bentuknya empat persegi, bagian tengahnya melengkung dan berongga yang didalamnya bergantungan kayu-kayu kecil. Alat ini dikalungkan pada leher kuda, sapi dan kerbau. Bak dentang suara musik, saat ternak ini bergerak, kalung itu mengeluarkan beragam bunyi yang saling bersahutan.
Kalau pun ada hiburan, mungkin datang dari cicit burung yang bermain di ranting pohon, atau suara kerotok (bahasa Sasak), sejenis assesori ternak di antaranya terbuat dari kayu. Bentuknya empat persegi, bagian tengahnya melengkung dan berongga yang didalamnya bergantungan kayu-kayu kecil. Alat ini dikalungkan pada leher kuda, sapi dan kerbau. Bak dentang suara musik, saat ternak ini bergerak, kalung itu mengeluarkan beragam bunyi yang saling bersahutan.
Akhirnya setelah berjalan sekitar dua 
jam, sampailah ke lokasi sarcophagus. Kubur batu itu letaknya terpisah 
pada lima lokasi. Lokasi pertama terdapat dua sarkopag, yang satu unit 
bagian bawah dan penutupnya masih lengkap, yang satu unit lagi badannya 
sudah pecah dan penutupnya bergeser beberapa meter dari badannya.
Kondisi sarkopag yang tidak jauh berbeda
 (terpecah-pecah) terletak di timur laut dan utara (lokasi II, III) dari
 lokasi pertama. Satu sarkopag yang berlokasi di lereng sebuah bukit 
(lokasi IV), kemudian ada sarkopag ganda terdapat juga di lereng 
perbukitan tadi yang disebut Gunung Sangka Bulan. Diperlukan waktu 15-20
 menit mendaki lokasi sarkopag yang terakhir disebut.
Rata-rata pada peti mayat ini terpahat 
sejumlah ornamen seperti topeng, gambar biawak, manusia (perempuan) 
dalam posisi mengangkang dengan jenis kelaminnya menonjol, ada yang 
berdiri mengangkat dua tangan ke atas, ada pula dalam posisi tidur. 
Motif hias pada batu wadah mayat di Ai Renung, umumnya ditemukan pada 
wadah sama di tempat lain seperti di Besuki, Sulawesi, Sumba, dan Bali. 
Mungkin pola hias itu menggambarkan alam pikiran manusia saat itu yang 
umumnya tersebar di Nusantara.
Gambar alat kelamin, misalnya, 
melambangkan kesuburan. Binatang melata (kadal, biawak) merupakan 
simbolisasi hubungan alam arwah. Satwa itu "ditugasi" menjaga arwah si 
mati agar tidak diganggu kekuatan jahat dalam perjalanan ke alam arwah. 
Ada penelitian yang menyebutkan, kedua jenis binatang melata itu 
menduduki tempat penting dalam alam pikiran dan kepercayaan bangsa 
Indonesia dan Polinesia. Bahkan dianggap penjelmaan roh nenek moyang 
atau roh pemimpin suku guna melindungi keturunan/sukunya.
Wadah batu jasad manusia di Ai Renung 
(dinyatakan satu-satunya temuan di Indonesia dan dunia, yang menunjukkan
 tingginya peradaban manusia-Red), itu mengarah ke Gunung Sangka Bulan. 
Ini bisa jadi berkaitan dengan kepercayaan masyarakat Prasejarah yang 
menganggap arwah berada di tempat yang tinggi.
Dalam buku Travel Guides East of Bali, 
From Lombok to Timor disebutkan, diperkirakan bangsa Austronesia yang 
pertama mendarat di Sumbawa tahun 2000 SM. Mereka memperkenalkan 
pertanian (cara bercocok tanam), sekaligus pionir agricultur di sana. 
Bukti kedatangan mereka ini ada di sebelah barat daya Desa Batu Tering 
berupa sarcophagus yang didekorasi dengan pahat, sebagai kubur kepala 
suku mereka. Diduga oleh para arkeolog bahwa zaman itu adalah kebudayaan
 megalitik (batu besar).
Kebudayaan megalitik yang berkembang 
pada zaman perundagian (babak akhir) Prasejarah Indonesia, menunjukkan 
pula adanya sistem sosial yang sudah mengenal adanya kepemimpinan. 
Pasalnya, hanya orang terkemuka dalam struktur sosial/kemasyarakatan 
yang mayatnya boleh disimpan dalam wadah batu itu.
Sembari menelusuri medan tracking dalam 
perjalanan pulang dari lokasi sarcophagus itu, selain muncul decak kagum
 akan karya cipta manusia masa silam, benak pun digoda sederet 
pertanyaan. Adakah masa silam Sumbawa dan manusia Samawa perjalanannya 
dimulai dari situ, jasad siapa dan ras manakah penghuni sarkophag itu. 
Adakah ras bangsa yang jasadnya 
terbaring dalam kotak batu itu, termasuk ras Mongoloid seperti halnya 
penelitian RP Soejono tahun tahun 1960-1964 yang menemukan sarcophagus 
utuh di Desa Cacang, Gianyar, Bali, yang didalamnya berisi si mati dari 
ras Mongoloid?  Entahlah, tugas para ahli arkeologi-lah untuk membuka 
kunci jawabannya. Yang jelas, tinggalan arkeologis ini menyimpan masa 
silam Sumbawa, yang bisa dijadikan media perekat emosi bagi etnis di 
Nusantara ini, di tengah isu krisis multidimensional yang mengarah pada 
disintegrasi bangsa.
Wajar penulis Lalu Mantja dalam buku 
Sumbawa Pada Masa Lalu, Suatu Tinjauan Sejarah mengatakan, "...Situs Ai 
Renung, Desa Batu Tering merupakan monumen sejarah, yang dapat dihayati 
oleh seluruh masyarakat dari generasi kini ke generasi selanjutnya, 
bahkan dapat membawa masyarakat untuk mengenal sejarah bangsanya secara 
ril, ke arah pembentukan watak dan kepribadian bangsa, membangkitkan 
keutuhan bangsa dan kesadaran nasional..." (rul)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar