Oleh : A. Saefullah
Mataram,(SK),--Pulau Bali yang terkenal sebagai 
salah satu tujuan wisata dunia itu merupakan bagian dari Indonesia. Tapi
 perkembangan ekonomi Bali tak dapat dinikmati wilayah lain di 
Indonesia, bahkan oleh Pulau Lombok yang bertetangga dekat. Pulau di 
timur Bali itu menghadapi masalah kemiskinan di kalangan petani di desa 
dekat hutan.
Menurut Konsepsi NTB, kerusakan hutan mengancam kehidupan masyarakat 
di Pulau Lombok, terutama para petani desa yang miskin dan 
menggantungkan hidupnya pada sumberdaya hutan. Rahmat Sabani menuturkan,
 laju kerusakan hutan di pulau itu terus meningkat.
“Sebagian masyarakat di sini miskin dan hanya punya lahan sempit. 
Keadaan ini mendorong masyarakat mencari sumber pendapatan ke hutan 
sebagai kawasan terdekat dari tempat mereka bermukim,” ucap Rahmat.
Hasil hutan bukan kayu
Dilema yang berlangsung di sana, apakah harus mempertahankan keutuhan
 hutan dengan membiarkan petani desa makin miskin, atau terpaksa 
membiarkan petani desa merambah hutan untuk menyambung hidup dengan 
resiko hutan jadi kian melompong. Jalan tengah bagi dua kepentingan yang
 berseberangan ini pernah coba ditempuh melalui Program Hutan 
Kemasyarakatan (HKm) oleh Pemerintah untuk petani hutan dan mendapat 
dukungan sejumlah pihak, termasuk LSM.
Di Provinsi NTB, terutama di Lombok Tengah dan Lombok Barat, 
pendekatan pengelolaan hutan semacam ini berlangsung sejak 1997. Di Desa
 Santong dan Desa Sesaot, Kabupaten Lombok Barat, pola HKm telah mampu 
mencapai tujuannya. “Pohon-pohon kayu di hutan tetap terjaga, dan warga 
memperoleh pendapatan dari hasil tanaman hutan bukan kayu yang ditanam 
di bawah tanaman utama,” kata Abidin Tuarita, seorang pendamping 
masyarakat untuk Program Hkm di Santong.
Di sela-sela tanaman hutan, petani HKm menanam kopi, coklat, durian, 
vanila, pinang, dan pisang. Inilah hasil bukan kayu yang dipetik para 
petani hutan di Santong yang mengikuti Program HKm. Santong dikenal 
sebagai penghasil kopi dan coklat yang sangat baik mutunya. “Para pembeli dari Bali dan Jawa langsung datang ke sini dengan truknya,” kata Aswadi.
Hasil hutan bukan kayu tak sekadar mendatangkan nilai ekonomi, 
melainkan juga berperan strategis untuk mengerem laju kerusakan hutan 
dan memepertahankan mutu lingkungan. Dengan menjual hasil hutan bukan 
kayu, sambung Aswadi, warga tak serampangan main tebang pohon kayu untuk
 dijual. “Apalagi vanila merambat di pohon-pohon yang tinggi. Jika 
tanaman utama ditebang, vanila akan ikut hilang, dan itu jelas membuat 
petani sendiri yang rugi,” imbuhnya.
L Syaiful Arifin, pejabat Dinas Kehutan dan Perkebunan Kabupaten 
Lombok Barat, mengatakan Program HKm merupakan langkah kompromi yang 
strategis dalam pelestarian hutan dan pada saat yang sama meningkatkan 
perekonomian warga sekitar hutan. “Sumberdaya pemerintah untuk menjaga 
hutan kan terbatas, jadi HKm ini bentuk partisipasi warga yang sangat 
ideal,” katanya.
Belum memihak petani
Tapi partisipasi warga dalam pengelolaan hutan secara lestari itu 
belum didukung kebijakan pemerintah yang berpihak pada warga. Para 
petani masih berharap agar mereka mendapat payung hukum dalam mengelola 
hutan. “Izin pengeloaan hutan itu kan untuk membuat kita tenang dan tak 
bermasalah. Hak dan kewajiban petani dan pemerintah juga jelas,” kata H 
Artim, anggota Koperasi Tani Maju Bersama, Desa Santong, yang dibentuk 
untuk memperkuat dorongan masyarakat.
Landasan hukum bagi petani dalam Progran HKm selama ini hanyalah 
Undang-undang (UU) 41/1999 tentang kehutanan. Tapi seringkali kebijakan 
turunannya— peraturan pemerintah (PP), peraturan menteri (Permen), 
ataupun peraturan daerah (Perda) ditafsirkan bias dan terkadang 
bertentangan. “Untuk itu kami mengajak Dinas Kehutanan dan Perkebunan, 
legislatif dan lembaga swadaya masyarakat lainnya untuk membuat 
peraturan daerah tentang HKm yang berpihak pada warga,” kata Rahmat.
Selain aspek kebijakan, hubungan kemitraan dengan berbagai pihak 
merupakan faktor penting menuju tata kelola kehutanan daerah yang baik. 
“Pemerintah perlu meletakkan perannya dalam alokasi tata guna kawasan 
hutan. Sehingga akan mewujudkan peraturan yang partisipatif dan didukung
 parapihak yang terkait. Pada akhirnya, berdampak pada peningkatan 
kesejahteraan masyarakat,” kata Dwi Sudarsono, Direktur Yayasan 
Masyarakat Nusa Tenggara (Samanta), sebuah community foundation (CF) 
lembaga yang mendorong pengelolaan sumber daya alam secara lestari.
Samanta memberikan dukungan pada Konsepsi NTB dalam menyelenggarakan 
Program HKm di Kabupaten Lombok Tengah dan Lombok Barat. Di Lombok 
Tengah, Konsepsi NTB berhasil mengajak parapihak— pemerintah daerah dan 
masyarakat— merumuskan peraturan daerah menyangkut HKm. Sementara di 
Lombok Barat, kegiatan pendampingan Konsepsi NTB lebih pada pelaksanaan 
HKm di lapangan.
Walau penuh hambatan, di NTB telah lahir beberapa peraturan daerah 
yang terkait dengan Hkm. Di Kabupaten Lombok Barat ada Peraturan Daerah 
No 10/2003 tentang Penyelenggaraan Hkm dan Peraturan Daerah No 4/2007 
tentang Jasa Lingkungan. Di Kabupaten Sumbawa, terdapat Peraturan Daerah
 No 25/2002 tentang Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis 
Masyarakat(PSDHBM). Sedangkan di tingkat Provinsi Nusa Tenggara Barat, 
ada Peraturan Daerah No 6/2004 tentang Pedoman Penyelenggaraan Hutan 
Kemasyarakatan.
Kesulitan yang dialami Konsepi NTB dalam mewujudkan peraturan daerah 
tentang Hkm yang berpihak pada warga adalah kondisi politik di daerah. 
Pergantian bupati berimbas pada pergantian Kepala Dinas Kehutanan dan 
pimpinan instansi pemerintah terkait lainnya. “Pejabat yang meneruskan 
tidak paham konsep Hkm,” papar Rahmat.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar