SESAIT,--Merujuk pada dinamika kehidupan modern saat ini, kita dapat saksikan warna kehidupan yang didominasi oleh sikap dan prilaku yang merupakan buah transformasi budaya Barat sebagai pengaruh langsung Globalisasi.
Sikap dan prilaku tersebut adalah cerminan dari mindside berpikir yang tidak lazim dimiliki oleh masyarakat Dunia Timur. Kerangka pikir Dunia Barat tersebut dimotori oleh paham Kapitalisme yang lahir dari filsafat materialisme dan filsafat Dialektika.
Filsafat materialisme memandang kehudupan ini sebagai suatu system mekanistik yang akan terus berjalan dan akan menghasilkan materi baru sebagai hasil perubahan dari materi itu sendiri.
Masyarakat Barat memandang bahwa materi adalah realitas kehidupan sehingga setiap aktivitasnya harus menghasilkan materi walaupun jalan yang ditempuh tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana dianut masyarakat Dunia Timur.
Strategi atau upaya untuk menghasilkan materi adalah dengan membangun system kapitalistik, dimana penguasaan terhadap modal (uang, bahan baku industri, energi, dll) merupakan tujuan dalam rangka mencapai kepuasan hidup. Untuk menjamin berjalannya system kapitalis maka dikombinasikan dengan faham liberal (paham Kebebasan individual). Kebebasan tanpa batas dan tanpa kendali Agama sebagai sumber Moral.
Masyarakat barat selain memandang materi adalah realitas kehidupan dan penguasaan terhadap materi secara bebas merupakan keharusan, mereka juga meyakini bahwa dalam dinamika kehidupan ummat manusia tidak lepas dari peristiwa komplik.
Jadi mereka meyakini bahwa komplik adalah keniscayaan (paham Dialektika). Paham dialektika memandang bahwa untuk menghasilkan sesuatu yang baru dan lebih baik harus melalui peristiwa komplik. Paham inilah yang menjadi sumber malapetaka dalam kehidupan umat manusia. Paham ini memicu setiap orang untuk berusaha sekuat mungkin dalam memperoleh atau menguasai sumber-sumber kehidupan demi kepentingan pribadi melalui persaingan tidak sehat.
Dalam persaingan harus ada yang dikalahkan atau harus ada sebagai pemenang dengan pengakuan sebagai orang terkuat layaknya kehidupan rimba.
Mengacu pada realitas tersebut tidak mengherankan jika kita sering menyaksikan terjadinya komplik dimana-mana dalam Negara kita atau di sekitar lingkungan kita sendiri terutama komplik yang didominasi oleh kaum muda. Hal ini adalah akibat dari perubahan cara berpikir dan prilaku yang cenderung kebarat-baratan.
Contoh yang lebih nyata dalam konteks social budaya local masyarakat Lombok Utara, KLU yang nota bene-nya dianggap sebagai masyarakat yang kental dengan nilai-nilai adat istiadatnya justru sebaliknya kering, bagaikan musik tanpa makna.
Masyarakat telah kehilangan jati dirinya sebagai masyarakat yang berbudaya seperti hilangnya solidaritas social, tenggang rasa, gotong royong dan rasa kekeluargaan. Realitas ini timbul sebagai akibat dari arus perubahan cara berpikir pragmatis-praktis dipengaruhi oleh globalisasi dengan kendali kaum-kaum kapitalisme dan imperialisme barat yang memandang bahwa materi adalah tujuan hidup dan manusia tidak ada bedanya dengan binatang, siapa kuat ia menang (eloknya seperti hukum rimba).
Menyimak realitas tersebut, tentu kita perihatin sebagai anak bangsa yang meyakini bahwa kita adalah bangsa yang besar dan beradap atau bangsa yang memiliki budaya dan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur dengan menganggap orang lain adalah saudara dan kawan bukan lawan atau pesaing.
Namun demikian membangun prinsip dan konsep hidup tersebut tidaklah mudah karna harus memiliki landasan yang kuat sebagai sumber moral dan sumber kaedah-kaedah dalam kehidupan. Artinya suatu komunitas masyarakat tertentu yang memiliki latar belakang sejarah dan sumber moral adalah sangat potensial dalam mempengaruhi dinamika kehidupan global baik secara langsung maupun tidak (membangun kader-kader muda yang cerdas dan bermoral), misalnya seperti Komunitas Masyarakat Adat Wet Sesait.
Masyarakat wet Sesait dalam wilayah Kabupaten Lombok Utara merupkan masyarakat yang masih mengakui dan terikat dengan nilai-nilai adat istiadat (Lokal Genuine).
Salah satu indikatornya adalah semboyan merenten (Persaudaraan). Walaupun demikian tidak dipungkiri terjadinya pergeseran nilai akibat kebijakan pariwisata dengan tidak mengindahkan nilai-nilai kearifan local.
Semboyan merenten tidak lahir begitu saja, tetapi semboyan merenten merupakan hasil atau bentuk dari kemurnian nilai-nilai adat istiadat dan budaya berdasarkan keyakinan keagamaan.
Secara harfiah merenten berasal dari kata dasar renten yang artinya saudara dan imbuhan me- yang menyebabkan kata benda berubah menjadi kata kerja me-renten yang maknanya bersaudara. Melihat bentuk kata dari semboyan merenten maka dapat disimpulkan bahwa para leluhur masyarakat wet sesait menghendaki semboyan merenten tidak sekedar sebagai symbol belaka tapi lebih menekankan kepada penerapan atau pelaksanaan nilai-nilai merenten dalam kehidupan sehari-hari.
Secara sosiokultural masyarakat wet Sesait merupakan masyarakat adat/tradisi sekaligus juga masyarakat yang religius. Masyarakat wet Sesait berkeyakinan bahwa antara adat istiadat dan agama tidak bisa dipisahkan, agama adalah ruh dari adat istiadat itu sendiri. Hal ini bisa terlihat dari struktur kelembagaan adat yang terdiri dari pemusungan adat, pemangku adat, Kiyai, dan mangku bumi.
Kondisi sosiokultural masyarakat Wet Sesait dipengaruhi cara pandang atau falsafah hidup masyarakatnya. Mereka memandang kehidupan ini sebagai sebuah anugrah Tuhan sekaligus juga amanah Tuhan yang harus dijalani dan dipelihara. Kehidupan dunia merupakan tanggung jawab kekhalifahan dimana setiap orang merupakan pelaksana dari tanggung jawab tersebut maupun dengan berkelompok.
Pandangan hidup masyarakat wet Sesait mempengaruhi pola interaksi baik pola interaksi antar sesama manusia/relasi sosial, pola intraksi dengan alam maupun cara berhubungan dengan Tuhan dan selanjutnya sangat mempengaruhi model struktur kelembagaan adat.
Cara Pandang tentang alam semesta tersebut mempengaruhi pola Intraksi atau relasi masyarakat dengan alam misalnya dalam memanfaatkan hasil hutan atau ekosistem lainnya. Prinsip hidup dalam memanfaatkan alam bagi masyarakat adalah “Aik Meneng Empak Bau Tunjung Tilah dan Bau Besi Bau Asak (Oleh Kamardi).
Makna dari falsafah ini adalah bahwa dalam setiap aktivitas memanfatkan alam kita tidak boleh berlebihan atau dengan tanpa merusak ekosistem/alam itu sendiri, kelestarian lingkungan tetap terjaga, sedangkan bau Besi bau asak bermakna bahwa setiap sesuatu yang diambil dari alam tidak boleh berlebihan sehingga menjadi mubazir oleh karena itu barang tersebut harus di olah terlebih dahulu sehingga menjadi sesuatu yang berdaya guna.
Masyarakat memandang alam semesta adalah anugrah Tuhan yang harus dipelihara dan dijaga kelestariannya karena mereka memandang alam juga adalah mahluk ciptaan Tuhan yang memiliki ruh dan merupakan titipan Ilahi yang harus diperlakukan sama.
Sehingga dalam memanfaatkan alam, masyarakat tradisi, tidak boleh mengambil secara berlebihan dan disertai tanggung jawab untuk memulihkan kembali sesuatu dari alam yang dimanfatkan.
Untuk lebih menjamin prinsip atau nilai-nilai hidup bisa menjadi standar interaksi dengan alam atau menjadi kesadaran kolektif yang melekat pada masing-masing individu dalam kehidupn sehari-hari, masyarkat tradisi membuat awik-awik yang merupakan hasil consensus bersama melalui musyawarah.
Sedangkan dalam pola interaksi dengan sesama/relasi sosial masyarakat tradisi menjadikan merenten sebagai semboyan dalam kehidupan bermasyarakat. Setiap orang dalam wilayah wet adalah bagian dari keluarga besar yang memiliki hak dan kewajiban yang sama.
Dari hasil kajian awal tentang pranata social yang ada di msyarakat wet sesait dan kajian literature budaya nusantara menunjukkan bahwa budaya nusantara dengan segala keanekaragamannya merupakan potensi yang harus tetap dipelihara dan dikembangkan sebagai identitas bangsa dalan rangka menumbuhkan kepercayaan diri sebagai bangsa yang setara dengan bangsa lain untuk mewujudkan perdamian abadi di dunia. .(Eko)
Sikap dan prilaku tersebut adalah cerminan dari mindside berpikir yang tidak lazim dimiliki oleh masyarakat Dunia Timur. Kerangka pikir Dunia Barat tersebut dimotori oleh paham Kapitalisme yang lahir dari filsafat materialisme dan filsafat Dialektika.
Filsafat materialisme memandang kehudupan ini sebagai suatu system mekanistik yang akan terus berjalan dan akan menghasilkan materi baru sebagai hasil perubahan dari materi itu sendiri.
Masyarakat Barat memandang bahwa materi adalah realitas kehidupan sehingga setiap aktivitasnya harus menghasilkan materi walaupun jalan yang ditempuh tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana dianut masyarakat Dunia Timur.
Strategi atau upaya untuk menghasilkan materi adalah dengan membangun system kapitalistik, dimana penguasaan terhadap modal (uang, bahan baku industri, energi, dll) merupakan tujuan dalam rangka mencapai kepuasan hidup. Untuk menjamin berjalannya system kapitalis maka dikombinasikan dengan faham liberal (paham Kebebasan individual). Kebebasan tanpa batas dan tanpa kendali Agama sebagai sumber Moral.
Masyarakat barat selain memandang materi adalah realitas kehidupan dan penguasaan terhadap materi secara bebas merupakan keharusan, mereka juga meyakini bahwa dalam dinamika kehidupan ummat manusia tidak lepas dari peristiwa komplik.
Jadi mereka meyakini bahwa komplik adalah keniscayaan (paham Dialektika). Paham dialektika memandang bahwa untuk menghasilkan sesuatu yang baru dan lebih baik harus melalui peristiwa komplik. Paham inilah yang menjadi sumber malapetaka dalam kehidupan umat manusia. Paham ini memicu setiap orang untuk berusaha sekuat mungkin dalam memperoleh atau menguasai sumber-sumber kehidupan demi kepentingan pribadi melalui persaingan tidak sehat.
Dalam persaingan harus ada yang dikalahkan atau harus ada sebagai pemenang dengan pengakuan sebagai orang terkuat layaknya kehidupan rimba.
Mengacu pada realitas tersebut tidak mengherankan jika kita sering menyaksikan terjadinya komplik dimana-mana dalam Negara kita atau di sekitar lingkungan kita sendiri terutama komplik yang didominasi oleh kaum muda. Hal ini adalah akibat dari perubahan cara berpikir dan prilaku yang cenderung kebarat-baratan.
Contoh yang lebih nyata dalam konteks social budaya local masyarakat Lombok Utara, KLU yang nota bene-nya dianggap sebagai masyarakat yang kental dengan nilai-nilai adat istiadatnya justru sebaliknya kering, bagaikan musik tanpa makna.
Masyarakat telah kehilangan jati dirinya sebagai masyarakat yang berbudaya seperti hilangnya solidaritas social, tenggang rasa, gotong royong dan rasa kekeluargaan. Realitas ini timbul sebagai akibat dari arus perubahan cara berpikir pragmatis-praktis dipengaruhi oleh globalisasi dengan kendali kaum-kaum kapitalisme dan imperialisme barat yang memandang bahwa materi adalah tujuan hidup dan manusia tidak ada bedanya dengan binatang, siapa kuat ia menang (eloknya seperti hukum rimba).
Menyimak realitas tersebut, tentu kita perihatin sebagai anak bangsa yang meyakini bahwa kita adalah bangsa yang besar dan beradap atau bangsa yang memiliki budaya dan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur dengan menganggap orang lain adalah saudara dan kawan bukan lawan atau pesaing.
Namun demikian membangun prinsip dan konsep hidup tersebut tidaklah mudah karna harus memiliki landasan yang kuat sebagai sumber moral dan sumber kaedah-kaedah dalam kehidupan. Artinya suatu komunitas masyarakat tertentu yang memiliki latar belakang sejarah dan sumber moral adalah sangat potensial dalam mempengaruhi dinamika kehidupan global baik secara langsung maupun tidak (membangun kader-kader muda yang cerdas dan bermoral), misalnya seperti Komunitas Masyarakat Adat Wet Sesait.
Masyarakat wet Sesait dalam wilayah Kabupaten Lombok Utara merupkan masyarakat yang masih mengakui dan terikat dengan nilai-nilai adat istiadat (Lokal Genuine).
Salah satu indikatornya adalah semboyan merenten (Persaudaraan). Walaupun demikian tidak dipungkiri terjadinya pergeseran nilai akibat kebijakan pariwisata dengan tidak mengindahkan nilai-nilai kearifan local.
Semboyan merenten tidak lahir begitu saja, tetapi semboyan merenten merupakan hasil atau bentuk dari kemurnian nilai-nilai adat istiadat dan budaya berdasarkan keyakinan keagamaan.
Secara harfiah merenten berasal dari kata dasar renten yang artinya saudara dan imbuhan me- yang menyebabkan kata benda berubah menjadi kata kerja me-renten yang maknanya bersaudara. Melihat bentuk kata dari semboyan merenten maka dapat disimpulkan bahwa para leluhur masyarakat wet sesait menghendaki semboyan merenten tidak sekedar sebagai symbol belaka tapi lebih menekankan kepada penerapan atau pelaksanaan nilai-nilai merenten dalam kehidupan sehari-hari.
Secara sosiokultural masyarakat wet Sesait merupakan masyarakat adat/tradisi sekaligus juga masyarakat yang religius. Masyarakat wet Sesait berkeyakinan bahwa antara adat istiadat dan agama tidak bisa dipisahkan, agama adalah ruh dari adat istiadat itu sendiri. Hal ini bisa terlihat dari struktur kelembagaan adat yang terdiri dari pemusungan adat, pemangku adat, Kiyai, dan mangku bumi.
Kondisi sosiokultural masyarakat Wet Sesait dipengaruhi cara pandang atau falsafah hidup masyarakatnya. Mereka memandang kehidupan ini sebagai sebuah anugrah Tuhan sekaligus juga amanah Tuhan yang harus dijalani dan dipelihara. Kehidupan dunia merupakan tanggung jawab kekhalifahan dimana setiap orang merupakan pelaksana dari tanggung jawab tersebut maupun dengan berkelompok.
Pandangan hidup masyarakat wet Sesait mempengaruhi pola interaksi baik pola interaksi antar sesama manusia/relasi sosial, pola intraksi dengan alam maupun cara berhubungan dengan Tuhan dan selanjutnya sangat mempengaruhi model struktur kelembagaan adat.
Cara Pandang tentang alam semesta tersebut mempengaruhi pola Intraksi atau relasi masyarakat dengan alam misalnya dalam memanfaatkan hasil hutan atau ekosistem lainnya. Prinsip hidup dalam memanfaatkan alam bagi masyarakat adalah “Aik Meneng Empak Bau Tunjung Tilah dan Bau Besi Bau Asak (Oleh Kamardi).
Makna dari falsafah ini adalah bahwa dalam setiap aktivitas memanfatkan alam kita tidak boleh berlebihan atau dengan tanpa merusak ekosistem/alam itu sendiri, kelestarian lingkungan tetap terjaga, sedangkan bau Besi bau asak bermakna bahwa setiap sesuatu yang diambil dari alam tidak boleh berlebihan sehingga menjadi mubazir oleh karena itu barang tersebut harus di olah terlebih dahulu sehingga menjadi sesuatu yang berdaya guna.
Masyarakat memandang alam semesta adalah anugrah Tuhan yang harus dipelihara dan dijaga kelestariannya karena mereka memandang alam juga adalah mahluk ciptaan Tuhan yang memiliki ruh dan merupakan titipan Ilahi yang harus diperlakukan sama.
Sehingga dalam memanfaatkan alam, masyarakat tradisi, tidak boleh mengambil secara berlebihan dan disertai tanggung jawab untuk memulihkan kembali sesuatu dari alam yang dimanfatkan.
Untuk lebih menjamin prinsip atau nilai-nilai hidup bisa menjadi standar interaksi dengan alam atau menjadi kesadaran kolektif yang melekat pada masing-masing individu dalam kehidupn sehari-hari, masyarkat tradisi membuat awik-awik yang merupakan hasil consensus bersama melalui musyawarah.
Sedangkan dalam pola interaksi dengan sesama/relasi sosial masyarakat tradisi menjadikan merenten sebagai semboyan dalam kehidupan bermasyarakat. Setiap orang dalam wilayah wet adalah bagian dari keluarga besar yang memiliki hak dan kewajiban yang sama.
Dari hasil kajian awal tentang pranata social yang ada di msyarakat wet sesait dan kajian literature budaya nusantara menunjukkan bahwa budaya nusantara dengan segala keanekaragamannya merupakan potensi yang harus tetap dipelihara dan dikembangkan sebagai identitas bangsa dalan rangka menumbuhkan kepercayaan diri sebagai bangsa yang setara dengan bangsa lain untuk mewujudkan perdamian abadi di dunia. .(Eko)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar