SESAIT, -- Tersebarnya ajaran Islam di Gumi Paer Sesait adalah tidak terlepas dari peran para wali yang datang dari Timur Tengah (Bagdadh) sekitar abad 14 hingga abad 17.
Para pembawa dan penyebar Islam ini sengaja meninggalkan jazirah arab, dalam rangka membawa amanah yang sangat mulia berupa risalah ajaran Islam yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad Saw untuk seluruh ummat manusia.
Para penyebar Islam yang pernah singgah dan menetap di Gumi Paer Sesait ini, menurut Piagam Sesait (Kitab Muhtadi’) disebutkan yakni Syeh Abdul Kadir Jaelani, Sayyid Rahmad dan Sayyid Anom.
Peran para wali dalam menyebarkan ajaran Islam di Gumi Paer Sesait ini, sangat penting artinya bagi penduduk wet Sesait kala itu. Sehingga banyak bermunculan santri-santri yang ta’at beribadah. Karena ajaran-ajaran yang dibawa oleh para wali ini sangat mudah difahami dan diamalkan.
Tidak jarang juga para santri diantaranya yang terkenal bernama Demung Pemban Banah, selalu memperdalam ajaran Islam jalan Tashawwuf. Jalan Tashawwuf disini dimaksudkan adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah Swt, yang melalui beberapa pendakian dari satu tingkat ke tingkat lainnya yang lebih tinggi, sebagaimana biasa dikerjakan para kaum shufi.
Menurut salah seorang tokoh agama Sesait H.Samani, mengatakan bahwa, para santri dari para wali ketika itu lebih banyak memperdalam ajaran Islam jalan Tashawwuf adalah dimaksudkan agar mereka dapat mencapai tujuan utama bertashawwuf, yaitu ma’rifat billah dan insan kamil.
Sepeninggal Demung Pemban Banah, kemudian penyebaran ajaran Islam dilanjutkan oleh santri yang lain, bernama Sriagan, yang juga saudara kandung dari Demung Pemban Banah. Wilayah penyebarannya diyakini meliputi sekitar Gumi Paer Sesait (Wet Sesait).
Namun dalam perkembangan selanjutnya, keberadaan Demung Pemban Banah dan saudaranya Sriagan ini, tidak banyak diketahui. Namun, dari keterangan beberapa tokoh keturunan dari Sriagan, menceritakan kepada Penulis, bahwa Sriagan ini memiliki 5 orang anak, yang keberadaannya juga sangat penting dalam memperluas wilayah syiar ajaran Islam kala itu.
Menurut Amaq Sudirahman (Narimah), salah seorang keturunan ke -12 dari Sriagan, menceritakan bahwa ke-5 anak Sriagan ini, antara lain Sriangge, Bading, Gubah, Oncok dan Goneng.
”Kelima anak dari Sriagan ini mempunyai andil dalam memperluas wilayah penyebaran Islam kala itu,”sebut Narimah.
Sebut saja, lanjut Narimah seperti Gubah, mendapat tugas ke Soloh dan ke Jawa Timur serta ke Betawi, Bading ke Lombok Tengah, Goneng ke Bayan, Oncok di sekitar Barat Laut wet Sesait dan Sriangge ke Beraringan dan sekitarnya.
Bagaimana kiprah dan keberadaan dari para penyebar Islam putra asli dari Gumi Paer Sesait ini, tidak banyak diketahui. Hanya yang dibahas dalam tulisan ini adalah ketokohan Sriangge dan keteguhan imannya dalam mempertahankan ajaran Islam dari pengaruh Hindu yang masuk ke wet Sesait kala itu.
Di ceritakan bahwa ketika berkuasanya kerajaan Majapahit sampai menguasai seluruh Nusantara lewat sumpah serapah dari patihnya Gajah Mada, maka pengaruhnya sampai juga ke tanah / gumi paer Sesait, yang kala itu penduduknya menganut agama Islam yang ta’at beribadah. Sehingga, ketika pengaruh Hindu ini masuk ke gumi paer Sesait, maka dari kalangan santri yang ta’at beribadah ini, meninggalkan gumi paer Sesait untuk mengasingkan diri dari pengaruh Hindu ke salah satu kawasan Gawah Alas Bana, yang belum pernah terjamah tangan manusia.
Di Gawah Alas Bana (diyakini sebelah barat Dusun Beraringan sekarang) inilah Santri yang bernama Sriangge bersama keluarganya tinggal dan menetap hingga akhir hayatnya.
Hal ini dibuktikan dengan ditemukan makamnya disekitar kaki Montong Gedeng sebelah timur. Makam ini sering di kunjungi oleh keturunannya setiap selesai lebaran.
Sriangge dan istrinya, sebelum mengasingkan diri ke Gawah Alas Bana kala itu, dia tinggal di sebelah utara Kampu Sesait.
Dalam menjalani kehidupan bersama istrinya di gawah alas bana ini, Sriangge terus menjalankan kewajibannya untuk ta’at kepada Allah Swt, hingga akhir hayatnya.Disamping itu, hingga saat ini bekas peninggalan Sriangge masih tersisa berupa pavling blok terbuat dari batu kali berderet menuju ke tempat berwudu.
Peninggalannya yang lain, disamping Takepan Lahat yang ditulis didaun lontar, Kitab Shalawatan dan Umbak Bayan, juga yang hingga kini masih tersisa adalah pohon Kelor. Pohon Kelor (remunggek) ini masih ada hingga sekarang, tidak jauh dari makamnya. Pohon ini dulunya diyakini sengaja ditanam dekat tempayan (Ploncor) yang digunakan sebagai wadah menyimpan air untuk wudu’.
Ketika Sriangge mangkat, secara kebetulan kala itu mangkatnya secara bersama dengan istrinya Sriaji. Ketika itu tidak ada orang yang akan memakamkannya. Karena ditempat tinggal mereka hanya mereka berdua di gawah alas bana masa itu. Mayat mereka baunya harum. Sehingga membuat para pelayar dari negeri jauh yang secara kebetulan lewat diperairan utara Beraringan kala itu kehabisan persediaan air minum, mencium bau harum tadi.
Oleh nakhoda, lalu diperintahkan awak perahunya singgah untuk menyelidiki sumber bau harum tadi, sambil mencari air sebagai tambahan persediaan dalam perjalanan berlayar berikutnya.
Setelah tiba di pesisir pantai utara Beraringan, bau harum terus menusuk hidung semakin keras. Para awak perahu melihat dari kejauhan banyak sekali burung beterbangan dari lembah sebelah timur dari kaki bukit, yang menurut penduduk setempat dinamakan Montong Gedeng. Mereka menduga, mungkin sumber bau harum tadi berasal dari lembah itu. Ternyata, dugaan mereka benar.
Setiba dilembah tadi, para awak perahu kaget. Begitu melihat sepasang mayat terbujur kaku disebuah gubug. Lalu merekalah yang memakamkannya. Jadi, para pelayar (oleh penduduk setempat disebut Tau Perahu) inilah yang mengurusi prosesi pemakaman jenazah Sriangge bersama istrinya hingga selesai. Makamnya hingga sekarang masih tetap dijaga dan dipelihara oleh keturunannya..(Eko).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar