SESAIT, -- Penelusuran jejak situs-sistus sejarah Sesait tempo dulu yang tersebar diwilayah wet Sesait, hingga kini terus dilakukan.
Dalam penelusuran pencarian situs sejarah Sesait ini, Agus Wahyudi, salah seorang tokoh Pemuda Sesait, mengatakan bahwa, keberadaan situs-situs Sesait selama ini masih banyak yang belum ditemukan. Sedangkan yang sudah ditemukan baru sebagian kecil saja.
”Situs-situs sejarah Sesait yang sebagian besar tersebar diwilayah bagian timur KLU ini, masih banyak yang belum ditemukan, baru sebagian kecil saja,”kata Agus Wahyudi, yang biasa dipanggil Agus Engkang ini.
”Kami akan terus mencoba menelusuri jejak situs sejarah Sesait yang merupakan peninggalan nenek moyang Tau Lokaq Sesait yang pernah ada di zaman dulu, yang nyaris terlupakan ini. Sehingga nantinya, penemuan kami ini akan menjadi bukti bahwa peradaban Tau Lokak Sesait zaman dahulu betul-betul pernah ada dan jaya dimasanya,”jelas Agus Engkang semangat.
Dari hasil penulusuran jejak-jejak masa lalu tersebut, kali ini fokus pada penemuan situs pemandian Inaq Empleng Bleleng yaitu Situs Sumur Lokok Paok.
Sekitar satu kilo meter ke arah barat laut Kampung Sesait inilah lokasi situs Sumur Lokok Paok itu berada. Keberadaan sumur ini, persis dilereng bukit gontoran Gunung Konoq, diatas Lokok Saong sebelah timur Gubuq Setowek, yang hingga kini keasliannya masih terpelihara rapi. Hanya saja, seiring dengan perubahan zaman jutaan abad yang silam, penutup dari sumur ini sudah raib ditelan waktu.
Menurut cerita M.Ali salah seorang tokoh masyarakat Sesait, menceritakan hal ihwal keberadaan sumur lokok paok tersebut.
Di ceritakannya bahwa, sumur lokok paok ini, dulu pada zaman ireng, sumur ini diyakini sebagai sumur tempat pemandian Inaq Empleng Bleleng. Batu lesung yang ada persis didekat sumur ini, diyakini sebagai wadah tempat menumbuk kelapa atau sejenisnya sebagai alat untuk keramas. Kebiasaan orang tua zaman dahulu, sebelum mandi, biasanya keramas terlebih dahulu, baru kemudian mandi ’melangeh’.
Tidak jauh dari tempat batu lesung tadi, yaitu sekitar satu meter arah utara darinya terdapat satu buah batu lesung lagi yang lubangnya ada lima. Ini, menurut M.Ali, diyakini juga sebagai tempat Inaq Empleng Bleleng menaruh segala macam racikan ramuan untuk dijadikan obat-obatan.
Disamping situs Sumur Lokok Paok, ada dua sumur lagi berderet disebelah utaranya, yaitu Sumur Lokok Lengkak dan Sumur Lokok Koloh yang menyerupai gua. Dari sumur Koloh yang menyerupai gua inilah hingga sekarang digunakan oleh penduduk Sejongga, untuk mengambil air sebagai sumber kehidupan mereka.
Menurut legenda yang berkembang secara turun- binurun dikalangan masyarakat Sesait, dari zaman dahulu hingga sekarang, diceritakan bahwa; pada zaman ireng (zaman kegelapan) atau mungkin juga pada zaman gletser jutaan tahun silam, hiduplah sepasang keluarga yang bernama Empleng Bleleng. Keluarga ini hidup dan berkembang membentuk sebuah komunitas yang oleh masyarakat setempat, diyakini mereka tinggal di gontoran Sesait yang sekarang. Sebagaimana layaknya kehidupan manusia zaman sekarang, kehidupan keluarga inipun yang pada zamannya, dalam kesehariannya terus bekerja banting tulang diladang miliknya demi menghidupi keluarganya.
Dari hari berganti hari, terus berlangsung sepanjang masa, kehidupan sepasang keluarga Empleng Bleleng pun berubah menjadi masa paceklik. Pada masa ini kehidupan keluarganya mengalami masa serba kekurangan. Tidak ada yang akan dimasak. Keluarga ini berusaha semampunya untuk mendapatkan sekedar penyambung hidup bagi keluarganya. Sehingga pada suatu ketika, sang ibu (Empleng Bleleng) sedang menyajikan makanan sekedar pengganjal perut bagi anak-anaknya. Sedangkan sang suami ketika itu sedang bekerja diladang.
Diceritakan dalam legenda tersebut bahwa, ketika Inaq Empleng Bleleng menyajikan makanan buat anak-anaknya, tiba-tiba anaknya nyeletuk mengatakan; ”Inaq, awas ’dowen epe’ (punyamu ibu),”kata anaknya yang paling besar.
Tanpa pikir panjang, ibunya langsung memukul anaknya yang berbicara tadi dengan menggunakan sendok sayuran yang biasanya terbuat dari tempurung kelapa.
Peristiwa pemukulan Inaq Empleng Bleleng kepada anaknya ini, terdengar juga sampai diladang dimana lokasi tempat sang suami bekerja. Kemudian sang Suami begitu melihat keadaan anaknya yang berlumuran darah dari kepalanya, sang suami marah dan kalang kabut. Saking marahnya, sehingga kemarahannya ini tidak bisa dibendung, akhirnya sang suami kalap, dan menebas buah dada (payudara) sang isteri dengan menggunakan parang.
Karena akibat tebasan parang dari suaminya ini, Inaq Empleng Bleleng lantas pergi ke tengah arungan (laut dangkal) guna merendam lukanya.Ini dimaksudkan agar darah yang terus mengucur keluar dari lukanya itu bisa dihentikan.
Berhari-hari, berminggu-minggu dan bahkan berbulan-bulan, Inaq Empleng Bleleng terus berendam.Karena terlalu lamanya berendam, anak yang ditinggalkan dirumahnya bersama suami dan anaknya yang paling besar, menjadi kewalahan. Pasalnya, anaknya yang bungsu masih membutuhkan air susu ibunya.
Dalam keadaan penyesalan yang amat dalam, sang suami berharap agar sang istri bisa keluar dari tengah arungan atau dari berendamnya. Namun, sang istri bersikukuh tidak mau keluar, dia memilih tetap tinggal dalam arungan tersebut.
Sang suami sudah kehabisan akal membujuk istrinya, agar mau keluar menyusui anaknya yang masih kecil tersebut. Tetapi, istrinya tetap tidak memperdulikannya. Langkah terakhir yang ditempuh sang suami yaitu dengan menyuruh anaknya yang paling besar menyusul ibunya. Dengan langkah yang tertatih-tatih sambil menggendong adiknya, lalu menyusul ibunya, dengan harapan adiknya dapat disusui ibunya.
Setibanya dipinggir pantai, sambil berlarian kesana-kemari dengan memanggil-manggil ibunya, agar keluar sebentar menyusui adiknya. Sementara adiknya sambil digendong terus menangis tiada hentinya. Sampai-sampai suaranya tidak kedengaran lagi. Karena ibunya tidak mau keluar, sang kakak juga ikut menangis sejadi-jadinya. Akhirnya, mungkin karena naluri sang ibu muncul dihatinya,tidak tega melihat nasib kedua anaknya terus menangis dipinggir pantai, lalu dipanggillah anaknya agar ikut masuk ke tengah arungan menemui ibunya. Lalu kedua anaknya masuk ke tengah arungan menemui ibunya.
Ajaib, setelah ibu dan kedua anaknya bertemu saling melepas rindu, maka sang ibu tidak mau lagi berpisah dengan kedua anaknya. Lalu dia memohon kepada Yang Kuasa agar mereka dijadikan batu saja. Sehingga permohonan ibu yang malang ini, terkabulkan. Sekarang batu penjelmaan dari Empleng Bleleng dan kedua anaknya ini,masih ada terpelihara dengan baik ditanah milik almarhum Dabak Sesait di Gunung Konoq, sekitar satu kilometer barat laut Kampung Sesait sekarang.(Eko).
Dalam penelusuran pencarian situs sejarah Sesait ini, Agus Wahyudi, salah seorang tokoh Pemuda Sesait, mengatakan bahwa, keberadaan situs-situs Sesait selama ini masih banyak yang belum ditemukan. Sedangkan yang sudah ditemukan baru sebagian kecil saja.
”Situs-situs sejarah Sesait yang sebagian besar tersebar diwilayah bagian timur KLU ini, masih banyak yang belum ditemukan, baru sebagian kecil saja,”kata Agus Wahyudi, yang biasa dipanggil Agus Engkang ini.
”Kami akan terus mencoba menelusuri jejak situs sejarah Sesait yang merupakan peninggalan nenek moyang Tau Lokaq Sesait yang pernah ada di zaman dulu, yang nyaris terlupakan ini. Sehingga nantinya, penemuan kami ini akan menjadi bukti bahwa peradaban Tau Lokak Sesait zaman dahulu betul-betul pernah ada dan jaya dimasanya,”jelas Agus Engkang semangat.
Dari hasil penulusuran jejak-jejak masa lalu tersebut, kali ini fokus pada penemuan situs pemandian Inaq Empleng Bleleng yaitu Situs Sumur Lokok Paok.
Sekitar satu kilo meter ke arah barat laut Kampung Sesait inilah lokasi situs Sumur Lokok Paok itu berada. Keberadaan sumur ini, persis dilereng bukit gontoran Gunung Konoq, diatas Lokok Saong sebelah timur Gubuq Setowek, yang hingga kini keasliannya masih terpelihara rapi. Hanya saja, seiring dengan perubahan zaman jutaan abad yang silam, penutup dari sumur ini sudah raib ditelan waktu.
Menurut cerita M.Ali salah seorang tokoh masyarakat Sesait, menceritakan hal ihwal keberadaan sumur lokok paok tersebut.
Di ceritakannya bahwa, sumur lokok paok ini, dulu pada zaman ireng, sumur ini diyakini sebagai sumur tempat pemandian Inaq Empleng Bleleng. Batu lesung yang ada persis didekat sumur ini, diyakini sebagai wadah tempat menumbuk kelapa atau sejenisnya sebagai alat untuk keramas. Kebiasaan orang tua zaman dahulu, sebelum mandi, biasanya keramas terlebih dahulu, baru kemudian mandi ’melangeh’.
Tidak jauh dari tempat batu lesung tadi, yaitu sekitar satu meter arah utara darinya terdapat satu buah batu lesung lagi yang lubangnya ada lima. Ini, menurut M.Ali, diyakini juga sebagai tempat Inaq Empleng Bleleng menaruh segala macam racikan ramuan untuk dijadikan obat-obatan.
Disamping situs Sumur Lokok Paok, ada dua sumur lagi berderet disebelah utaranya, yaitu Sumur Lokok Lengkak dan Sumur Lokok Koloh yang menyerupai gua. Dari sumur Koloh yang menyerupai gua inilah hingga sekarang digunakan oleh penduduk Sejongga, untuk mengambil air sebagai sumber kehidupan mereka.
Menurut legenda yang berkembang secara turun- binurun dikalangan masyarakat Sesait, dari zaman dahulu hingga sekarang, diceritakan bahwa; pada zaman ireng (zaman kegelapan) atau mungkin juga pada zaman gletser jutaan tahun silam, hiduplah sepasang keluarga yang bernama Empleng Bleleng. Keluarga ini hidup dan berkembang membentuk sebuah komunitas yang oleh masyarakat setempat, diyakini mereka tinggal di gontoran Sesait yang sekarang. Sebagaimana layaknya kehidupan manusia zaman sekarang, kehidupan keluarga inipun yang pada zamannya, dalam kesehariannya terus bekerja banting tulang diladang miliknya demi menghidupi keluarganya.
Dari hari berganti hari, terus berlangsung sepanjang masa, kehidupan sepasang keluarga Empleng Bleleng pun berubah menjadi masa paceklik. Pada masa ini kehidupan keluarganya mengalami masa serba kekurangan. Tidak ada yang akan dimasak. Keluarga ini berusaha semampunya untuk mendapatkan sekedar penyambung hidup bagi keluarganya. Sehingga pada suatu ketika, sang ibu (Empleng Bleleng) sedang menyajikan makanan sekedar pengganjal perut bagi anak-anaknya. Sedangkan sang suami ketika itu sedang bekerja diladang.
Diceritakan dalam legenda tersebut bahwa, ketika Inaq Empleng Bleleng menyajikan makanan buat anak-anaknya, tiba-tiba anaknya nyeletuk mengatakan; ”Inaq, awas ’dowen epe’ (punyamu ibu),”kata anaknya yang paling besar.
Tanpa pikir panjang, ibunya langsung memukul anaknya yang berbicara tadi dengan menggunakan sendok sayuran yang biasanya terbuat dari tempurung kelapa.
Peristiwa pemukulan Inaq Empleng Bleleng kepada anaknya ini, terdengar juga sampai diladang dimana lokasi tempat sang suami bekerja. Kemudian sang Suami begitu melihat keadaan anaknya yang berlumuran darah dari kepalanya, sang suami marah dan kalang kabut. Saking marahnya, sehingga kemarahannya ini tidak bisa dibendung, akhirnya sang suami kalap, dan menebas buah dada (payudara) sang isteri dengan menggunakan parang.
Karena akibat tebasan parang dari suaminya ini, Inaq Empleng Bleleng lantas pergi ke tengah arungan (laut dangkal) guna merendam lukanya.Ini dimaksudkan agar darah yang terus mengucur keluar dari lukanya itu bisa dihentikan.
Berhari-hari, berminggu-minggu dan bahkan berbulan-bulan, Inaq Empleng Bleleng terus berendam.Karena terlalu lamanya berendam, anak yang ditinggalkan dirumahnya bersama suami dan anaknya yang paling besar, menjadi kewalahan. Pasalnya, anaknya yang bungsu masih membutuhkan air susu ibunya.
Dalam keadaan penyesalan yang amat dalam, sang suami berharap agar sang istri bisa keluar dari tengah arungan atau dari berendamnya. Namun, sang istri bersikukuh tidak mau keluar, dia memilih tetap tinggal dalam arungan tersebut.
Sang suami sudah kehabisan akal membujuk istrinya, agar mau keluar menyusui anaknya yang masih kecil tersebut. Tetapi, istrinya tetap tidak memperdulikannya. Langkah terakhir yang ditempuh sang suami yaitu dengan menyuruh anaknya yang paling besar menyusul ibunya. Dengan langkah yang tertatih-tatih sambil menggendong adiknya, lalu menyusul ibunya, dengan harapan adiknya dapat disusui ibunya.
Setibanya dipinggir pantai, sambil berlarian kesana-kemari dengan memanggil-manggil ibunya, agar keluar sebentar menyusui adiknya. Sementara adiknya sambil digendong terus menangis tiada hentinya. Sampai-sampai suaranya tidak kedengaran lagi. Karena ibunya tidak mau keluar, sang kakak juga ikut menangis sejadi-jadinya. Akhirnya, mungkin karena naluri sang ibu muncul dihatinya,tidak tega melihat nasib kedua anaknya terus menangis dipinggir pantai, lalu dipanggillah anaknya agar ikut masuk ke tengah arungan menemui ibunya. Lalu kedua anaknya masuk ke tengah arungan menemui ibunya.
Ajaib, setelah ibu dan kedua anaknya bertemu saling melepas rindu, maka sang ibu tidak mau lagi berpisah dengan kedua anaknya. Lalu dia memohon kepada Yang Kuasa agar mereka dijadikan batu saja. Sehingga permohonan ibu yang malang ini, terkabulkan. Sekarang batu penjelmaan dari Empleng Bleleng dan kedua anaknya ini,masih ada terpelihara dengan baik ditanah milik almarhum Dabak Sesait di Gunung Konoq, sekitar satu kilometer barat laut Kampung Sesait sekarang.(Eko).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar