Bayan, suarakomunitas - Dalam kehidupan masyarakat adat Wetu telu, khsusunya di Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara, sebenarnya terdapat banyak sekali ritual, namun ritual yang secara langsung berhubungan dengan sistem kosmologi Wetu Telu hanya ada beberapa saja, yang dapat digolongkan sebagai berikut: pertama, ritual peralihan individu, meliputi gawe urip dan gawe pati; kedua, ritual untuk menjaga keseimbangan antara jagad besar dan jagad kecil yang terimplementasikan dalam upacara siklus tanam padi; dan ketiga, ritual penghormatan terhadap roh leluhur yang meliputi ritual selametan subak dan ritual pembangar.
Ritual Gawe Urip
Dalam ritual “Gawe Urip” terdiri dari rangkaian ritual yang satu dengan lainnya saling berhubungan, di antaranya ritual buang au (upacara kelahiran), ritual ngurisang (potong rambut), ritual ngitanang (khitanan), dan ritual merosok (meratakan gigi).
Ritual buang au. Ritual ini dilaksanakan dengan tujuan untuk membersihkan setiap bayi yang baru lahir ke dunia, karena setiap bayi yang lahir dipercaya membawa dosa orang tuanya di masa lalu. Ritual ini terdiri dari dua tahap, yaitu bedak keramas dan doa kiai. Bedak keramas adalah ramuan yang terdiri dari santan kelapa, darah ayam dan sembek yang ditaruh di dalam tempurung kelapa. Cara menggunakan ramuan tersebut adalah dengan cara dioleskan di kening bayi dan orangtuanya.
Pengolesan ramuan tersebut merupakan simbol pembersihan bagi sang bayi agar kehadirannya dapat diterima oleh alam semesta. Setelah bedak keramas selesai kemudian dilanjutkan dengan makan bersama dengan kiai dan tokoh-tokoh adat. Setelah acara makan selesai, acara diakhiri dengan doa kiai. Dalam doanya sang kiai memohon kepada Sang Pencipta agar jabang bayi yang baru saja lahir diberikan berkah yang melimpah. Selain itu, kiai juga menghadirkan arwah para leluhur untuk menyaksikan kelahiran si jabang bayi dan memberikan berkah kepadanya.
Ritual ngurisang. Ngurisang adalah upacara pemotongan rambut kepala setelah seorang anak mencapai usia antara 1 sampai 7 tahun. Ngurisang selanjutnya diikuti dengan molang malik atau upacara pemotongan umbak kombong (secarik kain yang ditenun dari benang bayan, benang yang diwarnai secara organik). Ngurisang dan molang malik adalah simbolisasi pengislaman seorang anak, karena sebelumnya anak masih dalam kondisi boda atau belum Islam. Dalam kepercayaan orang Bayan, arwah para leluhur juga hadir dalam upcara ini untuk memberikan berkah kepada anak yang baru di-Islamkan.
Ritual ngitanang. Dalam ajaran Wetu Telu, anak wajib dikhitan setelah berusia antara 3 sampai 10 tahun. Sama seperti ngurisang, ngitanang juga merupakan simbol pengislaman seorang anak. Seorang anak tetap boda sampai ia dikhitan.
Ritual merosok. Merosok adalah upacara yang menandai peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Upacara yang dipimpin oleh seorang kiai adat ini berupa proses penghalusan gigi bagian depan anak laki-laki dan gadis remaja. Makna simbolis di balik upacara ini belum diketahui secara pasti. Namun yang jelas, upacara ini adalah bagian dari upacara pembersihan sang anak agar kehadirannya di dunia selalu dalam keadaan bersih.
Ritual Gawe Pati
Untuk memberi pengormatan kepada orang yang sudah meninggal, penganut Wetu Telu memiliki rangkaian ritual yang lengkap dan rumit. Penghormatan dimulai semenjak hari penguburan (nusur tanah), dilanjutkan pada hari ketiga (nelung), hari ketujuh (mituk), hari kesembilan (nyiwak), hari keempat puluh (matang puluh), hari keseratus (nyatus), dan diakhiri pada hari keseribu (nyiu). Tujuan dilaksanankannya ritual paska kematian ini adalah untuk mengantarkan roh orang yang sudah meninggal menuju kehidupan yang lebih tinggi, yaitu alam halus. Tepat pada peringatan hari yang keseribu (nyiu), roh orang yang sudah meninggal dipercaya telah sepenuhnya diterima di dunia para leluhur atau terangkat menuju lingkaran leluhur (keluhuran).
Setelah roh orang yang meninggal tersebut telah bersemayam di dunia para leluhur, roh tersebut dapat dibangkitkan kembali untuk memberikan berkah kepada mereka yang masih hidup di dunia. Mengenai hal ini, Maurice Bloch (1988) dengan cermat memberikan gambaran tentang bagaimana para penganut Wetu Telu mempersepsi kematian dan kehidupan setelahnya. Menurut Bloch, kematian seseorang tidak dipandang sebagai akhir dari aktivitas duniawinya, melainkan perpanjangan dari kehidupan duniawi itu sendiri. Kehidupan paskadunia itu disebut sebagai kehidupan alam roh, dimana untuk menuju kesana harus melalui ritus-ritus transformasi yang akan menjamin proses pergantian kehidupan tersebut.
Ritual Menjaga Keseimbangan Kosmos
Salah satu pilar utama konsep kosmologi Wetu Telu adalah keseimbangan antara jagad besar dengan jagad kecil– antara alam semesta dengan kehidupan sehari-hari. Merujuk pada pendapat Budiwanti (2000), upaya untuk menjaga keseimbangan tersebut dapat dilihat pada ritual siklus tanam padi dan ritual selametan kuta.
Ritual Tanam Padi.
Dalam bercocok tanam, masyarakat Wetu Telu sangat tergantung dengan alam, sehingga tata cara yang dijalankannya pun berpatokan pada tanda-tanda alam. Mereka menganggap bahwa mematuhi dan mengikuti tanda-tanda yang ada di alam merupakan cara untuk menjaga keseimbangan kosmos. Sebab, di balik tanda-tanda alam tersebut terdapat hukum alam yang pada hakikatnya menghendaki keseimbangan. Jika hukum alam tersebut dilanggar oleh manusia, maka keseimbangan tersebut akan terganggu. Dalam bercocok tanam, tanda-tanda alam yang dapat dijadikan pedoman adalah ketika terjadi pergantian musim.
Momen-momen pergantian musim ini memberi pedoman kapan waktu yang tepat untuk menyemaikan benih padi, bagaimana cara merawatnya, dan kapan waktu yang tepat untuk memanennya.Masyarakat Wetu Telu di Bayan mengenal tiga macam ritual sehubungan dengan masa pertumbuhan padi, yaitu 1) ngaji makam turun bibit yang diselenggarakan pada musim tanam,
Ngaji makam tunas setamba. Ini dilakukan bertujuan untuk menyuburkan tanah. Dalam ritual ngaji makam tunas setamba dipanjatkan doa-doa tertentu kepada Tuhan dan roh para leluhur agar tanaman padi terhindar dari gangguan hama. Dengan meminta berkah kepada Tuhan dan roh para leluhur, berarti orang Wetu Telu telah menghargai dan melibatkan kekuatan-kekuatan kosmos lainnya.
Ngaji makam ngaturang ulak kaya yang diselenggarakan saat panen. Secara simbolis, ritual-ritual ini merupakan penanda tentang kepekaan masyarakat Wetu Ttelu dalam membaca fenomena alam. Dengan dilakukannya ritual-ritual tersebut orang Wetu Telu berharap hasil panennya akan melimpah ruah.
Sedangkan dalam ritual ngaji makam ngaturang ulak kaya dipanjatkan doa-doa ungkapan rasa syukur karena musim panen telah tiba, apapun hasil panen yang didapat. Dalam ritual ini penganut Wetu Telu juga berharap agar hasil panen di musim selanjutnya lebih berlimpah.
Dalam upacara ini juga disertai dengan acara membersihkan (mengosap) makam para leluhur agar roh para leluhur menjadi senang. Dalam kepercayaan orang Wetu Telu, jika leluhur dihormati secara tepat, roh mereka akan meminta kepada Tuhan agar anak turun mereka yang ada di dunia selalu diberikan berkah dan kesejahteraan yang melimpah. Dalam konteks ini, roh para leluhur ibarat sebuah “antenna”, yang dapat menyampaikan harapan-harapan orang yang masih hidup kepada Sang Pencipta.
Ritual Selametan Kuta
Ritual Gawe Urip
Dalam ritual “Gawe Urip” terdiri dari rangkaian ritual yang satu dengan lainnya saling berhubungan, di antaranya ritual buang au (upacara kelahiran), ritual ngurisang (potong rambut), ritual ngitanang (khitanan), dan ritual merosok (meratakan gigi).
Ritual buang au. Ritual ini dilaksanakan dengan tujuan untuk membersihkan setiap bayi yang baru lahir ke dunia, karena setiap bayi yang lahir dipercaya membawa dosa orang tuanya di masa lalu. Ritual ini terdiri dari dua tahap, yaitu bedak keramas dan doa kiai. Bedak keramas adalah ramuan yang terdiri dari santan kelapa, darah ayam dan sembek yang ditaruh di dalam tempurung kelapa. Cara menggunakan ramuan tersebut adalah dengan cara dioleskan di kening bayi dan orangtuanya.
Pengolesan ramuan tersebut merupakan simbol pembersihan bagi sang bayi agar kehadirannya dapat diterima oleh alam semesta. Setelah bedak keramas selesai kemudian dilanjutkan dengan makan bersama dengan kiai dan tokoh-tokoh adat. Setelah acara makan selesai, acara diakhiri dengan doa kiai. Dalam doanya sang kiai memohon kepada Sang Pencipta agar jabang bayi yang baru saja lahir diberikan berkah yang melimpah. Selain itu, kiai juga menghadirkan arwah para leluhur untuk menyaksikan kelahiran si jabang bayi dan memberikan berkah kepadanya.
Ritual ngurisang. Ngurisang adalah upacara pemotongan rambut kepala setelah seorang anak mencapai usia antara 1 sampai 7 tahun. Ngurisang selanjutnya diikuti dengan molang malik atau upacara pemotongan umbak kombong (secarik kain yang ditenun dari benang bayan, benang yang diwarnai secara organik). Ngurisang dan molang malik adalah simbolisasi pengislaman seorang anak, karena sebelumnya anak masih dalam kondisi boda atau belum Islam. Dalam kepercayaan orang Bayan, arwah para leluhur juga hadir dalam upcara ini untuk memberikan berkah kepada anak yang baru di-Islamkan.
Ritual ngitanang. Dalam ajaran Wetu Telu, anak wajib dikhitan setelah berusia antara 3 sampai 10 tahun. Sama seperti ngurisang, ngitanang juga merupakan simbol pengislaman seorang anak. Seorang anak tetap boda sampai ia dikhitan.
Ritual merosok. Merosok adalah upacara yang menandai peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Upacara yang dipimpin oleh seorang kiai adat ini berupa proses penghalusan gigi bagian depan anak laki-laki dan gadis remaja. Makna simbolis di balik upacara ini belum diketahui secara pasti. Namun yang jelas, upacara ini adalah bagian dari upacara pembersihan sang anak agar kehadirannya di dunia selalu dalam keadaan bersih.
Ritual Gawe Pati
Untuk memberi pengormatan kepada orang yang sudah meninggal, penganut Wetu Telu memiliki rangkaian ritual yang lengkap dan rumit. Penghormatan dimulai semenjak hari penguburan (nusur tanah), dilanjutkan pada hari ketiga (nelung), hari ketujuh (mituk), hari kesembilan (nyiwak), hari keempat puluh (matang puluh), hari keseratus (nyatus), dan diakhiri pada hari keseribu (nyiu). Tujuan dilaksanankannya ritual paska kematian ini adalah untuk mengantarkan roh orang yang sudah meninggal menuju kehidupan yang lebih tinggi, yaitu alam halus. Tepat pada peringatan hari yang keseribu (nyiu), roh orang yang sudah meninggal dipercaya telah sepenuhnya diterima di dunia para leluhur atau terangkat menuju lingkaran leluhur (keluhuran).
Setelah roh orang yang meninggal tersebut telah bersemayam di dunia para leluhur, roh tersebut dapat dibangkitkan kembali untuk memberikan berkah kepada mereka yang masih hidup di dunia. Mengenai hal ini, Maurice Bloch (1988) dengan cermat memberikan gambaran tentang bagaimana para penganut Wetu Telu mempersepsi kematian dan kehidupan setelahnya. Menurut Bloch, kematian seseorang tidak dipandang sebagai akhir dari aktivitas duniawinya, melainkan perpanjangan dari kehidupan duniawi itu sendiri. Kehidupan paskadunia itu disebut sebagai kehidupan alam roh, dimana untuk menuju kesana harus melalui ritus-ritus transformasi yang akan menjamin proses pergantian kehidupan tersebut.
Ritual Menjaga Keseimbangan Kosmos
Salah satu pilar utama konsep kosmologi Wetu Telu adalah keseimbangan antara jagad besar dengan jagad kecil– antara alam semesta dengan kehidupan sehari-hari. Merujuk pada pendapat Budiwanti (2000), upaya untuk menjaga keseimbangan tersebut dapat dilihat pada ritual siklus tanam padi dan ritual selametan kuta.
Ritual Tanam Padi.
Dalam bercocok tanam, masyarakat Wetu Telu sangat tergantung dengan alam, sehingga tata cara yang dijalankannya pun berpatokan pada tanda-tanda alam. Mereka menganggap bahwa mematuhi dan mengikuti tanda-tanda yang ada di alam merupakan cara untuk menjaga keseimbangan kosmos. Sebab, di balik tanda-tanda alam tersebut terdapat hukum alam yang pada hakikatnya menghendaki keseimbangan. Jika hukum alam tersebut dilanggar oleh manusia, maka keseimbangan tersebut akan terganggu. Dalam bercocok tanam, tanda-tanda alam yang dapat dijadikan pedoman adalah ketika terjadi pergantian musim.
Momen-momen pergantian musim ini memberi pedoman kapan waktu yang tepat untuk menyemaikan benih padi, bagaimana cara merawatnya, dan kapan waktu yang tepat untuk memanennya.Masyarakat Wetu Telu di Bayan mengenal tiga macam ritual sehubungan dengan masa pertumbuhan padi, yaitu 1) ngaji makam turun bibit yang diselenggarakan pada musim tanam,
Ngaji makam tunas setamba. Ini dilakukan bertujuan untuk menyuburkan tanah. Dalam ritual ngaji makam tunas setamba dipanjatkan doa-doa tertentu kepada Tuhan dan roh para leluhur agar tanaman padi terhindar dari gangguan hama. Dengan meminta berkah kepada Tuhan dan roh para leluhur, berarti orang Wetu Telu telah menghargai dan melibatkan kekuatan-kekuatan kosmos lainnya.
Ngaji makam ngaturang ulak kaya yang diselenggarakan saat panen. Secara simbolis, ritual-ritual ini merupakan penanda tentang kepekaan masyarakat Wetu Ttelu dalam membaca fenomena alam. Dengan dilakukannya ritual-ritual tersebut orang Wetu Telu berharap hasil panennya akan melimpah ruah.
Sedangkan dalam ritual ngaji makam ngaturang ulak kaya dipanjatkan doa-doa ungkapan rasa syukur karena musim panen telah tiba, apapun hasil panen yang didapat. Dalam ritual ini penganut Wetu Telu juga berharap agar hasil panen di musim selanjutnya lebih berlimpah.
Dalam upacara ini juga disertai dengan acara membersihkan (mengosap) makam para leluhur agar roh para leluhur menjadi senang. Dalam kepercayaan orang Wetu Telu, jika leluhur dihormati secara tepat, roh mereka akan meminta kepada Tuhan agar anak turun mereka yang ada di dunia selalu diberikan berkah dan kesejahteraan yang melimpah. Dalam konteks ini, roh para leluhur ibarat sebuah “antenna”, yang dapat menyampaikan harapan-harapan orang yang masih hidup kepada Sang Pencipta.
Ritual Selametan Kuta
Selametan kuta dilaksanakan sebagai sarana untuk mencegah dan menangkal segala musibah, penyakit, dan kemalangan yang dapat melanda sebuah desa. Upacara ini didasarkan atas keyakinan para penganut Wetu Telu yang menganggap bahwa setiap desa memiliki penghuninya sendiri-sendiri yang berasal dari arwah para leluhur dan makhluk halus lainnya. Jika manusia tidak mampu menjaga kelestarian tanah yang ditempatinya, maka arwah leluhur dan mahluk-mahluk halus tersebut akan murka. Dampak dari kemurkaan tersebut dapat berupa wabah penyakit, bencana alam, dan kemalangan-kemalangan lainnya yang menimpa seluruh warga desa. Untuk itu, perlu diselenggarakan selametan kuta yang berfungsi sebagai penangkal segala musibah dan kemalangan tersebut, termasuk yang dapat menyerang tumbuh-tumbuhan dan ternak.
Ritual selametan kuta dilaksanakan setiap tahun sekali dan bertempat di pintu masuk perbatasan sebuah desa. Ritual yang dipimpin oleh seorang pemangku adat ini diawali dengan membaca doa-doa tolak bala dan meminta berkah yang dipanjatkan kepada arwah para leluhur untuk kemudian disampaikan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Setelah itu, ritual dilanjutkan dengan acara bersih-bersih desa dan ditutup dengan menyantap hidangan ketupat secara bersama-sama.
Makanan ini secara simbolis mengekspresikan harapan penganut Wetu Telu agar Tuhan menghindarkan mereka dari segala malapetaka dan menganugrahkan banyak berkah setelah selametan kuta dilaksanakan. Jika dilihat sepintas, upacara ini mirip kerja bakti membersihkan desa dalam masyarakat lain di daerah mana pun, hanya saja diselenggarakan dengan tata cara yang lebih terstruktur. Satu hal yang juga penting disebutkan di bagian ini adalah tentang tata cara menjaga dan mengelola tanah warisan leluhur. Setiap tanah yang diwarisi dari leluhur “haram” hukumnya untuk dijual. Jika hukum ini dilanggar, maka orang yang menjualnya akan terkena murka leluhurnya sehingga kehidupannya akan menuai banyak petaka.
Tanah bagi penganut Wetu Telu menjadi sesuatu yang sangat bermakna. Sebab pada tanah-tanah itulah tertanam simbol-simbol keyakinan adat mereka. Pada tanah itu juga ikatan komunitas terbangun. Tanah-tanah inilah yang menopang sistem kelembagaan adat mereka. Dengan demikian, sebagai komunitas mereka tidak hanya memiliki sistem kepercayaan tertentu, namun juga memiliki imajinasi ruang tertentu pula.
Keterikatan pada tanah memberikan rasa aman dan ikatan hubungan dengan para leluhur (Prasetia, 2005a). Namun jika ditelusuri lebih lanjut, larangan menjual tanah warisan leluhur juga mencerminkan semangat kearifan ekologis. Tanah dalam konteks Wetu Telu adalah sebagai sarana penopang kehidupan (terlebih lagi tanah tempat bercocok tanam), bukan untuk kepentingan yang lainnya. Sebab, ketika tanah tempat bercocok tanam digunakan untuk kepentingan lain, maka keseimbangan kehidupan akan terganggu. Hal ini sebenarnya logis adanya, karena ketika lahan pertanian semakin berkurang, maka jumlah makanan yang diproduksi juga akan berkurang.
Ritual Penghormatan Roh Leluhur
Dalam penganut atau komunitas atau bisa juga disebut sebagai masyarakat Wetu Telu, berkembang keyakinan bahwa setiap tempat di dunia ini terdapat roh-roh leluhur yang menunggunya. Roh-roh tersebut bertempat tinggal secara berkelompok layaknya manusia. Mereka juga memiliki keluarga, kerabat, dan tetangga. Kepercayaan kepada roh penunggu bertempat tinggal di banyak tempat membuat komunitas Wetu Telu harus melaksanakan ritual-ritual tertentu untuk meminta ijin kepada roh penunggu jika tempat tersebut akan difungsikan sebagai sawah, tempat pemukiman, membangun irigasi, dan lain-lain. Misalnya, jika masyarakat Wetu Telu akan memanfaatkan aliran sungai untuk keperluan irigasi, maka mereka wajib hukumnya melaksankan sebuah upacara yang disebut selametan subak. Ritual ini berupa pemberian sesaji kepada roh penunggu sungai agar bersedia memberi ijin bagi
manusia untuk memanfaatkan air sungai tersebut. Jika ritual ini tidak dilakukan, maka roh penunggu sungai akan murka dan manusia yang memanfaatkan air sungai tersebut akan ditimpa malapetaka, yang
biasanya berupa gagal panen jika air sungai digunakan untuk irigasi sawah (Budiwanti, 2000).
Ritual lainnya yang masih terkait dengan upaya menjaga keharmonisan hubungan antara manusia dengan roh-roh penunggu adalah ritual pembangar. Ritual ini dilaksanakan sebelum seseorang menggunakan sebidang tanah untuk keperluan bercocok tanam, memelihara ternak, atau membangun rumah (Prasetia, 2005a). Ritual ini dilakukan untuk mendapat persetujuan dari roh penunggu tersebut agar bersedia pindah tempat karena pekerjaan berat seperti menebang pohon, menggali tanah, membakar semak, dapat menggaggu ketenangan roh-roh tersebut.
Menurut kepercayaan penganut Wetu Telu, jika ritual ini tidak dilaksanakan, roh-roh penunggu tersebut akan marah dan cepat atau lambat akan mengancam kesejahteraan manusia yang menghuni tempat tersebut. Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa kepercayaan Wetu Telu di Bayan memraktekkan banyak ritual adat yang berfungsi sebagai pengendali tingkah laku manusia, tidak hanya berlaku bagi sesama manusia (hubungan dalam jagad kecil), tetapi juga dengan jagad besar. Tujuan dari diselenggarakannya ritual-ritual tersebut adalah untuk menjaga hubungan yang harmonis antara berbagai unsur yang menopang eksistensi alam semesta.
Ritual maulid Adat
Maulid Adat. Setiap tanggal 14 dan 15 bulan Rabi’ul Awal tiba, masyarakat adat Wetu Telu melaksanakan maulid adat Wetu Telu”.
Maulid adat ini disemarakkan dengan permainan Perisaian (temetian: bahasa Bayan) yang berlangsung dibeberapa tempat masjid kuno, seperti di halaman masjid kuno Dusun Barung Birak Desa Sambik Elen, masjid kuno Desa bayan, Masjid kuno Dusun Semokan Desa Sukadana dan di Desa Anyar. Permainan tradisional Suku Sasak ini dilakukan oleh dua petarung yang menggunakan rotan sebagai pemukul lawan serta perisai (ende) yang terbuat dari kulit kerbau. Sementara “pekembar” berpungsi sebagai wasit sekaligus supporter bagi petarung. Acara perisaian berlangsung semalam suntuk dalam suasana temaram sinar bulan purnama yang sekaligus membuatnya menarik, karena permainan khas Lombok ini bisasanya dilaksanakan siang atau sore hari.
Acara maulid adat ini diakhiri dengan mengarak para praja mulud dari kampu Bayan Barat menuju masjid kuno Bayan Beleq. (Ari)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar