SESAIT, -- Secara historis, munculnya adat di Sesait memiliki empat komponen Petinggi Adat yang sudah diakui secara turun - temurun.
Menurut Djekat, salah seorang tokoh adat Sesait mengatakan bahwa, petinggi adat yang kalau di komunitas Sesait dikenal dengan ’Tau Lokaq Empat,’ yaitu, Pertama,Pemusungan Adat, adalah sebagai pimpinan pemerintahan desa, Kedua, Penghulu Adat, adalah tokoh agama sebagai pemegang, penegak dan pengatur masalah hukum serta norma-norma agama dan adat. Ketiga, Jintaka, yaitu sebagai pemberi dan pelaksana izin/hajat yang diminta masyarakat, dan yang Keempat yaitu Mangku Bumi, yaitu sebagai perumus dan penentu awiq-awiq dan sanksi-sanksi adat.
Selanjutnya Djekat menjelaskan bahwa empat komponen tadi merupakan jabatan dalam struktur kelembagaan Adat Wet Sesait bersifat baku. Artinya apapun yang terjadi, rezim manapun yang berkuasa di negara ini, serta bagaimanapun perubahan zaman, komunitas adat Sesait tetap menghormati dan menjunjung tinggi keberadaan dan eksistensinya.
Hal ini dapat dibuktikan, bahwa pada puncak pemerintahan orde baru dengan berbagai kebijakannya yang berdampak pada penggembosan pranata lokal dan institusi adat, tetapi di Sesait, lembaga adat dan keempat komponennya itu tetap utuh dan kokoh.
Menurut perbekel adat Sesait Masidep, mengatakan bahwa, sebagai Petinggi Adat dengan jabatan dan tugasnya masing-masing, keempat tokoh Tau Lokaq Empat ini memiliki kepribadian yang mencerminkan kemuliaan dan keikhlasan terhadap tugas-tugas yang di embannya serta perlambangan untuk keempat tokoh ini lebih bernuansa Islam.
Lebih lanjut Masidep menjelaskan perlambangan dari keempat tokoh Tau Lokaq Empat ini dengan bernuansa Islam yang kental.
Pertama, Pemusungan Adat, dilambangkan dengan warna ’merah’, artinya keberanian, yaitu berani mengambil sikap, keputusan dan kendali terhadap segala permasalahan yang dihadapi. Apapun yang terjadi harus berani bertanggungjawab, baik internal maupun eksternal. Sosok ini menggambarkan watak dan kepribadian sahabat Nabi Muhammad Saw yang bernama ’Sayyidina Ali’,ra.
Kedua, Penghulu Adat, dilambangkan dengan warna’putih’ artinya kesucian, yaitu harus menentukan hukum dan norma-norma yang bersih, baik terhadap agama maupun adat, sehingga tidak menimbulkan penyimpangan hukum atau norma yang mengarah pada ketidakadilan. Disamping itu tokoh ini pengemban amanat untuk selalu melanjutkan perjuangan Nabi Muhammad Saw secara utuh, sehingga sosok ini menggambarkan watak dan kepribadian sahabat Nabi yang kedua yakni ’Sayyidina Abubakar, ra’.
Ketiga, Jintaka (Mangku Alam), dilambangkan dengan warna ’kuning’ artinya pemberi/penyebar, yaitu menyebarluaskan wilayah hukum adat Sesait dan memberi izin berupa pelaksanaan syarat/hajat yang berkaitan dengan bencana atau musibah. Misalnya, sebut Masidep, wabah kekeringan, wabah penyakit dan macam-macam wabah penyakit lainnya. Tokoh ini pula memiliki keahlian dalam menciptakan kemakmuran,baik perekonomian maupun usaha-usaha lain. Sosok ini menggambarkan watak dan kepribadian sahabat Nabi Muhammad Saw yang ketiga yaitu ’Sayyidina Utsman, ra.’
Keempat, Mangku Gumi, dilambangkan dengan warna ’biru’ atau ’hijau’ artinya kesuburan yang mendatangkan kemakmuran, sehingga dapat memberi warna kehidupan yang sejahtera lahir bathin.
Berkaitan dengan kesuburan, masih menurut Masidep, bahwa pemelihara lingkungan alam pertanian dan menjaga kesuburan tanaman, sejak tanam bibit hingga panen. Kegiatan yang menyangkut tanah dan tanaman, Mangku Gumi ini dibantu oleh stafnya (penyuluh/PPL-nya) yang disebut ’Anakoda’ yang tersebar diseluruh gubug/kampung. Sedangkan untuk kegiatan pelestarian alam atau hutan (gawah) dan lingkungannya, Mangku Gumi dibantu oleh beberaoa stafnya yang disebut ’Mangku Gawah’. Karena dapat memberi atau menciptakan kesuburan, kemakmuran dan ketentraman bagi warga, maka Mangku Gumi ini digambarkan seperti watak sahabat Nabi Muhammad Saw yang keempat yaitu ’Sayyidina Umar, ra”.
Jabatan yang mempunyai tugas dan kewenangan masing-masing, namun pada saat-saat tertentu, empat tokoh yang kalau di wet Sesait disebut Tau Lokaq Empat ini, bekerjasama secara kolektif, terpadu dan terkoordinasi. Dimana Pemusungan Adat bertindak sebagai penggerak dan pengendali. Misalnya penangkal kekeringan dan wabah penyakit, upacara agama dan adat, kebutuhan dalam upacara perkawinan, serta penyelesaian berbagai kasus adat dan sosial kemasyarakatan. (Eko).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar