Jumat, 07 Desember 2012

Situs Ai Renung Peninggalan Masa Silam Sumbawa

Sumbawa,(SK),-- OBYEK wisata di Kabupaten Sumbawa, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, tidak cuma laut. Peninggalan sejarah dan purbakala agaknya perlu ditengok.

Sebutlah sarcophagus atau kubur batu, di mana mayat manusia disimpan. Tinggalan budaya megalitik ini berada di Situs Ai Renung, Dusun Ai Renung, Desa Batu Tering, Kecamatan Moyo Hulu, sekitar 35 kilometer selatan Sumbawa Besar. Ai berarti air, dan renung adalah pohon kapuk. Air itu keluar dari pohon kapuk sekaligus jadi sumber air minum bagi penduduk.
"Itu dulu, sekarang airnya cuma netes," kata Anwar (55), penjaga situs. Tumbangnya pohon kapuk disertai degradasi lingkungan hutan, menjadikan sumber air itu tinggal kenangan. 

Situs ai renung adalah situs pertama yang ditemukan di Kabupaten Sumbawa. Penemunya adalah Dinullah Rayes dari kabin kebudayaan kabupaten Sumbawa tahun 1971 bersama Drs. Made Purusa dari Balai Arkeologi Denpasar serta tenaga ahli dari pusat Arkeologi nasional yang melakukan penelitian pertama. Pada penelitian pertama ditemukan hanya tiga buah sarkopagus, lalu setelah dilakukan peneitian yang berkelanjutan, sampai saat ini sudah ditemukan tujuh buah sakopagus (kuburan batu).

Disebut situs Ai renung karena berada dikompleks persawahan Ai-renung dekat kampung Ai-Renung (waktu itu). Seluruh lokasi tersebut berada dalam wilayah Desa Batu Tering Kecamatam Moyohulu.

Setelah dilakukan pemugaran, situs Ai-renung sebenarnya sudah dapat di jadikan obyek wisata budaya. Tetapi tersebab tidak ditunjangnya dengan pembangunan jalan raya ke lokasi situs, maka obyek menjadi jarang dikujungi orang. Tetapi tidak jarang juga para mahasiswa dan peneliti asing datang ke Ai-renung, lebih-lebih mahasiswa arkeologi. Padahal lokasinya sangat memungkinkan untuk di kembangkan menjadi obyek wisata, baik wisata budaya, alam(wana-wisata), camping dan lain-lain.

Untuk datang ke Ai-Renung yang berjarak 5 km dari Batu tering (30 km dari Sumbawa besar). Sebelum memasuki gerbang desa Batu Tering, ada simpang jalan ke kanan arah selatan. Dari itu jalan kaki sejauh 5 km yang ditempuh selama 1 sampai 1,5 jam. Bagi yang nekad boleh saja naik motor karena jalan menanjak dan berbatu-batu, namun kendaraan tidak boleh di bawa masuk ke lokasi situs Karena akan mengganggu kelestarian benda-cagar budaya.

Dari Sumbawa Besar ke situs itu, sejauh 30 kilometer bisa ditempuh dengan kendaraan roda empat dan roda dua, sisanya enam-tujuh kilometer berjalan kaki selama dua jam, atau empat jam pergi-pulang. Jalan yang dilalui umumnya jalan perintis maupun jalan setapak. Agaknya kawasan itu masih berstatus hutan, meski terlihat satu-dua penduduk yang tengah merintis lahan untuk dijadikan kebun maupun sawah.

Kaki mesti dikuat-kuatkan melenggang, mengingat kondisi jalan yang naik-turun, berdebu, berbatu dan pandangan seakan digiring berhenti pada gugusan bukit. Hanya kesepian yang membungkus suasana perjalanan. Benak pun menyimpan tanya: benar atau salahkah jalan yang ke situs, sebab tidak ada terpasang tanda penunjuk arah ke situs.

Apa boleh buat hati dipaksa main tebak, karena banyak jalan bercabang. Keliru pilih jalan, tenaga bisa rontok sebelum sampai tujuan, apalagi medan tempuh yang menanjak. Sudah untung berpapasan dengan manusia dalam satu jam jalan kaki. Di kiri-kanan jalan membentang sawah tadah hujan yang kosong tanaman saat musim kemarau.

Kalau pun ada hiburan, mungkin datang dari cicit burung yang bermain di ranting pohon, atau suara kerotok (bahasa Sasak), sejenis assesori ternak di antaranya terbuat dari kayu. Bentuknya empat persegi, bagian tengahnya melengkung dan berongga yang didalamnya bergantungan kayu-kayu kecil. Alat ini dikalungkan pada leher kuda, sapi dan kerbau. Bak dentang suara musik, saat ternak ini bergerak, kalung itu mengeluarkan beragam bunyi yang saling bersahutan. 

Akhirnya setelah berjalan sekitar dua jam, sampailah ke lokasi sarcophagus. Kubur batu itu letaknya terpisah pada lima lokasi. Lokasi pertama terdapat dua sarkopag, yang satu unit bagian bawah dan penutupnya masih lengkap, yang satu unit lagi badannya sudah pecah dan penutupnya bergeser beberapa meter dari badannya.
Kondisi sarkopag yang tidak jauh berbeda (terpecah-pecah) terletak di timur laut dan utara (lokasi II, III) dari lokasi pertama. Satu sarkopag yang berlokasi di lereng sebuah bukit (lokasi IV), kemudian ada sarkopag ganda terdapat juga di lereng perbukitan tadi yang disebut Gunung Sangka Bulan. Diperlukan waktu 15-20 menit mendaki lokasi sarkopag yang terakhir disebut.

Rata-rata pada peti mayat ini terpahat sejumlah ornamen seperti topeng, gambar biawak, manusia (perempuan) dalam posisi mengangkang dengan jenis kelaminnya menonjol, ada yang berdiri mengangkat dua tangan ke atas, ada pula dalam posisi tidur. Motif hias pada batu wadah mayat di Ai Renung, umumnya ditemukan pada wadah sama di tempat lain seperti di Besuki, Sulawesi, Sumba, dan Bali. Mungkin pola hias itu menggambarkan alam pikiran manusia saat itu yang umumnya tersebar di Nusantara.

Gambar alat kelamin, misalnya, melambangkan kesuburan. Binatang melata (kadal, biawak) merupakan simbolisasi hubungan alam arwah. Satwa itu "ditugasi" menjaga arwah si mati agar tidak diganggu kekuatan jahat dalam perjalanan ke alam arwah. Ada penelitian yang menyebutkan, kedua jenis binatang melata itu menduduki tempat penting dalam alam pikiran dan kepercayaan bangsa Indonesia dan Polinesia. Bahkan dianggap penjelmaan roh nenek moyang atau roh pemimpin suku guna melindungi keturunan/sukunya.

Wadah batu jasad manusia di Ai Renung (dinyatakan satu-satunya temuan di Indonesia dan dunia, yang menunjukkan tingginya peradaban manusia-Red), itu mengarah ke Gunung Sangka Bulan. Ini bisa jadi berkaitan dengan kepercayaan masyarakat Prasejarah yang menganggap arwah berada di tempat yang tinggi.

Dalam buku Travel Guides East of Bali, From Lombok to Timor disebutkan, diperkirakan bangsa Austronesia yang pertama mendarat di Sumbawa tahun 2000 SM. Mereka memperkenalkan pertanian (cara bercocok tanam), sekaligus pionir agricultur di sana. Bukti kedatangan mereka ini ada di sebelah barat daya Desa Batu Tering berupa sarcophagus yang didekorasi dengan pahat, sebagai kubur kepala suku mereka. Diduga oleh para arkeolog bahwa zaman itu adalah kebudayaan megalitik (batu besar).

Kebudayaan megalitik yang berkembang pada zaman perundagian (babak akhir) Prasejarah Indonesia, menunjukkan pula adanya sistem sosial yang sudah mengenal adanya kepemimpinan. Pasalnya, hanya orang terkemuka dalam struktur sosial/kemasyarakatan yang mayatnya boleh disimpan dalam wadah batu itu.

Sembari menelusuri medan tracking dalam perjalanan pulang dari lokasi sarcophagus itu, selain muncul decak kagum akan karya cipta manusia masa silam, benak pun digoda sederet pertanyaan. Adakah masa silam Sumbawa dan manusia Samawa perjalanannya dimulai dari situ, jasad siapa dan ras manakah penghuni sarkophag itu. 

Adakah ras bangsa yang jasadnya terbaring dalam kotak batu itu, termasuk ras Mongoloid seperti halnya penelitian RP Soejono tahun tahun 1960-1964 yang menemukan sarcophagus utuh di Desa Cacang, Gianyar, Bali, yang didalamnya berisi si mati dari ras Mongoloid?  Entahlah, tugas para ahli arkeologi-lah untuk membuka kunci jawabannya. Yang jelas, tinggalan arkeologis ini menyimpan masa silam Sumbawa, yang bisa dijadikan media perekat emosi bagi etnis di Nusantara ini, di tengah isu krisis multidimensional yang mengarah pada disintegrasi bangsa.

Wajar penulis Lalu Mantja dalam buku Sumbawa Pada Masa Lalu, Suatu Tinjauan Sejarah mengatakan, "...Situs Ai Renung, Desa Batu Tering merupakan monumen sejarah, yang dapat dihayati oleh seluruh masyarakat dari generasi kini ke generasi selanjutnya, bahkan dapat membawa masyarakat untuk mengenal sejarah bangsanya secara ril, ke arah pembentukan watak dan kepribadian bangsa, membangkitkan keutuhan bangsa dan kesadaran nasional..." (rul)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar