Oleh : Abidin Tuarita,B.Sc
Pendahuluan
Paradigma baru pembangunan kehutanan saat ini melihat kawasan hutan
secara utuh sebagai sebuah sistem sumberdaya multi fungsi dan memuat
banyak kepentingan. Pandangan ‘hasil hutan hanya sebatas kayu’ sudah
tidak berlaku lagi. Dengan kata lain, hasil hutan bukan kayu (HHBK) juga
menjadi komponen penting dalam ekosistem kawasan. Paradigma baru ini
menurut Sumadiwangsa dan Setyawan (2001) makin menyadarkan kita akan
posisi strategis HHBK dalam pembangunan kehutanan. Di mana, hasil hutan
ini merupakan salah satu sumber daya kawasan yang memiliki keunggulan
komparatif dan paling menyentuh kehidupan masyarakat sekitar hutan.
HHBK
terbukti berdampak positif bagi penghasilan masyarakat di dalam dan
sekitar hutan dibandingkan kayu-kayuan (Perez, 2005 dalam Pfund dan
Robinson, 2005). Penelitian Sunderin (2003) melaporkan bahwa produk
hasil hutan bukan kayu bermanfaat langsung bagi masyarakat miskin. Dalam
pengusahaannya, masyarakat membutuhkan sedikit modal bahkan tidak sama
sekali dan tersedia dalam kawasan dengan akses yang terbuka. Karena itu,
HHBK dapat dinilai sebagai jaring pengaman (safety net) yakni penyedia
makanan darurat di masa sulit.
HHBK juga memiliki kontribusi signifikan bagi penambahan devisa
negara (Sumadiwangsa dan Setyawan, 2001). Menurut FAO (2002), terdapat
lebih dari 90 jenis hasil hutan bukan kayu yang diperdagangkan di
Indonesia, baik secara lokal, nasional maupun internasional. Direktorat
Jenderal Bina Produksi Hutan Dephut (2006) mencatat nilai ekspor dari 11
jenis HHBK dalam lima tahun terakhir (2002-2006) mencapai angka lebih
dari US $ 2 Miliar. Melihat peluang yang tersedia dan kalkulasi nilai
ekonomis HHBK yang cukup tinggi, maka Non Timber Forest Product Exchange
Program (NTFP-EP) mengadvokasi orientasi kebijakan kehutanan Indonesia
ke arah hasil hutan bukan kayu (KOMPAS, 30/10/07).
Nusa Tenggara Barat (NTB) memiliki kawasan hutan seluas 1.069.997,78
dengan potensi HHBK cukup berlimpah terutama rotan, madu dan kayu
gergajian (Anonim, 2005). Menurut catatan Dishut NTB (2007), meski
potensi madu belum teridentifikasi secara nyata namun hasil penjualannya
berkontribusi bagi peningkatan pendapatan rumah tangga. Potensi HHBK
lainnya yang banyak dimanfaatkan masyarakat sekitar kawasan hutan adalah
rotan, gaharu, bambu dan kemiri. Bahkan gaharu dan madu telah dijadikan
sebagai komoditas HHBK unggulan di NTB dalam rencana aksi pengembangan
HHBK Nasional (2008).
Produksi HHBK dapat dijumpai hampir pada seluruh kawasan hutan di NTB
termasuk areal hutan produksi Lombok Utara yang pengelolaannya
dilakukan oleh masyarakat melalui skema hutan kemasyarakatan (HKm). Pola
pengusahaan HHBK masih bersifat usaha kecil pada tingkatan rumah
tangga. Karena itu, potensi HHBK dari lahan HKm belum memiliki daya
ungkit bagi peningkatan perekonomian masyarakat sekitar kawasan hutan.
Persoalan tata kelola HHBK memang cukup kompleks, seperti : karakter
produk (kualitas, umur simpan dsb); pemasaran; kapasitas usaha;
kapasitas kelembagaan petani; akses financial; kebijakan dan dukungan
sarana prasarana (produksi dan distribusi).
KONSEPSI dengan dukungan Multistakeholders Forestry Programme (MFP)
melalui SAMANTA telah menginisiasi pengembangan kelembagaan kemitraan
usaha pemanfaatan HHBK di Lombok Utara sejak awal tahun 2009. Sejumlah
strategi yang dijalankan selama tujuh bulan berlangsungnya program,
antara lain : inventarisasi potensi; pendampingan kelembagaan;
peningkatan kapasitas individu (teknis) dan kelembagaan (sosial); serta
pengembangan jaringan dan kemitraan (pemasaran).
Gambaran Umum Pengelolaan Hutan
Lombok Utara merupakan kabupaten termuda di Provinsi Nusa Tenggara
Barat. Kabupaten Lombok Utara (KLU) merupakan pemekaran dari Kabupaten
Lombok Barat dan diresmikan pada tanggal 30 Desember 2007 berdasarkan
Undang-Undang No. 26/2007. Luas wilayahnya 77.625 hektar yang terbagi ke
dalam lima kecamatan. Jumlah penduduk KLU (2007) sekitar 204.556 jiwa.
Publikasi resmi potensi hutan Lombok Utara hingga kini masih belum
tersedia. Informasi kehutanan daerah masih memanfaatkan sejumlah data
lama dari Lombok Barat. Namun demikian, luas kawasan hutan KLU
diperkirakan mencapai angka hingga 40 persen dari total luas wilayah.
Kecuali Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) seluas 12.300 hektar,
seluruh kawasan tersebut telah dikelola masyarakat melalui pola wanatani
(agroforestry) dan Hutan Kemasyarakatan (HKm) seperti kawasan Santong
dan Monggal.
Kawasan hutan Santong termasuk dalam Kelompok Hutan Rinjani (RTK 1
Rinjani Barat), meliputi : hutan lindung (1.530 hektar), hutan produksi
(1.739 hektar), dan hutan produksi terbatas (1.976 hektar). Sementara,
kawasan Monggal (kelompok Hutan Rinjani RTK I Rinjani Barat) seluas
10.000 hektar merupakan areal konsesi. Pasca hengkangnya HPH Angkawijaya
pada tahun 1999, kawasan Monggal kemudian dikelola oleh masyarakat
lokal dalam luasan sekitar 8.300 hektar.
Pengelolaan HKm di Lombok Utara telah ada sejak tahun 1998/1999
melalui program uji coba oleh Kanwil Dephut NTB dan BRLKT NTB (sekarang
BP-DAS) di sejumlah lokasi, seperti : Santong, Pansor, Gumantar, Tangga,
Munder dan Langkangkoq. Di Salut, HKm dibangun secara swadaya melalui
binaan LP3ES NTB (sekarang KONSEPSI NTB). Saat ini, terdapat sekitar 13
lokasi HKm di Lombok Utara dengan total luas areal kelola mencapai
10.000 hektar.
Komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu
Peranan HHBK dalam pembangunan kehutanan di negara-negara berkembang
dinilai semakin penting setelah produktifitas kayu hutan semakin
menurun. Bahkan menurut Rajchal (2006), hasil hutan bukan kayu menjadi
fokus perhatian sejak awal tahun 1980an ketika isu ‘pembangunan
berkelanjutan’ mulai berkembang. Disadari, kawasan hutan memiliki banyak
potensi nyata selain kayu yang bernilai ekonomis tinggi dan dapat
dimanfaatkan banyak orang.
Banyak istilah dan definisi terkait HHBK yang dikemukakan sejumlah peneliti luar maupun lembaga internasional (De Beer and Mcdermott, 1989; Chandresekharan, 1992; FAO, 1999; Rijsoort, 2000). Berdasarkan kondisi dan potensi lokal, maka dokumen ini mendefinisikan hasil hutan bukan kayu sebagai berikut “semua produk hutan produksi (tanaman dan/ataupun hewan ataupun bagian-bagian daripadanya) selain kayu yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat (individu ataupun kelompok) baik untuk kepentingan subsisten maupun tujuan produktif (memperoleh keuntungan)”.
Petani HKm umumnya mengelola dan memanfaatkan HHBK sesuai kebutuhan.
Umumnya bersumber dari tanaman serbaguna (Multi Purpose Tree Species =
MPTS) dalam kelompok buah-buahan, karbohidrat, atsiri, tannin,
obat-obatan dan bambu. Selain itu, HHBK hewani juga mulai diusahakan
meski masih dalam skala kecil hingga menengah. Sejalan dengan pemikiran
Primack (1993) disitasi Ngakan et al (2006), pola pemanfaatan HHBK oleh
petani HKm berdasarkan orientasi ekonominya dapat dikelompokkan menjadi
dua yakni : (a). Produktif, diperjual belikan di pasar; dan (b).
konsumtif : dikonsumsi sendiri dan tidak diperjual belikan.
1). Aguman merupakan istilah bagi lahan kelola per orang petani
HHBK memiliki sifat kontinyuitas dalam menunjang pendapatan rumah
tangga pengelola HKm. Untuk pemenuhan kebutuhan jangka pendek (harian
mingguan hingga triwulan), petani umumnya memanfaatkan tanaman bawah
tegakan (cabe, empon-empon, terong, tomat, kacang-kacangan dan
palawija). Hasil tumpang sari (pisang, ubi-ubian, nangka, kemiri,
alpukat dll) memberi kontribusi bagi peningkatan pendapatan jangka
menengah.
Selain itu, pakan ternak dan kayu bakar diproduksi secara rutin
setiap hari. Di antara komoditas HHBK di atas, beberapa komoditas
unggulan petani HKm adalah kopi, kakao, dan madu. Usaha budidaya madu
diusahakan oleh sepuluh kelompok tani hutan dengan rata-rata produksi
mencapai 170-180 botol per kelompok setiap tahunnya (volume per botol
800 ml). Dengan demikian, total produksi madu budidaya di Lombok Utara
berkisar antara 1.260-1.360 liter per tahun.
Kontribusi HHBK cukup signifikan bagi pendapatan rumah tangga
pengelola HKm di Lombok Utara pada aspek lingkungan, ekonomi dan sosial.
Di kawasan HKm Santong, panen HHBK memberikan keuntungan ekonomis
dengan penerimaan sebesar Rp. 13.250.000 per tahun (Zaini, 2009). Dalam
aspek lingkungan, budidaya tanaman dengan pola MPTS dan tumpang sari
(non kayu) membentuk strata tajuk tanaman (tinggi, sedang dan rendah)
dalam hal penutupan lahan. Fungsi ekologi hutan menjadi terjaga dengan
variasi vegetasi demikian. Selain itu, HHBK juga memiliki nilai sosial
ketika produk ini dijadikan ‘barang sumbangan’ pada pelaksanaan tradisi
kemasyarakatan (sosial, adat dan keagamaan).
Terkait pemasaran produk HHBK, masyarakat memanfaatkan pasar-pasar
tradisional yang berada di sekitar kawasan, pusat desa maupun kecamatan.
Hasil kajian PAR Rinjani (2002) mencatat sekitar 22 pasar tradisonal
yang berlokasi cukup jauh dari tempat tinggal masyarakat yakni sekitar
7-10 km. Karena itu, jasa agen pedagang (penendak) yang langsung datang
ke lokasi ‘cukup membantu’ kesulitan pemasaran produk terutama
pengurangan beban biaya tranportasi.
Mekanisme pemasaran konvensional semacam ini sebenarnya tidak memberi
keuntungan bagi produsen (petani HKm). Margin keuntungan besar justru
lebih dinikmati oleh pedagang pengumpul. Pengelola hutan sendiri
seringkali terjebak pada permainan harga dari para penendak dan
jaringannya yang membeli HHBK di lokasi (pinggir hutan). Padahal HHBK
diyakini memiliki keunggulan komparatif jika dikelola secara optimal.
Ngakan et al (2006) menjelaskan, jika komoditas HHBK ini diolah menjadi
barang setengah jadi, harganya bisa meningkat beberapa kali lipat
(bahkan puluhan kali lipat) dibandingkan harga yang ditetapkan para
tengkulak.
Sejumlah kendala yang dihadapi petani dalam menjalankan usaha
pengelolaan dan pemanfaatan HHBK, antara lain : pertama, lemahnya posisi
tawar petani HKm dalam penentuan harga komoditas ketika berhadapan
dengan para pelaku usaha pada sebuah jaring pemasaran; kedua, masih
maraknya budaya ijon terutama ketika petani terbentur pada pemenuhan
kebutuhan yang mendesak; ketiga, lemahnya kapasitas kelembagaan koperasi
tani (Koptan HKm) sehingga belum mampu menjalankan fungsi dan perannya
sebagai lembaga pemasaran HHBK secara kolektif.
KONSEPSI dan SAMANTA menggagas model kemitraan lokal menuju tata
kelola pemanfaatan HHBK di kawasan hutan produksi Lombok Utara. Program
ini didukung MFP dan telah berlangsung sejak Januari 2009. Gagasan ini
didasarkan pada fakta belum terbangunnya pola kemitraan lokal berbasis
pemanfaatan HHBK yang menjamin keberlangsungan fungsi ekologi, ekonomi
dan sosial kawasan hutan itu sendiri.
Para pihak menyepakati terbentuknya lembaga intermediary (perantara)
yang menjembatani tata kelola pemanfaatan HHBK di Lombok Utara sejak
budidaya hingga pasca panen (pemasaran dan pengolahan produk). Peran
strategis lembaga perantara terletak pada pencarian dan pengelolaan
informasi pasar dari produsen ke konsumen atau sebaliknya. Dalam
menjalankan fungsinya, lembaga tersebut memanfaatkan media komunitas dan
lembaga-lembaga ekonomi lokal.
Pembelajaran
HHBK memiliki sejumlah peran strategis dalam aspek ekologi, ekonomi
maupun sosial budaya dalam pengelolaan kawasan hutan produksi di Lombok
Utara, antara lain : pertama, menyediakan berbagai komoditas untuk
menunjang kehidupan masyarakat lokal (seperti : bahan pangan,
obat-obatan dan bahan-bahan keperluan hidup lainnya) dan menyediakan
sumber mata pencaharian dan pendapatan melalui pola HKm; kedua, dampak
pemanfaatan HHBK terhadap lingkungan hutan jauh lebih kecil dibandingkan
usaha pemanfaatan hasil hutan kayu sehingga kelestarian pengelolaan
kawasan hutan lebih terjamin; Ketiga, komoditas HHBK memiliki fungsi
sosial karena banyak dimanfaatkan sebagai ‘perlengkapan’ maupun
‘sumbangan’ dalam perayaan tradisi lokal (kegiatan banjar maupun acara
keagamaan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar