Oleh : Abu Mushlih Ari Wahyudi
Muslim.Or.Id (SK),--
Kenyamanan jiwa bukanlah suatu hal yang mudah didapat, layaknya orang
bijak bicara seharusnyalah kita bisa menemukan kenyamanan jiwa dikala
usia mulai bertambah, tapi sepertinya hal itu butuh perjuangan yang
besar karena kenyamanan jiwa memang mahal harganya. Usia yang bertambah,
pengalaman hidup mengajarkan begitu banyak hal, mulai dari yang salah
hingga yang benar, mulai dari yang pahit hingga menyenangkan, mulai dari
yang mudah hingga yang berat, segala warna, seribu rasa dan jutaan
kisah, tapi kapankah kita temukan kenyamanan jiwa?
Saat
begitu banyak keinginan yang bermain dengan indahnya di dalam kepala
ini, ada keinginan untuk bisa tidur lebih lama, keinginan untuk bisa
punya pasangan yang baik, keinginan untuk makan enak, keinginan untuk
bisa liburan panjang tanpa harus memikirkan pekerjaan, keinginan untuk
sukses di karir, keinginan untuk bahagiakan keluarga,keinginan untuk
bisa lebih dan lebih lagi...hingga kita bisa mendengarkan suara hati
yang paling dalam, jujur dan rendah hati untuk bicara "bersyukurlah
dengan apa yang telah terjadi dalam hidup kita". Orang bijak
bicara,"apapun itu pasti ada maknanya."
Lalu kita kembali bertanya, dengan semua hal di atas, kapankah kenyamanan jiwa akan ditemukan?
Dalam diam yang hening, saat kita
melihat senyum yang tulus, saat kita menutup mata menjelang tidur yang
lelap, saat kita membantu yang susah, saat kita menerima ucapan terima
kasih, saat-saat kita memberikan makna bagi sesama adalah wujud
menjelang kenyamanan jiwa... Kenyamanan jiwa adalah kemampuan kita
bermain dengan isi kepala...dan tingkat penerimaan diri. Karena
kenyamanan jiwa yang utuh hanya ketika kita bersama-Nya.
Rumusan orang mengenai kenyamanan hidup pastilah beragam. Maka, tidak heran jika masing-masing memiliki definisinya sendiri. Makan enak, rumah mewah, penghasilan besar, dan sebagainya, mungkin menjadi bagian dari “isi” kenyamanan hidup dari kita semua. Sehingga, hal itu patut untuk diperjuangkan.
Rumusan orang mengenai kenyamanan hidup pastilah beragam. Maka, tidak heran jika masing-masing memiliki definisinya sendiri. Makan enak, rumah mewah, penghasilan besar, dan sebagainya, mungkin menjadi bagian dari “isi” kenyamanan hidup dari kita semua. Sehingga, hal itu patut untuk diperjuangkan.
Tetapi, kenyamanan pribadi seperti di
atas bukanlah segala-galanya bagi seseorang. Banyak orang yang telah
memperoleh berbagai macam kenikmatan secara individu, tetapi justru
merasa kesepian dan gelisah. Kenapa seperti itu? Tidak lain adalah ia
telah melupakan kenyamanan yang lebih tinggi sebagai makhluk sosial
yaitu kenyamanan sosial.
Di sini ia akan merasakan lebih bahagia
ketika hidup di dalam komunitas tertentu. Lebih bahagia lagi jika bisa
memberi kontribusi di dalamnya. Ia akan merasa hidupnya berguna,
berarti, dan dihargai. Melalui komunitasnyalah ia bisa berekspresi, yang
secara fitrah adalah sebuah kebutuhan. Orang yang hidup kaya raya cepat
atau lambat akan mencapai puncak kejenuhan. Jika ia tidak bisa
mengekspresikan dirinya maka ia akan merasa gelisah, tidak berguna, dan
hidup terasa hampa. Meskipun segala kenikmatan telah dimilikinya.
Agar bisa berekspresi, seseorang butuh
orang lain untuk mengapresiasi atau merespon ekspresinya. Bahkan, dengan
pujian dan penghargaan. Ini adalah fitrah sosial sebagai manusia.
Makanya, ia butuh hidup dalam komunitas tertentu. Karena sesungguhnya,
salah satu bentuk kenyamanan hidupnya ada pada kehidupan sosial itu.
Kenyamanan sosial ini akan mengantarkan seseorang untuk mencapai
kenyamanan hidup yang lebih tinggi, lebih luas, dan lebih banyak.
Kita bisa membedakan lebih tinggi mana,
apakah tingkat kenyamanan pribadi ataukah kenyamanan sosial, melalui
gambaran di bawah ini.
Katakanlah soal makan enak. Kenikmatan
makan adalah ketika ia bisa makan sampai kenyang. Yang menjadi parameter
di sini adalah isi perut dan rasa di lidah. Jika sudah kenyang, makanan
yang enak pun akan terasa tidak enak lagi. Dan, jika lidah sudah
berulang kali merasakannya, semuanya akan membosankan. Mencoba mengejar
lagi, mencari makanan yang lain, hasilnya sama saja. Betapa terbatasnya
kenyamanan pribadi itu.
Demikian juga dengan penghasilan besar
yang bisa untuk membeli rumah mewah, perhiasan, pakaian mahal, dan
lain-lain. Awalnya sangatlah senang memiliki rumah mewah dan perhiasan
mahal. Tetapi, itu tidak akan bertahan lama. Beberapa bulan atau tahun,
perasaan itu sudah biasa lagi. Ketika ia hanya diukur untuk kepentingan
pribadi, kenikmatannya menjadi demikian terbatas, tidak tahan lama dan
semakin lama akan biasa bahkan membosankan. Makanya, supaya tidak bosan
ia akan mengejar lagi dan lagi apa-apa yang belum ia punyai. Milik orang
selalu menggiurkan. Dan, sering kali bosan dengan segala sesuatu yang
telah dimiliki dan berulang kali dinikmati. Termasuk dalam urusan
seksualitas. Maka, ia akan terjebak pada keserakahan.
Dalam kesempatan ini saya akan
menyinggung sedikit tentang poligami. Apalagi sekarang marak kontroversi
tentang berdirinya klub poligami di Bandung. Ketika poligami untuk
kesenangan pribadi, maka poligami tak lebih adalah sebuah bentuk dari
keserakahan manusia yang dilegalkan. Ini tak ada bedanya dengan sudah
punya mobil, masih ingin punya mobil lagi lebih banyak. Karenanya sangat
keliru kalau kita mencoba mengatasi desakan keinginan dan kesenangan
pribadi dengan cara mengumbarnya agar tercapai kepuasan yang kita
inginkan. Padahal, kepuasan pribadi tidak akan pernah terpuaskan. Jika
berpoligami dibolehkan menurut agama yang mereka anut, apakah tidak
keliru? Sedangkan di Kitab Suci mereka, tidak akan pernah ditemukan ayat
yang membolehkan poligami karena alasan kesenangan pribadi.
Tentang berdirinya klub poligami yang
asalnya dari Malaysia itu. Ini bukti bahwa mereka tidak nyaman dengan
hidup mereka. Bosan, hampa, dan merasa diri tidak berarti meskipun telah
memiliki empat orang istri dan kaya sekalipun. Makanya, mereka
membangun komunitas agar mereka bisa mengekspresikan dirinya sehingga
mendapat apresiasi atau bahkan penghargaan dan pujian dari komunitasnya
tersebut. Sehingga, diharap hidup mereka tidak hampa lagi. Untuk itu
masyarakat tidak perlu resah, kita semua memaklumi jika pemahamannya
seperti itu.
Sangat terasa sekali bedanya, bukan?
Ternyata kenyamanan pribadi itu sangat terbatas jika dibandingkan dengan
kenyamanan sosial. Kita akan merasa sangat bahagia jika bisa memberikan
kontribusi dan membantu orang lain. Semakin kita lakukan semakin kita
bahagia dan puas. Bahkan, kebahagiaan dan kenyamanan kita tidak
terbatas. Ini berarti kenyamanan yang lebih tinggi ada pada interaksi
dan saling memberi manfaat. Kita boleh mengejar kenyamanan pribadi,
tetapi tidak boleh mengumbarnya sehingga menjadi serakah. Karena
kenyamanan pribadi itu cepat atau lambat akan mencapai titik kejenuhan.
Sedangkan kenyamanan sosial tidak pernah mengalami titik jenuh. Karena
sumbernya lebih banyak dan bersumber pada orang lain. (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar