Bayan,--– Adat dan budaya yang dimiliki suku Sasak di Pulau Lombok, merupakan salah satu harta yang tak ternilai harganya di bumi Nusantara ini. Salah satunya adalah kepembayunan pada upacara sorong serah dalam adat perkawinan.
Demikian dikatakan oleh ketua Pranata Adat Karang Bajo Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara, Rianom, S.Sos, ketika ditemui di kediamannya di Dusun Ancak Timur Desa Karang Bajo Kecamatan Bayan (22/6/2011).
Menurut Rianom, kata pembayun berasal dari dua suku kata yaitu pemban dan ayun, yang berarti pengajeng atau pemuka. Dalam upacara sorong serah terutama dalam pemulangan atau perkawinan, pembayun bertugas sebagai pemimpin rombongan dalam membawa harta yang merupakan gegawan atau bawaan dari pihak keluarga lelaki ke pihak keluarga perempuan. Rombongan ini berjumlah 20 sampai 30 orang.
Pembayun selain bertugas sebagai duta (utusan) yang diberikan mandate oleh keluarga laki-laki, juga bertugas menyampaikan amanat dalam menyelesaikan pelaksanaan adat, tata cara dan tertib dalam perkawinan.
Karenanya, seorang pembayun dalam menjalankan tugasnya harus mengetahui beberapa hal, antara lain, mengetahui tata cara adat istiadat, menguasai bahasa yang dipergunakan dalam acara sorong serah, menjaga ketertiban dalam rombongan dan bertanggungjawab atas keberhasilan tugas yang diemban.
Karena tugas pembayun adalah tugas profesi, lanjut Rianom, dalam upacara penyelesaian adat perkawinan, tentu tidak sembarang orang dapat ditugaskan sebagai wakil mutlak dari pihak keluarga laki, kecuali harus dilakukan oleh orang yang terdidik terutama pada persoalan adat pemulangan.
Rianom mengakui, sebagai seorang pembayun, bukan saja dituntut memelihara tata tertib, tapi juga harus menjadikan diri lebih, baik dari sisi penampilan, pakaian, tutur bahasa maupun kecakapannya dalam menyampaikan segala sesuatu dari pihak keluarga lelaki.
Dalam menjalankan tugas, sang pembayun terdiri dari beberapa orang, yaitu pembayun itu sendiri yang bertugas sebagai juru bicara dan panji sebagai pengiringnya yang sewaktu-waktu dapat dimintai pendapat oleh pembayun. Dan para pembayun sedapat mungkin menggunakan pakaian adat dan sebilah keris, karena dari segi pakaian, dapat mempengaruhi keluarga perempuan selaku pihak penerima.
Pakaian yang digunakan pembayun terdiri dari ikat kepala (sapuk), dodot atau leang, baju kemeja (pegon), kain sarung panjang dan dilengkapi dengan sebilah keris yang diselipkan di pinggang. “Pakaian ini, memang sebagian orang belum memahaminya, karena belum pernah mendapat pendidikan tentang cara memakai pakaian adat yang rapi. Soal warna pakaian rombongan boleh saja berwarna warni, yang penting rapi, sebab pakaian yang dikenakan oleh pembayun tentu berbeda dengan pakaian dinas atau seragam sekolah”, jelas Rianom.
Sebelum berangkat menuju rumah keluarga perempuan, rombongan ini terlebih dahulu melakukan urun rembug dengan pihak keluarga laki, kepala dusun atau kepala desa untuk dimintai nasehatnya, sebagai bekal untuk menjalankan tugas kepembayunan. Sebab pembayun merupakan ustusan untuk menyampaikan dan memutuskan kepada si keluarga perempuan. “Jadi kalau mereka (pembayun) itu sudah berangkat menjalankan tugas, maka semua tanggungjawab berada di pundaknya”, imbuh Rianom.
Pembayun bisa dilakukan pada beberapa tahapan, yaitu “mesejati” yakni mengabarkan kepada keluarga perempuan , bahwa anak gadisnya sudah diambil oleh anak dari orang tua penganten laki-laki. Dan ini dilakukan paling tidak sehari setelah si gadis memulang atau kawin. Dalam hal ini keluarga laki-laki bisa langsung menggunakan pembayun atau mengutus petugas di tingkat dusun.
Mesejati ini kemudian dilanjutkan dengan runtut sejati yang tujuannya untuk memepertegas mesejati yang telah dilakukan terdahulu, dan biasa tenggang waktunya tiga hari setelah mesejati. Biasanya setelah pihak perempuan mendapat mesejati dan runtut sejati, akan langsung mengumpulkan ahli waris atau kadang jari untuk mengadakan gundem membahas besar-kecilnya aji karma.
Dan setelah selesai, hasilnya itupun disampaikan kepada pembayun selaku duta yang kemudian diteruskan kepada keluarga pengantin laki-laki. Tenggang waktu yang diberikan pihak perempuan kepada pihak keluarga laki-laki paling lama 10 hari. Dan setelah itu barulah dilakukan selabar yakni mengabarkan tentang diterimanya apa yang dibebankan kepada pihak keluarga laki yaitu aji krama.
Dan yang terakhir adalah sorong serah aji krama pada saat hari yang telah ditentukan bersama antar kedua belah pihak pada saat melakukan peradang. Dalam penyarahan piranti adat ini, disaksikan oleh semua keluarga pengantin wanita. (M.Syairi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar