Sumbawa,(SK),--
 Sejarah Sumbawa sudah dimulai sejak Zaman Dinasti Dewa Awan Kuning, 
tetapi tidak banyak sumber tertulis yang bisa dijadikan bahan acuan 
untuk mengungkapkan situasi dan kondisi pada waktu itu.
Dengan berakhirnya kekuasaan Mas Goas sekitar 1673, Kerajaan Sumbawa mulai diperintah oleh raja dari Dinasti Dewa Dalam Bawa. Rakyatnya sudah menganut agama Islam. Pemerintahan ini sudah dimulai sejak tahun 1674 samapai dengan tahun 1958. Luas wilayah kekuasaannya mulai dari wilayah taklukan Kerajaan Empang hingga Jereweh (sesuai dengan batas wilayah Kabupaten Sumbawa sebelum dimekarkan).
Raja pertama dari Dinasti Dalam Bawa ini
 adalah Sultan Harunurrasyid I (1674 – 1702). Ia kemudian diganti oleh 
putranya Pangeran Mas Madina bergelar Sultab Muhammad Jalaluddin Syah I 
yang kawin dengan Putri Raja Sidenreng Sulawesi Selatan yang bernama I 
Rakia Karaeng Agang Jene. Jalaluddin Syah I ini kemudian diganti oleh 
Dewa Loka Lengit Ling Samapar kemudian oleh Dewa Ling Gunung Setia. 
Tidak banyak bahan sejarah yang dapat mengungkapkan berapa lama keduanya
 memerintah, tapi diperkirakan selama 10 tahun. Ada fakta yang 
menyatakan bahwa pada masa pemerintahan Datu Gunung Setia, kerajaan 
Sumbawa termasuk “ Bala Balong” lenyap dilalap si jago merah pada 
tanggal 26 Ramadhan 1145 Hijriah (1732 M).
Pada tahun 1733 Kerajaan Sumbawa kembali
 dipegang oleh keponakan Sultan Muhammad Jalaluddin Syah I, bernama 
Muhammad Kaharuddin I (1733-1758). Ketika ia meninggal, kekuasaan 
diambil alih istrinya I Sugiratu Karaeng Bontoparang, yang bergelar 
Sultan Siti Aisyah. Raja wanita ini dikenal sering berselisih paham 
dengan pembantu raja, sehingga pada tahun 1761 ia diturunkan dari tahta 
dan mengharapkan , digantikan oleh Lalu Mustanderman Datu Bajing, namun 
ia menolak, dan menyarankan untuk mengangkat adiknya, Lalu Onye Datu 
Ungkap Sermin ( 1761-1762 ). Pemerintahannya hanya berjalan setahun. 
Konon karena ia lari dari istana untuk menghindari perang saudara, atas 
kekeliruannya menikahi seorang wanita yang telah lama ditinggalkan 
berlayar oleh suaminya, Lalu Angga Wasita yang terkenal keperkasaannya. 
Ia menyangka Lalu Angga Wasita sudah meninggal karena tidak pernah ada 
kabar beritanya. Tapi suatu hari lelaki perkasa itu muncul. Karena raja 
merasa bersalah maka ia lari pada malam Selasa pada bulan Dal Akhir, di 
hari ke 14 Ramadhan waktu bulan purnama raya.
Kepergian Datu Ungkap Sermin itu membuat
 lowongnya kursi raja.Semin itu membuat lowongnya kursi raja. Maka 
diangkatlah Gusti Mesir Abdurrahman, keturunan Raja Banjar. Meski ia 
bukan trah Dinasti Dewa Dalam Bawa, tetapi memungkinkan untuk diangkat 
menjadi raja karena telah menikah dengan puteri Sultan Muhammad 
Jalaluddin Syah I. ia pun diberi gelar Muhammad Jalaluddin Syah II, dan 
memegang kekuasaan selama 3 tahun (1762-1765). Ia mangkat pada tanggal 1
 Dzulhijjah 1179 Hijriah (1765 Masehi). Maka diangkatlah putra mahkota 
yang masih berumur 9 tahun menjadi “raja boneka” yaitu sultan Mahmud. 
Sedangkan yang menjalankan pemerintahan diangkat Dewa Mapeconga Mustafa 
datu Taliwang.
Keputusan ini menimbulkan amarah Datu 
Jereweh, karena ia sangat berambisi untuk menjadi raja. Maka ia 
berangkat ke Makasar untuk meminta bantuan kompeni (VOC) agar bisa 
menciptakan kekacauan di Kerajaan Sumbawa. Sebelum berangkat, Datu 
Jereweh menemui kerajaan-kerajaan tetangganya dan mempengaruhi mereka 
supaya ikut mendukung rencananya dan ikut menandatangani perjanjian 
dengan VOC sekaligus membatalkan segala hal yang telah diatur dalam 
perjanjian Bongaya antara VOC dengan raja Goa (Sultan Hasanudin) yang 
isinya antara lain VOC tidak boleh mencampuri urusan perdagangan di 
kerajaan selatan.
Akhirnya pada tanggal 9 Februari 1765 di
 Fort Rotterdam ditandatangani perjanjian antara Cornelis Senklaar 
Komodour sebagai wakil VOC dengan pihak raja – raja selatan yang antara 
lain Sultan Abdul Kadir Muhammad Dzillillah Fil Alam (raja Bima), 
Hasanuddin Datu Jereweh (mengatas namakan raja Sumbawa), Achmad Alauddin
 Johan Syah (raja Dompu), Abdurrasyid (raja Sanggar) dan Abdurrahman 
(raja Papekat).
Perjanjian ini berisi tentang 
diperkenankannya VOC masuk Sumbawa. Tapi perjanjian ini kemudian 
dibatalkan lewat kontrak baru tanggal 18 Mei 1766 berkat keberhasilan 
diplomasi utusan kerajaan Sumbawa Dea Tumuseng. Dalam perjanjian ini 
disebutkan, apabila Sultan Mahmud dewasa, maka kekuasaan raja akan 
diserahkan kembali kepadanya.
Tapi pada waktu Sultan Dewa Mepaconga 
Mustafa sakit pada tahun 1189 H (1775 M), beliau digantikan oleh Datu 
Busing Lalu Komak, yang bergelar Sultan Harrunnurrasyid II (1777-1790). 
Sementara Sultan Mahmud yang putra mahkota itu tidak pernah diangkat 
menjadi raja yang sebenarnya, hingga ia meninggal dunia pada 8 jumadil 
akhir 1194 H (1780 M) dalam usia 24 tahun.
Pada waktu pemerintahan Harrunnurrasyid 
II ini telah berhasil diselesaikan penulisan Kitab Suci Al Qur’an dengan
 tulisan tangan oleh Muhammad Ibnu Abdullah Al Jawi Negeri Sumbawa 
Madzhab Safiie, tepatnya pada 28 Dzulqaidah 1199 H (1784 M). Sepeninggal
 Harrunnurrasyid II, tahta kerajaan beralih pada anak perempuannya, 
yaitu Sultan Syafiatuddin (1791-1795). Ia kemudian kawin dengan Sultan 
Bima dan mengikuti suaminya ke Bima, sekaligus memboyong beberapa harta 
pusaka kerajaan.
Karena kejadian itu, maka diputuskan 
oleh para Menteri Kerajaan untuk tidak lagi mengangkat wanita sebagai 
raja. Sedangkan pengganti Sultan Syafiatuddin adalah putera Sultan 
Mahmud bernama Muhammad Kaharuddin II. Pada waktu pemerintahannya inilah
 Gunung Tambora meletus. Tepatnya pada hari Selasa, 21 Jumadil Awal 1230
 H (1815 M). Pada waktu itu Kerajaan Sumbawa dilanda hujan debu. Dalam 
laporan H. Zolinger disebutkan bahwa sepertiga penduduk mati di pulau 
Sumbawa dan sepertiganya lagi pindah ke pulau Lombok. Sedangkan abu yang
 menggenangi wilayah kerajaan Sumbawa sampai setinggi lutut. Setahun 
kemudian Sultam Muhammad Kaharruddin II pun mangkat pada tanggal 20 
Syafar 1231 Hijriah (1816 M). Pemangku kerjaan selanjutnya diserahkan 
kepada Nene Ranga Mele Manyurang. Ia pun tidak lama menduduki singgasana
 kerajaan, karena pada bulan Rabbiul Awal 1241 Hijriah (1825 M), Nene 
Ranga yang sudah tua itu meninggal dunia. Kekuasaan dilanjutkan oleh 
Abdullah hingga ia meninggal pada tanggal 8 Muharram 1252 Hijriah (1836 
M).
Mulai tahun 1836 sampai 1882, tahta 
Kerajaan Sumbawa kembali dilanjutkan oleh Putera Muhammad Kaharuddin II,
 yaitu Sultan Amrullah. Pada waktu pemerintahannya ini tidak banyak 
catatan sejarah yang bisa ditemukan, barangkali karena kerajaan baru 
mulai bangkit dari peristiwa meletusnya Gunung Tambora yang sangat 
dahsyat. Rakyat pun tentu banyak berkurang. Sultan Amrullah pun Sultan 
Amrullah Sultan Amrullah meninggal pada tanggal 23 Agustus 1883, 
sementara kursi raja diteruskan oleh Sultan Muhammad Jalaluddin III, 
cucu Sultan Amrullah.
Pada masa ini campur tangan Belanda 
sudah terlalu jauh, terutama dalam hal menarik pajak. Akhirnya 
meledaklah pemberontakan rakyat, yang membuat Belanda harus mendatangkan
 bala bantuan dari Makassar., sebab hampir di setiap tempat timbul 
amarah rakyat. Namun karena kelemahan dalam bidang persenjataan, semua 
bentuk pemberontakan dapat dipatahkan. Kekuasaan Belanda lewat VOC pun 
semakin merajalela. Maka dimulailah babak baru, Belanda ikut bermain 
politik di dalama istana, dan ikut menentukan jalannya pemerintahan.
Pulau Sumbawa dan Pulau Sumba dijadikan 
satu dalam bentuk afdeling dengan ibukota di Sumbawa Besar ( Ibukota 
Kabupaten Sumbawa sekarang). Asisten Resident yang pertama adalah Janson
 Van Ray. Kerajaan Sumbawa dibagi dalam dua ander afdeeling, yaitu 
Sumbawa Barat dan Sumbawa Timur.
Dalam pemerintahan Sultan Muhammad 
Jalaluddin III  (1833-1931) inilah dibangun “Istana Tua Dalam Loka”. Hal
 ini sangat dimungkinkan karena Sultan Muhammad Jalaluddin III 
menjalankan roda pemerintahan selama 48 tahun. Ia juga mampu menuruti 
kehendak Belanda. Kini “Istana Tua Dalam Loka” menjadi asset Pemerintah 
Daerah Kabupaten Sumbawa dalam rangka mengembangkan pariwisata sejarah.
Setelah ia meninggal pada tahun 1931, 
kekuasaan raja turun kepada putra mahkota yang mendapat gelar Sultan 
Muhammad Kaharruddin III. Pada zaman pemerintahannya inilah menjadi masa
 peralihan kolonialisme Belanda kepada Jepang. Ketika perjanjian 
Kalijati ditandatangani tanggal 9 Maret 1942, organisasi – organisasi 
Islam di Kabupaten Sumbawa mulai mengatur siasat. Organisasi itu antara 
lain Nahdatul Oelama, Moehammadiah dan Al Irsyad. Sementara tiga 
kerajaan di pulau Sumbawa mengambil sikap tegas, menyatakan diri lepas 
dari kekuasaan Belanda. Tepat pada bulan Mei 1942, delapan kapal perang 
Jepang mendarat di Labuhan Mapin di bawah pimpinan Kolonel Haraichi, 
yang ternyata disambut gembira oleh rakyat.
Kekuasaan Jepang tidak berlangsung lama,
 karena setelah Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi Bom Atom, Jepang 
menyerah kepada sekutu. Praktis kekuasaannya berakhir. Sebelum Belanda 
kembali masuk, Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamirkan kemerdekaan 
Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Agresi Militer Belanda ke Republik 
Indonesia mengakibatkan Raja Sumbawa menandatangani sebuah perjanjian 
politik baru dengan Belanda pada tanggal 14 Desember 1948. Isinya antara
 lain menjelaskan tentang sisa-sisa kekuasaan yang masih dikuasai oleh 
Belanda di Sumbawa. Kekuasaan tersebut ada tiga, yaitu bidang 
pertahanan, hubungan luar negeri dan monopoli atas candu dan garam. 
Setahun kemudian pemerintah Indonesia Timur berdasarkan Undang – Undang 
Nomor 44 tahun 1949 membentuk daerah Statuta Federasi Pulau Sumbawa, 
yang ditetapkan oleh Dewan Raja – raja pada tanggal 6 September 1949.
Perubahan system Pemerintahan terjadi 
lagi dengan membentuk Propinsi Nusa Tenggara Barat, yang didasarkan pada
 Undang – Undang Nomor 64 Tahun 1958. Propinsi Sunda Kecil dibagi 
menjadi tiga Daerah Swatantra Tingkat I yaitu Bali, Nusa Tenggara Barat (
 NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Khusus Daerah Swatantra I Nusa 
Tenggara Barat menjadi enam Daerah Swantantra Tingkat II, dimana raja 
sekaligus menjadi Kepala Pemerintahan. Karena itu otomatis Federasi 
Pulau dibubarkan. Federasi Pulau Lombok dibubarkan pada tanggal 17 
Desember 1958 dan tanggal tersebut hingga sekarang dijadikan sebagai 
hari lahirnya Propinsi Nusa Tenggara Barat. Sedangkan Federasi Pulau 
Sumbawa dibubarkan pada tanggal 22 Januari 1959 dan pada saat itu 
dilantiklah Sultan Muhammad Kaharruddin III menjadi Pejabat Sementara 
Kepala Daerah Swatantra Tingkat II Sumbawa. Oleh karena itu saat 
dibubarkannya Federasi Pulau Sumbawa dan diangkat/dilantiknya Pejabat 
Sementara Kepala Daerah Swatantra Tingkat II Sumbawa, dijadikan sebagai 
hari lahirnya Kabupaten Sumbawa.( Fri )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar