SESAIT, --- Untuk mewujudkan otonomi masyarakat desa pada era otonomi luas saat ini, di Sesait selama beberapa tahun terakhir ini (sejak tahun 2001), telah membangun pola pemerintahan kolektif dengan mengefektifkan dan memfungsikan peran Pemusungan, Penghulu dan Mangku (tiga basis ketokohan).
Membangun tiga basis ketokohan ini, menurut Perbekel Adat Sesait Masidep, menjelaskan bahwa secara struktural merupakan perubahan yang sangat fundamental dan strategis dalam menyelenggarakan pola pemerintahan di tingkat desa.
Pola Pemerintahan Kolektif dengan tiga kekuatan tokoh adat ini, disebut ”Wettu Telu” atau menurut Tau (orang) Sesait lazimnya disebut ”Waktu Telu”.
Istilah Wettu Telu sejak zaman dahulu, lanjut Masidep, bahwa hal itu sering digunakan pada sebuah pemerintahan kolektif karena memiliki akar budaya yang sangat kuat dengan nuansa agama yang sangat relevan yaitu ”adat luwir gama” (pelaksanaan adat bersendikan agama).
”Pola pemerintahan kolektif dengan kekuatan Wettu Telu ini, wet artinya wilayah, Tu/Tau artinya orang/tokoh dan Telu artinya tiga,”jelas Masidep.
”Dengan demikian, tiga wet atau wilayah masing-masing memiliki pemimpin tersendiri, yaitu Wet Pemerintah dipimpin oleh Pemusungan; Wet Agama dimpin oleh Penghulu dan Wet Adat Budaya dipimpin oleh Mangku Gumi,”tandasnya lagi.
Menurut tokoh adat Sesait yang juga anggota DPRD KLU Djekat Demung Waji, mengatakan bahwa kembalinya nilai pranata lokal melalui pola kepemimpinan kolektif (Wettu Telu), dalam upaya menghilangkan indikasi ’penguasa tunggal’ atau dominasi Kepala Desa dengan memfungsikan lembaga yang memang sudah ada sejak dahulu.
Misalnya, sebut saja seperti di Desa Sesait ini, bahwa sistem pengambilan keputusan; seorang Pemusungan selalu mengacu pada kekuatan agama dan adat, sehingga dalam pengambilan keputusan selalu melibatkan kepemimpinan kolektif yang terdiri atas Pemusungan, Penghulu dan Mangku Gumi (Perbekel Adat), yang merupakan figur publik, dimana masing-masing tokoh ini memiliki keahlian dibidangnya.
Selanjutnya papar Djekat, ”bila pada era orde baru terjadi dominasi kekuasaan oleh Kepala Desa dalam arti penguasa tunggal di desa, maka mau bilang apa, sebab UU No.5 Tahun 1979 membentuk karakter itu,”katanya.
Disamping itu, jelas Djekat DW, bahwa pola pemerintahan yang dahulu memiliki hirarkis yang sangat kuat, jadi ada sistem komando. Saat ini era reformasi sudah bergulir dan kran demokrasi sudah dibuka, maka sebaiknya para Kepala Desa harus meresponnya untuk membentuk pola pemerintahan lokal dengan melibatkan semua unsur di desa, sebagai satu kesatuan.
Menyimak pernyataan Djekat DW ini, maka sudah dapat dipastikan bahwa, hukum berupa UU No.5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, telah melakukan pendekatan sentralistik dan berbau monolitik (kekuasaan tunggal), hingga menghilangkan hak-hak masyarakat adat dan menyumbat Grass Root Democraty.
”Dengan adanya UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka memberikan ruang gerak bagi pranata lokal untuk dimunculkan kembali dalam Pemerintahan Desa,”jelas Djekat.
Pola Pemerintahan di Desa Sesait telah menyatukan semua elemen sebagai satu kesatuan hukum untuk mewujudkan hak politik, demokrasi dan partisipasi masyarakat, yaitu hak berpendapat, hak memilih dan dipilih, serta hak pengawasan. Disamping itu, pola hubungan pada sistem pemerintahan ini memiliki pola hubungan konsultatif, koordinatif, kontrol dan fasilitatif. (Eko).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar