Senin, 06 Agustus 2012

Pelajaran Dari Petani Hutan Rinjani

Oleh : A. Saefullah

Mataram,(SK),--Pulau Bali yang terkenal sebagai salah satu tujuan wisata dunia itu merupakan bagian dari Indonesia. Tapi perkembangan ekonomi Bali tak dapat dinikmati wilayah lain di Indonesia, bahkan oleh Pulau Lombok yang bertetangga dekat. Pulau di timur Bali itu menghadapi masalah kemiskinan di kalangan petani di desa dekat hutan.
Berbeda dari Pulau Bali yang merupakan provinsi sendiri, Pulau Lombok adalah salah satu pulau yang masuk Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Persoalan yang terjadi di Lombok adalah bahwa keadaan hutan di lahan milik negara di situ makin hari kian kosong. Itu terutama terjadi di kawasan hutan di sekitar Gunung Rinjani, yang selama ini merupakan kawasan taman nasional dan mengandung sumberdaya alam bagi masyarakat di situ. “Rinjani memberi air untuk pertanian dan kebutuhan alam lainnya bagi semua warga Lombok,” kata Rahmat Sabani, Direktur Konsorsium untuk Studi dan Pengembangan Partisipasi Nusa Tenggara Barat (Konsepsi NTB), sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang lingkunan hidup.

Menurut Konsepsi NTB, kerusakan hutan mengancam kehidupan masyarakat di Pulau Lombok, terutama para petani desa yang miskin dan menggantungkan hidupnya pada sumberdaya hutan. Rahmat Sabani menuturkan, laju kerusakan hutan di pulau itu terus meningkat.

“Sebagian masyarakat di sini miskin dan hanya punya lahan sempit. Keadaan ini mendorong masyarakat mencari sumber pendapatan ke hutan sebagai kawasan terdekat dari tempat mereka bermukim,” ucap Rahmat.

Hasil hutan bukan kayu
 
Dilema yang berlangsung di sana, apakah harus mempertahankan keutuhan hutan dengan membiarkan petani desa makin miskin, atau terpaksa membiarkan petani desa merambah hutan untuk menyambung hidup dengan resiko hutan jadi kian melompong. Jalan tengah bagi dua kepentingan yang berseberangan ini pernah coba ditempuh melalui Program Hutan Kemasyarakatan (HKm) oleh Pemerintah untuk petani hutan dan mendapat dukungan sejumlah pihak, termasuk LSM.

Di Provinsi NTB, terutama di Lombok Tengah dan Lombok Barat, pendekatan pengelolaan hutan semacam ini berlangsung sejak 1997. Di Desa Santong dan Desa Sesaot, Kabupaten Lombok Barat, pola HKm telah mampu mencapai tujuannya. “Pohon-pohon kayu di hutan tetap terjaga, dan warga memperoleh pendapatan dari hasil tanaman hutan bukan kayu yang ditanam di bawah tanaman utama,” kata Abidin Tuarita, seorang pendamping masyarakat untuk Program Hkm di Santong.

Di sela-sela tanaman hutan, petani HKm menanam kopi, coklat, durian, vanila, pinang, dan pisang. Inilah hasil bukan kayu yang dipetik para petani hutan di Santong yang mengikuti Program HKm. Santong dikenal sebagai penghasil kopi dan coklat yang sangat baik mutunya. “Para pembeli dari Bali dan Jawa langsung datang ke sini dengan truknya,” kata Aswadi.

Hasil hutan bukan kayu tak sekadar mendatangkan nilai ekonomi, melainkan juga berperan strategis untuk mengerem laju kerusakan hutan dan memepertahankan mutu lingkungan. Dengan menjual hasil hutan bukan kayu, sambung Aswadi, warga tak serampangan main tebang pohon kayu untuk dijual. “Apalagi vanila merambat di pohon-pohon yang tinggi. Jika tanaman utama ditebang, vanila akan ikut hilang, dan itu jelas membuat petani sendiri yang rugi,” imbuhnya.

L Syaiful Arifin, pejabat Dinas Kehutan dan Perkebunan Kabupaten Lombok Barat, mengatakan Program HKm merupakan langkah kompromi yang strategis dalam pelestarian hutan dan pada saat yang sama meningkatkan perekonomian warga sekitar hutan. “Sumberdaya pemerintah untuk menjaga hutan kan terbatas, jadi HKm ini bentuk partisipasi warga yang sangat ideal,” katanya.

Belum memihak petani

Tapi partisipasi warga dalam pengelolaan hutan secara lestari itu belum didukung kebijakan pemerintah yang berpihak pada warga. Para petani masih berharap agar mereka mendapat payung hukum dalam mengelola hutan. “Izin pengeloaan hutan itu kan untuk membuat kita tenang dan tak bermasalah. Hak dan kewajiban petani dan pemerintah juga jelas,” kata H Artim, anggota Koperasi Tani Maju Bersama, Desa Santong, yang dibentuk untuk memperkuat dorongan masyarakat.

Landasan hukum bagi petani dalam Progran HKm selama ini hanyalah Undang-undang (UU) 41/1999 tentang kehutanan. Tapi seringkali kebijakan turunannya— peraturan pemerintah (PP), peraturan menteri (Permen), ataupun peraturan daerah (Perda) ditafsirkan bias dan terkadang bertentangan. “Untuk itu kami mengajak Dinas Kehutanan dan Perkebunan, legislatif dan lembaga swadaya masyarakat lainnya untuk membuat peraturan daerah tentang HKm yang berpihak pada warga,” kata Rahmat.

Selain aspek kebijakan, hubungan kemitraan dengan berbagai pihak merupakan faktor penting menuju tata kelola kehutanan daerah yang baik. “Pemerintah perlu meletakkan perannya dalam alokasi tata guna kawasan hutan. Sehingga akan mewujudkan peraturan yang partisipatif dan didukung parapihak yang terkait. Pada akhirnya, berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat,” kata Dwi Sudarsono, Direktur Yayasan Masyarakat Nusa Tenggara (Samanta), sebuah community foundation (CF) lembaga yang mendorong pengelolaan sumber daya alam secara lestari.

Samanta memberikan dukungan pada Konsepsi NTB dalam menyelenggarakan Program HKm di Kabupaten Lombok Tengah dan Lombok Barat. Di Lombok Tengah, Konsepsi NTB berhasil mengajak parapihak— pemerintah daerah dan masyarakat— merumuskan peraturan daerah menyangkut HKm. Sementara di Lombok Barat, kegiatan pendampingan Konsepsi NTB lebih pada pelaksanaan HKm di lapangan.

Walau penuh hambatan, di NTB telah lahir beberapa peraturan daerah yang terkait dengan Hkm. Di Kabupaten Lombok Barat ada Peraturan Daerah No 10/2003 tentang Penyelenggaraan Hkm dan Peraturan Daerah No 4/2007 tentang Jasa Lingkungan. Di Kabupaten Sumbawa, terdapat Peraturan Daerah No 25/2002 tentang Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat(PSDHBM). Sedangkan di tingkat Provinsi Nusa Tenggara Barat, ada Peraturan Daerah No 6/2004 tentang Pedoman Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan.

Kesulitan yang dialami Konsepi NTB dalam mewujudkan peraturan daerah tentang Hkm yang berpihak pada warga adalah kondisi politik di daerah. Pergantian bupati berimbas pada pergantian Kepala Dinas Kehutanan dan pimpinan instansi pemerintah terkait lainnya. “Pejabat yang meneruskan tidak paham konsep Hkm,” papar Rahmat.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar