Rabu, 29 Juni 2011

Camat Kayangan, Tinjau Pembangunan SPAM

Kayangan, --- Kehadiran PT Jasuka Bangun Pratama diwilayah Kecamatan Kayangan, disambut posif masyarakat Kayangan.
Pasalnya, PT Jasuka Bangun Pratama, sesuai dengan Surat Perintah Kerja (SPK) pada tanggal 23 Mei 2011 yang lalu, dipercaya oleh Dinas PU Provinsi Nusa Tenggara Barat, untuk mengerjakan pembangunan dua buah Sistem Pengelolaan Air Minum (SPAM) yang  diperuntukkan bagi tiga desa yang ada diwilayah Kecamatan Kayangan.

“Pembangunan dua buah SPAM tersebut sudah dimulai sejak turunnya SPK,”kata Ifan (36) salah seorang penanggungjawab dilokasi bangunan dari PT.Jasuka Bangun Pratama, kepada suarakomunitas.net.
Menjelang pengecoran tahap pertama pembangunan SPAM tersebut, Camat Kayangan Tresnahadi, menyempatkan diri untuk meninjau secara langsung proses pembangunan tersebut.

Salah seorang petugas dari PT Jasuka Bangun Pratama, dihadapan Camat Kayangan menjelaskan tentang proses pengerjaan pembangunan SPAM tersebut, dari sejak awal pengerjaannya hingga menjelang pengecoran tahap pertama. Termasuk juga system perputaran sirkulasi air nantinya, serta bagaimana mengurasnya ketika  bak penampungan tersebut sudah lama tidak dikuras.

Disamping itu,PT Jasuka juga menyerahkan sepenuhnya kepada Camat Kayangan, bagaimana mengelolanya nanti setelah selesai pengerjaannya.

“Kami hanya mengerjakan bangunannya saja, setelah selesai, kami serahkan kepada Pemerintah Kecamatan untuk mengatur pengelolaannya, ”kata Ifan.

Dalam kunjungannya tersebut, Camat Kayangan berharap agar pelaksanaan pembangunan SPAM yang berlokasi di Dusun Empak Mayong, tepatnya di tanah milik H.Abidin Mustakim tersebut, betul-betul dilaksanakan sesuai dengan besteknya.

“Kalau sudah selesai pembangunan ini dan sudah mulai dioperasikan, saya yakin permasalahan kelangkaan air bersih untuk masyarakat wilayah Kayangan selama ini, Insya Allah bisa teratasi,”kata Tresnahadi penuh keyakinan.

“Kami juga akan mengatur system pengelolaannya, apakah nanti diserahkan ke masing-masing desa untuk mengelolanya, ataukah bagaimana pengaturannya, itu tergantung hasil musyawarah di tingkat Kecamatan, karena di tingkat Kecamatan sudah ada BK-PAB,” sambungnya.

Sementara itu, salah seorang tenaga sukarelawan asal Sesait Rumati (50), yang sejak P2JPAB beroperasi di tiga wilayah desa (Sesait, Santong, Kayangan) yang ada di Kecamatan Kayangan, mengutarakan suka dukanya mengurus air bersih sejak 5 tahun silam. Sampai-sampai fisiknya terganggu dengan berbagai goresan benda-benda tajam maupun tumpul.

“Kalau diperhatikan, hasil kerja saya selama ini mengurus jaringan pipa, dari sumber mata air Batubara Santong, hingga wilayah Kayangan, itu tidak sebanding,”katanya menghiba.

“Tapi, semua itu saya kerja dengan ikhlas, tanpa memperhitungkan berapa yang harus saya terima, sebagai upah kerja yang saya lakukan selama ini,”kilahnya.

“Itu, semata-mata panggilan hati nurani saja, untuk bagaimana bisa bekerja dengan baik, sehingga hasilnya pun maksimal. Hanya rasa tanggung jawab saja,”tegasnya.(Eko).

Dusun Tradisional Dasan Beleq, Banyak Meninggalkan Nilai Sejarah

Kayangan, -- Gumantar adalah salah satu desa dari delapan desa yang ada diwilayah Kecamatan Kayangan Lombok Utara. 

Hingga sekarang, desa ini banyak meninggalkan beberapa situs sejarah yang penuh dengan nuansa adat istiadatnya, terutama yang berpusat di Dusun Dasan Beleq.

Secara sosiokultural, masyarakat adat Dasan Beleq berkaitan erat dengan ajaran Islam. Hal ini bisa dilihat dari situs budaya yang ada, terus hidup dan berkembang sejalan dengan ritme kehidupan masyarakat setempat.

Pusat aspek keagamaan terdapat di dusun Gumantar, dimana Mesjid Kuno yang ada sekarang adalah dibangun oleh para wali dan ulama’ penyebar agama Islam terdahulu, sedangkan pusat Pemerintahannya kala itu terdapat di Dusun Dasan Beleq ini.

Situs – situs sejarah peninggalan para wali penyebar agama Islam yang tedapat di Dusun Dasan Beleq Desa Gumantar Kecamatan Kayangan KLU ini, menurut tokoh adat Dusun Dasan Beleq, Malinom (48), mengatakan bahwa, ada beberapa peninggalan, diantaranya ‘Bale Bangar Gubuq’, yang oleh masyarakat setempat disebutnya Pagalan. Bale ini, terletak ditengah-tengah Gubuq Dasan Beleq, dengan ukuran 5x5 m. Bale (rumah) ini, menurut Malinom, keberadaannya diyakini dibuat oleh orang yang pertama kali datang dan menetap di Dusun Dasan Beleq.

“Kedatangannya dari mana, dan siapa nama nya, itu tidak bisa dipastikan,”kata Malinom dengan mimik yang penuh keseriusan.

Namun menurut Sahir (40), salah seorang tokoh muda yang disegani di dusun setempat, menceritakan kepada suarakomunitas.net, tentang keberadaan dari seorang wali penyebar agama Islam yang pertamakali datang dan menetap di kampung Dasan Beleq tersebut.

Diceritakan, konon katanya, pada sekitar abad 16 Masehi, ketika agama Islam sudah mulai tersebar ke seluruh pelosok tanah air, tak terkecuali para penyebar ajaran Islam sampai juga ke wilayah utara lereng gunung Rinjani. Termasuk di gumi Dasan Beleq ini.

Para penyebar agama Islam yang pertama kali datang ke tempat itu (Dasan Beleq), menurut Sahir, diawali dari Gunung Rinjani. Penyebar agama Islam ini, bernama Mak Beleq dan Kendi (menyerupai Kendi) turun dari Gunung Rinjani, yang dikemudian hari, dalam perjalanan sejarah, setelah berkuasa dan menyebarkan agama Islam di daerah Bayan, Mak Beleq dikenal dengan sebutan Datu Bayan.Sedangkan temannya yang bernama Kendi tadi, kala itu,tetap tinggal dan menyebarkan agama Islam di daerah Dasan Beleq dan sekitarnya.

Diceritakan, sebelum sampai ke Dasan Beleq, para penyebar ajaran Islam (Mak Beleq dan Kendi) ini berhenti dulu di Pawang Semboya, untuk melihat sekeliling utara lereng gunung Rinjani, kearah mana nantinya tujuannya yang pertama dalam menyebarkan ajaran Islam yang dibawanya. Setelah mantap keteguhan hatinya, maka dipilihlah suatu daerah sebagai tujuannya yang pertama dalam menyebarkan ajaran Islam. Daerah tersebut, sekarang dikenal dengan nama Dusun Dasan Beleq. Karena yang pertama kali datang ditempat itu bernama Mak Beleq, sebelum melanjutkan penyebarannya ke daerah Bayan.

Kemudian, situs peninggalan sejarah yang lain di Dusun Dasan Beleq ini adalah Bale Adat yang berada di Pawang Gedeng/Pawang Adat, sekitar 400 meter kearah selatan Gubuq Dasan Beleq sekarang.

Bale adat yang berada ditengah Pawang Gedeng/Pawang Adat ini, terbuat dari anyaman pohon bambu. Mulai dari atap hingga pagarnya semuanya terbuat dari bambu. Disamping Bale Adat ini, sekitar 5 meter disebelah barat laut dari Bale Adat tersebut, didirikan ‘Berugak Agung’ saka enam, sebagai tempat persinggahan para tetua adat sebelum melaksanakan upacara ritual adat di Bale Adat tersebut. Selain sebagai tempat persinggahan para tetua adat sebelum melaksanakan upacara ritualnya, maka Berugak Agung ini, digunakan pula sebagai tempat mempersiapkan sesaji dan segala bentuk hidangan makanan yang disajikan dalam wadah yang disebut dulang, yang diperuntukkan bagi seluruh masyarakat adat  yang hadir dalam upacara adat,  usai melakukan upacara ritual di Bale Adat tersebut.

Menurut Sahir, yang mendampingi wartawan suarakomunitas.net, ketika mengunjungi Bale Adat yang berada di tengah Pawang Gedeng beberapa waktu lalu, mengatakan, kalau belum sampai waktunya diadakan acara ritual di Bale Adat tersebut, siapa saja tidak boleh masuk atau sekedar melintas didalam arena atau halaman Bale Adat. “Itu pemalik,”katanya meyakinkan.

Wartawan suarakomunitas.net pun, ketika mengambil gambar Bale Adat dan Berugak Agung tersebut, hanya dari luar areal pembatas. Nuansa adat di sebuah dusun tradisional yang jauh dari bisingnya kehidupan masyarakat modern ini, masih kental dengan tradisi-tradisi wetu telu, berurat berakar dikalangan sebagian masyarakat Dayan Gunung, yang masih kuat memegang tradisi tersebut.

Komunitas masyarakat adat dusun Dasan Beleq, menurut Sahir, upacara ritual di Bale Adat yang berada di Pawang Gedeng itu, akan dilaksanakan secara besar – besaran empat  bulan sekali. Upacara tersebut, menurut Sahir adalah upacara Buku Beleq. Disebut demikian, karena upacara ini dilaksanakan empat bulan sekali secara besar-besaran. Namun Sahir juga mengaku, bahwa pelaksanaan upacara ritual adat di Pawang Gedeng tersebut, tiap bulan juga dilaksanakan,tetapi hanya sekedar upacara kecil-kecilan.

“Pelaksanaan upacara Buku Beleq di Bale Adat dalam Pawang Gedeng ini, akan dilaksanakan dua bulan lagi dari sekarang.Namun sebelumnya, masyarakat adat Dusun Dasan Beleq secara gotong royong memperbaiki dulu atap dan pagar dari Bale Adat ini, dimana ‘bambu lande’ yang digunakan diambilkan dari suatu tempat yang sudah ditentukan, yaitu dari daerah Tenggorong, ”kata Sahir.

‘Perbaikan ini, dilaksanakan selama 12 hari berturut-turut, hingga tiba waktunya pelaksanaan upacara adatnya, ”tambahnya.

“Mudah-mudahan saja agenda yang sudah ditetapkan oleh para tokoh adat di Dusun Dasan Beleq ini, bisa dilaksanakan sesuai rencana, ”sambungnya. (Eko)

Tujuh Pepadu KLU KO

Kayangan,-- Dari tujuh pepadu yang tergabung dalam grup A yang diturunkan oleh Pemerintah perwakilan KLU dalam acara pagelaran presean kejuaraan Polda NTB yang berlangsung di Mataram,Selasa, (21/06) lalu, KO.

Pepadu grup selak marong lombok tengah,satu diantaranya ( ST ) mengeluarkan cairan berwarna merah alias bocor, sedangkan yang lainnya luka memar di hampir seluruh tubuhnya.

Salah seorang pekembar yang berasal dari KLU Masidep,S.Pd. mengatakan " kekalahan  para pepau KLU ini secara fisik karena memang mereka kecapean di atas kendaraan dan belum sempat istirahat. Sejak turun dari kendaraan, mereka langsung bertanding, perjalanan yang cukup melelahkan itu, sangat berpengaruh terhadap kondisi fisik para pepadu ini,”ungkapnya.

Menurut pantauan wartawan komunitas ini, mereka (para pepadu..red) bertanding merasa tertekan dengan tuntutan harus menang, karena mereka mempertaruhkan tim, jika 4 orang diantara tim itu kalah, maka itu adalah kekalahan tim, dan tidak jarang diantara mereka memaksakan diri hingga titisan terakhir tenaga mereka.

Ketangguhan pepadu asal lombok tengah   grup selak marong ini, sulit untuk ditaklukkan. Pasalnya, gruup ini telah teruji dan sering melang-lang buana di berbagai pagelaran, bahkan ketika mereka datang ke Lombok Utara pun mereka masih unggul dibanding pepadu KLU. 

Kekalahan didalam sebuah even merupakan suatu hal yang biasa, namun menurut Masidep, bahwa Pemerintah kurang peduli terhadap nasib para pepadu ini, seharusnya mereka ini (para Pepadu..red) dibekali untuk sekedar bekal Banyak diantara mereka yang  kelaparan sehingga tenaga mereka  tidak sebanding dengan beban yang mereka tanggung.

“Coba bayangkan, para pepadu ini berangkat jam 10 dan belum sempat makan siang dan ketika sampai di Kantor Bupati KLU, langsung naik mobil  menuju eks Kantor Bupati Lobar untuk mengikuti pagelaran,”kilah Masidep dengan nada kesal.

 Datu Artadi mengatakan, "kami sudah berusaha untuk mencarikan dana di pemerintah, namun penyediaan dana untuk presean ini tidak ada, hanya saja kita diberikan Bus Pemda untuk antar jemput pepadu,”katanya.

Para pepadu merasa kecewa dengan perlakuan ini, “kami sudah diperlakukan seperti ini, jatuh ketimpa tangga pula,  “unggkap salah seorang pepadu yang enggan namanya disebutkan.

Namun walau demikian, menurut Masidep, bahwa dalam pagelaran Presean yang digelar Polda NTB tersebut, Kontingen KLU mendapatkan Juara II beregu,setelah dalam Final Regu KLU dikalahkan oleh Regu Lombok Tengah. sedangkan untuk kategori perorangan, pepadu dari KLU gugur di babak penyisihan.

“Mudah-mudahan, di tahun-tahun mendatang, kita harapkan pembinaan dari Pemerintah lebih di intensifkan, agar apa yang kita alami tahun ini, dijadikan bahan evaluasi bagi semua pihak, “harap Masidep.(Hasanul MTQ)

Sabtu, 25 Juni 2011

Sorong Serah,Tradisi Masyarakat Desa Beleq,Kayangan KLU

Inti pelaksanaan Sorong Serah adalah pengumuman resmi acara perkawinan seorang laki-laki dengan seorang perempuan.


             Acara Sorong Serah (ilustrator)
KLU, MataramNews.com - Dusun Desa Beleq, Desa Gumantar Kecamatan Kayangan  Kabupaten Lombok Utara, sekitar 10 km kearah tenggara dari Kecamatan Kayangan, atau 4 km dari Kantor Desa Gumantar. 
 
Terdapatlah komunitas Islam yang hidup dalam aturan dan norma mereka sendiri. mereka hidup begitu rukun dan tentram seakan akan tidak pernah terusik dengan perkembangan zaman yang kian hari semakin canggih dan modern.

Baru-baru ini, tepatnya Rabu (22/06), di Dusun Desa Beleq ini, diadakan sebuah ritual gawe Beleq Sorong Serah Aji Krama, yang menurut Majidep (48), salah seorang tokoh masyarakat dusun setempat disebutnya sebagai Gawe Miskin. 

Gawe Miskin yang dimaksud oleh Majidep, adalah karena acara ritual tersebut dapat terselenggara berkat kerja sama seluruh masyarakat yang punya hajatan. Masing-masing orang yang melaksanakan acara ritual ini. ngumpulkan bahan-bahan yang digunakan pada acara gawe tersebut. 

“Pada acara Gawe Beleq yang berlangsung selama 2 hari 2 malam ini, jumlah pasangan pengantin yang sorong serah aji krama berjumlah 14 pasang, yang sunatan 16 orang,”terang Narsudin, yang juga anggota DPRD KLU.

“Sedangkan hewan yang dikorbankan dalam acara ini, 18 ekor sapi, 56 ekor kambing dan 300-an ekor ayam, dan inilah sebetulnya yang saya sebut dengan gawe miskin. Karena kalau kita adakan acara gawe secara sendiri-sendiri, kita tidak mampu melaksanakannya,”kilahnya.

“Kalau secara bersama-sama, Insya Allah semuanya bisa jalan,”sambungnya.

Lebih-lebih acara di dusun ini diadakan secara adat yang begitu kental dengan acara ritualnya yang penuh sacral tidak pernah kendor.

Dikatakan Majidep, bahwa ritual gawe beleq sorong serah aji krama yang dilaksanakan secara adat di dusun Desa Beleq tahun ini, diantara 14 pasang penganten itu salah satunya adalah pasangan Narsudin, anggota DPRD KLU termuda.

Menurut Jumayar ( 34) salah seorang tokoh muda Dusun Desa Beleq, yang juga termasuk salah satu pasangan penganten yang mengadakan sorong serah secara adat di dusun setempat tahun ini, mengatakan bahwa acara sorong serah yang dilaksanakan secara adat di dusun ini sudah berlangsung selama 8 tahun. Pada tahun 2011 ini, sebut Jumayar, bahwa dana yang diperoleh untuk menunjang acara tersebut, dibawah satu juta rupiah.

“Dana yang terkumpul dari komunitas adat Dusun Desa Beleq, untuk mendukung acara Gawe Beleq tahun ini, hanya  800.000 rupiah dan walau dana sebesar itu, acara ini bisa juga jalan,”katanya penuh semangat. (Eko).

Jumat, 24 Juni 2011

Giliran Komisi I DPRD KLU akan Panggil PU, Setelah Komisi III

Tanjung,---Tidak adanya kejelasan tentang persoalan Tenaga penggerak Masyarakat (TPM) setelah pertemuan antara Komisi III dengan PU pada hari senin (13/6) kini komisi I angkat bicara dan segera akan memanggil PU.
Ketua Komisi I, Jasman Hadi saat dikonfirmasi suarakomunitas.net  Via SMS Kamis (23/6) menegaskan bahwa  dalam rangka penyelesaian polemic TPM Komisi I akan memanggil Kadis PU terkait landasan hukumnya pada hari Sabtu atau selambat-lambatnya hari senin tanggal 27 Juni 2011  .

Wakil Ketua Komisi I, Ardianto, SH. juga menjelaskan kepada MataramNews saat ditemui di Ruangan Komisi I DPRD KLU bahwa berlarut-larutnya persoalan pengangkatan TPM oleh dinas PU mengindikasikan lemahnya kinerja Dewan terutama dalam pengawasan. Seharusnya ada kejelasan saat Komisi III memanggil PU karena sudah dasar hukumnya sudah jelas, ungkapnya.

PP No. 48 tahun 2005 tentang Pengangkatan Pegawai Honorer menjadi Pegawai Negeri Sipil dalam pasal 8 dinyatakan bahwa “sejak ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, semua Pejabat Pembina Kepegawaian dan pejabat lain di lingkungan Instansi, dilarang mengangkat tenaga honorer atau yang sejenis, kecuali ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

 Demikian juga hasil evaluasi Gubernur NTB tentang Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pada poin III aspek kebijakan No. 5 menyebutkan bahwa sesuai dengan ketentuan peraturan Pemerintah No 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi CPNS ditegaskan bahwa sejak ditetapkannya PP 48 Tahun 2005, semua pejabat kepegawaian dan pejabat lain dilingkungan instansi, dilarang mengangkat tenaga honorer atau yang sejenis, kecuali ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Berdasarkan ketentuan tersebut Pemerintah Daerah dilarang mengangkat pegawai honorer, pegawai tidak tetap, pegawai harian lepas, pegawai kontrak, guru kontrak, tenaga sukarela dan istilah lain yang sejenis yang dibiayai dari APBN maupun APBD, jadi sudah jelas dalam hal ini, tegas Ardianto bahwa PU dalam hal pengangkatan TPM sangat mengada-ada dan pretensius (tidak ada landasan).

Sama halnya dengan Ardianto, Ketua DPD Golkar KLU Djekat, yang juga anggota Komisi I mengungkapkan bahwa selain ketidak jelasan Landasan Hukumnya, sumber anggarannya juga tidak jelas karena hasil Evaluasi Gubernur untuk aspek struktur APBD pada poin b (belanja) nomor tiga dan huruf c) disebutkan “Kegiatan penyediaan sarana dan prasarana air minum bagi masyarakat berpenghasilan rendah dalam kolom penjeasan digunakan untuk Tim Penggerak Masyarakat sejumlah Rp. 207 juta yang terdiri dari TPM Desa, TPM Kecamatan dan TPM Kabupaten pada SKPD Dinas Pekerjaan Umum, Pertambangan dan Energi.

Djekat, S.Sos. juga menjelaskan bahwa Gubernur meminta untuk dilakukan perbaikan terhadap poin tersebut. Sehingga melalui Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah KLU Nomor : 01/Kep.Pimp./DPRD-KLU/2011 hal-hal yang ada kaitannya dengan pengangkatan pegawai honorer, kontrak dan lainnya yang sejenis ditiadakan sampai ada Peraturan Pemerintah terbaru yang mengatur hal tersebut.(Hamdan Wadi).

Rekomendasi Mentah, Dewan Akan Bentuk Pansus Percaloan CPNS 2010

Tanjung,--- Perseteruan antara Dewan dan Eksekutif terkait rekrutmen CPNS Kab. Lombok Utara (KLU) 2010 kini memasuki babak baru setelah Bupati membagikan SK CPNS rabu (15/6) yang lalu.

Tidak diindahkannya rekomendasi Dewan terkait  pelanggaran rekrutmen CPNS berdasarkan temuan Panitia Khusus (Pansus) DPRD memicu reaksi dari sejumlah anggota Dewan dan masyarakat. Rekomendasi Dewan yang diharapkan memberikan titik terang permasalahan pelanggaran panitia penyelenggara dan oknum-oknum percaloan CPNS KLU 2010 mentah begitu saja.

Salah seorang perwakilan masyarakat dan pemuda yang sejak awal mendesak DPRD untuk mengusut tuntas kebusukan yang dilakukan oknum panitia dan pejabat KLU dalam proses rekrutmen CPNS, Mursaid Muriadi kepada MataramNews Kamis (23/6), mengungkapkan bahwa dengan dikeluarkannya SK oleh Bupati maka ini mengindikasikan terjadinya kemungkinan-kemungkinan yang sarat tendensi politiknya.

Pertama sebutnya, persoalan muatan Rekomendasi Dewan yang tidak tepat sasaran karena mengabaikan persoalan hukum. Hal ini dapat mengundang kecurigaan public dan mepertanyakan kinerja lembaga yang terhormat. Kedua tarik ulur kepentingan antara legislative dan eksekutif karena sudah jelas-jelas hasil temuan pansus menyatakan adanya pelanggaran. 

Ia juga mengharapkan kepada Lembaga DPRD KLU untuk segera membentuk pansus percaloan CPNS KLU 2010 jika Lembaga Dewan tidak mau kehilangan kepercayaan masyarakat seharusnya SK belum bisa diberikan mengingat  yang terjadi adalah kesalahan system maka harus dilakukan rekrutmen ulang, cetusnya.

Sementara itu salah seorang Anggota DPRD KLU, Ardianto, SH. saat ditemui media di ruangan Komisi I Jum’at (17/6) bahwa Sejak awal masyarakat mencium aroma tidak sedap terhadap proses rekrutmen CPNS, sehingga atas desakan masyarakat DPRD kemudian mebentuk Pansus CPNS. Sekitar tiga bulan pansus bekerja dan menemukan beberapa pelanggaran dan kejanggalan diantaranya class jauh dan jurusan yang tidak sesuai dengan formasi guru termasuk juga indikasi terjadinya praktek percaloan sejumlah 80 orang peserta yang lulus dan pelanggaran administrasi serta pemalsuan jabatan dan nama oleh oknum pejabat yang tidak berwenang mengambil Lembar Jawaban ke UI ungkap Ardianto (anggota DPRD KLU, red).

Ia juga menyesalkan sikap unsur pimpinan DPRD  yang tidak akomodatif terhadap aspirasi masyarakat, pasalnya hasil temuan pansus yang kemudian dikonversikan dalam bentuk rekomendasi memberikan peluang kepada panitia penyelenggara bebas dari pertanggung jawaban dan jeratan hokum. Untuk itu lanjutnya kami dari anggota akan mendorong dibentuknya Pansus tersendiri terhadap pelanggaran hokum rekrutmen CPNS dan praktek percaloan.

Demikian halnya dengan Wakil ketua I DPRD KLU, Syarifudin, SH. juga mengungkapkan hal yang sama terkait Rekomendasi yang sampai saat ini belum bersedia ditandatangani-nya karena beberapa poin justru bertentangan dengan hasil temuan Pansus juga semangat masyarakat yang ingin mengetahui kebenaran dalam proses rekrutmen CPNS KLU 2010. Menurutnya, rekrutmen CPNS KLU 2010 merupakan yang pertama kalinya di Daerah yang baru dimekarkan ini, maka sudah seharusnya dilaksanakan dengan betul-betul transparan, professional dan proforsional sehingga bisa menjadi contoh dikemudian hari, apalagi proses tersebut adalah proses seleksi bagi aparatur Negara, ungkapnya.

Ia juga mengharapkan kepada semua anggota DPRD KLU untuk tetap mengedepankan kepentingan masyarakat umum terkait persoalan CPNS dan segera membentuk Pansus praktek Percaloan dan kemudian membuat rekomendasi kepada lembaga-lembaga penegak hokum seperti kepolosian dan kejaksaan, tuturnya.(Hamdan Wadi).

Penyakit aneh, Diduga Disantet , Dokter Belum bisa memastikan

Tanjung.- Penyakit yang diderita Samaq (Bapak) Atedep (47) selama lima tahun terbilang sangat aneh. menurut Samaq Atedep kepada Suarakomunitas.net, kamis (23/6) saat dijumpai dirumahnya yang berlantai tanah, penyakit yang dideritanya selama ini awalnya terasa seperti gigitan semut saja. 

Tetapi karena gatal saya gososk dengan tangan yang pada akhirnya karena gosokan itulah terbentuk seperti bisul pada telapak kaki kiri bagian atas, ungkapnya. Semakin lama kaki kirinnya semakin membesar dan terbentuk daging padat yang melintang dari bawah sampai atas telapak kaki.

Dua tahun kemudian terbentuk lagi seperti daging tumbuh pada bagian yang lain. Inilah awalnya amak Tedep tidak bisa berjalan seperti biasanya. Rasa sakitpun terasa pada malam hari yang membuatnya susah untuk tidur. 

Telapak kaki kiri Samak Atedep yang kerap disapa mak Tedep inipun bengkak bernanah. Anehnya telapak kaki yang ditumbuhi seperti bisul pada semua bagian telapak kakinya mengeluarkan nanah yang kentel dan tidak menjalar pada bagian tubuh atau kaki yang laian. Hanya terbatas pada telapak kaki kirinya saja.

Kini lelaki setengah baya yang tinggal di Dusun Batu Jompang Desa Sesait Kec. Kayangan ini hanya bisa terkulai lemas di atas tempat tidur, tubuhnya yang kurus kering tinggal tulang belulang membuat siapa saja yang melihatnya akan merasa sedih dan kasihan. Tidak banayak yang bisa dilakukan pihak keluarga saat ini, mengingat berbagai jenis dan model pengobatan sudah dilakukan, mulai dari pengobatan tabib tradisional, pengobatan alternatip sampai pengobatan di Rumah sakit Bayangkara, namun tidak kunjung sembuh, bahkan penyakitnya pun semakin menjadi-jadi, apa ini yang disebut dengan santet ungkap Unip, adik perempuan Amak Tedep.

Ia juga mengungkapkan bahwa Kepala Puskesmas Kayangan yang diperintah langsung oleh Kadis Kesehatan meminta kepada keluarga untuk dirujuk ke Rumah Sakit umum Mataram karena dokter blum bisa memastikan jenis penykit yang diderita oleh kakaknya. Namun sampai saat ini tawaran itu blum dilakukan dengan biaya perawatan ditanggung sepenuhnya oleh Pemerintah ditambah biaya keluarga yang menunggu akan ditanggung selama tiga hari. (Hamdan Wadi).

Kamis, 23 Juni 2011

Misteri Munculnya Sayyid Anom di Gumi Sesait ( 20 )

SESAIT, -- Konon, sebagaimana diceritakan secara turun binurun oleh masyarakat adat wet sesait, tentang misteri kemunculan seseorang yang bernama Sayyid Anom, yang sebelumnya lebih dikenal dengan sebutan Mak Beleq, yang nantinya dalam perjalanan sejarah dimasa medatang adalah terkenal sebagai Datu Bayan.

Diceritakan oleh Masidep (46), bahwa di gontoran Gumi Sesait, dibulan Puasa/Ramadhan, tepatnya tanggal 17 Ramadhan, timbullah sebuah cahaya berasal dari bawah pohon beringin besar yang ada di selatan kampung Sesait sekarang.

Bermula dari bawah pohon beringin tersebut, muncul sebuah cahaya, terus menerus berguling kearah utara ditengah kampung Sesait. Cahaya tersebut, ketika sudah sampai disekitar mimbar Mesjid Kuno Sesait (waktu itu Mesjid ini sudah ada), lalu berhenti sejenak. Melihat adanya cahaya yang berguling dari arah selatan tersebut, masyarakat Sesait berhamburan keluar dari rumah masing-masing ingin melihat dari dekat, keberadaan cahaya itu.

Oleh karena cahaya tersebut dikerumuni oleh orang banyak, kemudian cahaya tadi terus berguling kearah utara masuk kawasan pawang adat (gawah bening) atau hutan belantara yang belum pernah dijamah tangan manusia. Gawah bening/pawang alasbana tempat cahaya tadi masuk, oleh masyarakat Sesait kala itu disebutnya sebagai Gawah Pedewak Sesait.

Masyarakat Sesait yang ingin mengetahui keberadaan cahaya itu, terus mengikuti. Cahaya tadi, ketika sudah sampai  di suatu lembah dalam hutan pedewak, lalu cahaya itu menghilang. Dengan menhilangnya cahaya itu, kemudian muncullah sesosok bayi laki-laki mungil.Sehingga masyarakat yang mengikuti cahaya tadi, semuanya sibuk mencari alat  untuk dijadikan wadah menampung air, untuk memandikan bayi tersebut. Alat yang digunakan memandikan bayi itu, disebut Bandan. Hingga sekarang tenpat itu, yang oleh masyarakat sesait dikenal dengan Koloh Bandan. 

Seiring dengan berjalannya waktu, bayi yang sejak kemunculannya di koloh Bandan, kemudian dipelihara oleh Datu Sesait yang dikenal dengan sebutan Demung. Maka bayi tersebut, sejak itu tinggallah bersama Datu Sesait dalam Kampu Sesait hingga Dewasa.

Sebagaimana lazimnya dalam ajaran Islam, bahwa seminggu kemudian dari sejak kelahiran bayi, diadakanlah aqiqah dan ngurisan. Maka bayi yang kemunculannya dari koloh bandan tersebut, oleh Datu Sesait di aqiqah dan dikuris (potong rambut). Hingga sekarang potongan rambut dari bayi tadi masih ada dan disimpan dalam suatu wadah yang disebut ‘Gandek’ di dalam Kampu Sesait.

Dalam perkembangan selanjutnya, bayi tersebut tumbuh menjadi seorang anak yang lincah dan cerdas. Tidak lazimnya seperti proses pertumbuhan bayi pada umumnya sangat lambat. Tetapi yang terjadi pada pertumbuhan bayi ini malah sebaliknya. Mungkin menurut akal sehat manusia normal, proses pertumbuhan bayi ini boleh dibilang sangat aneh bin ajaib.

Pasalnya, setiap jam, setiap hari, setiap minggu dan bahkan setiap bulan pertumbuhannya sangat cepat berubah menjadi besar. Sehingga oleh komunitas masyarakat Sesait kala itu, melihat pertumbuhan badan anak tadi selalu berubah setiap saat, itulah sebabnya disebut dengan “Mak Beleq”.

Dalam interaksi social sehari-hari, anak itu tumbuh besar dilingkungan keluarga kerajaan, dalam asuhan Datu Sesait ( Demung) dalam Kampu Sesait. Anak ini dalam kehidupan sehari-hari memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh anak kebanyakan sebayanya. Dia cerdas, pintar, pandai, sopan santun dalam bergaul, memiliki tabiat yang baik, dan patuh pada orang tua.

Melihat keberadaan Mak Beleq ini, maka suatu saat Datu Sesait (Demung) pernah menawarinya untuk menggantikan dirinya kelak menjadi Raja Sesait. Mak Beleq ketika mendengar tawaran tersebut, pada mulanya Dia  tidak siap. Tetapi dengan berbagai alasan yang bisa diterima oleh akalnya, akhirnya tawaran dari Datu Sesait tersebut diterimanya, dengan suatu syarat, yaitu sebelum dirinya (Mak Beleq) memangku jabatan sebagai Raja Sesait menggantikannya, Mak Beleq berpesan agar membuatkan Berugak sebanyak 4 buah, yang nantinya harus ditempatkan di empat penjuru kerajaan Sesait. Berugak ini harus sudah selesai sebelum dirinya memangku jabatan.

Raja Sesait pun menyanggupinya. Namun sebelum memangku jabatan dan sebelum keempat berugak itu dibuat, maka Mak Beleq minta ijin untuk pergi mengambil pakaian kebesaran kerjaan. Maka Mak Beleq pun menghilang.

“Inilah yang menjadi misteri, yang hingga saat ini belum terungkap. Dia minta ijin untuk mengambil pakaian kebesaran kerajaan, lalu menghilang,’kata Masidep, sekjen perbekel adat Sesait penuh keheranan.

“Dia pergi dan menghilang kemana serta muncul kembali, itu tidak ada yang mengetahuinya. Disinilah letak misterinya,”tambahnya.

Dalam kontara Sesait (sejarah) diterangkan, suatu ketika, sesuai dengan janjinya Mak Beleq kembali ke Sesait dengan membawa pakaian kebesarannya. Namun, apa yang terjadi ? Ketika beliau kembali, berugak empat buah yang  dijanjikan Datu Sesait dan harus sudah dibangun sebelum beliau memangku jabatan, serta berugak itu harus ditempatkan di empat penjuru mata angin diluar kerajaan Sesait, tetapi keempat berugak itu, belum bisa diwujudkan oleh Datu/Raja/Demung Sesait kala itu.

Diceritakan, sebenarnya Mak Beleq sudah siap menjadi Datu/Raja Sesait kala itu. Namun karena Datu Sesait waktu itu tidak menepati janjinya, maka Mak Beleq urung menjadi Datu Sesait. Itulah sebabnya Mak Beleq dengan didampingi oleh Titik Kulem pergi kearah Semboya untuk mencari daerah baru, sebagai tempat mendirikan kerajaan baru.

Diceritakan, bahwa Mak Beleq dalam rangka mencari lokasi medirikan kerajaan baru, maka berangkatlah menuju Semboya dengan didampingi oleh Titik Kulem. Mak Beleq dalam perjalanan menuju semboya tersebut, sempat beristirahat di Santong. Tempat istirahatnya ini, dari sejak itu hingga sekarang dibuatkan berugak “Pagalan”. Dimana berugak ini, sekarang keadaannya sangat memprihatinkan atau tidak terurus. “Ini membutuhkan keseriusan dalam menangani peninggalan sejarah masa lalu,”kata Bukren Klau suatu saat.

Dalam perjalanan menuju Semboya ini, Mak Beleq membawa sebuah alat untuk dijadikan sikap berupa sebilah keris dengan alasnya berupa perisai yang terbuat dari kayu Satuba. Alat penyikap ini, oleh Mak Beleq diberikan nama “Kulem” .Karena yang ikut mendampingi Mak Beleq dalam perjalanannya ke Semboya untuk mencari daerah baru, yang nantinya sebagai tempat mendirikan sebuah kerajaan baru adalah bernama “Titik Kulem”. Itulah sebabnya alat tersebut dinamakan “Kulem.” Hingga sekarang alat tersebut masih tersimpan oleh keturunannya yang ke 58 (Masidep) di Dusun Sumur Pande Desa Sesait Kecamatan Kayangan KLU.

Setibanya Mak Beleq di Semboya, maka dilihatlah daerah sekitar utara gunung Rinjani.Dari ujung barat hingga ujung timur kawasan tersebut, terus diperhatikan. Dalam hatinya, Mak Beleq berkeyakinan bahwa daerah yang cocok dan tepat untuk dijadikan sebuah daerah kerajaan baru adalah Bayan. Dimana Bayan kala itu, sedang diperintah atau masuk daerah kekuasaan Datu Emban Sereak.
(bersambung….Eko)


Peran Pembayun dalam adat perkawinan suku sasak (22)

Bayan,--– Adat dan budaya yang dimiliki suku Sasak di Pulau Lombok, merupakan salah satu harta yang tak ternilai harganya di bumi Nusantara ini. Salah satunya adalah kepembayunan pada upacara sorong serah dalam adat perkawinan.

Demikian dikatakan oleh ketua Pranata Adat Karang Bajo Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara, Rianom, S.Sos, ketika ditemui di kediamannya di Dusun Ancak Timur Desa Karang Bajo Kecamatan Bayan (22/6/2011).

Menurut Rianom, kata pembayun berasal dari dua suku kata yaitu pemban dan ayun, yang berarti pengajeng atau pemuka. Dalam upacara sorong serah terutama dalam pemulangan atau perkawinan, pembayun bertugas sebagai pemimpin rombongan dalam membawa harta yang merupakan gegawan atau bawaan dari pihak keluarga lelaki ke pihak keluarga perempuan. Rombongan ini berjumlah 20 sampai 30 orang.

Pembayun selain bertugas sebagai duta (utusan) yang diberikan mandate oleh keluarga laki-laki, juga bertugas menyampaikan amanat dalam menyelesaikan pelaksanaan adat, tata cara dan tertib dalam perkawinan.
Karenanya, seorang pembayun dalam menjalankan tugasnya harus mengetahui beberapa hal, antara lain,  mengetahui tata cara adat istiadat, menguasai bahasa yang dipergunakan dalam acara sorong serah, menjaga ketertiban dalam rombongan dan bertanggungjawab atas keberhasilan tugas yang diemban.

Karena tugas pembayun adalah tugas profesi, lanjut Rianom, dalam upacara penyelesaian adat perkawinan, tentu tidak sembarang orang dapat ditugaskan sebagai wakil mutlak dari pihak keluarga laki, kecuali harus dilakukan oleh orang yang terdidik terutama pada persoalan adat pemulangan.

Rianom mengakui, sebagai seorang pembayun, bukan saja dituntut memelihara tata tertib, tapi juga harus menjadikan diri lebih, baik dari sisi penampilan, pakaian, tutur bahasa maupun kecakapannya dalam menyampaikan segala sesuatu dari pihak keluarga lelaki.

Dalam menjalankan tugas, sang pembayun terdiri dari beberapa orang, yaitu pembayun itu sendiri yang bertugas sebagai juru bicara dan panji sebagai pengiringnya yang sewaktu-waktu dapat dimintai pendapat oleh pembayun. Dan para pembayun sedapat mungkin menggunakan pakaian adat dan sebilah keris, karena dari segi pakaian, dapat mempengaruhi keluarga perempuan selaku pihak penerima.

Pakaian yang digunakan pembayun terdiri dari ikat kepala (sapuk), dodot atau leang, baju kemeja (pegon), kain sarung panjang dan dilengkapi dengan sebilah keris yang diselipkan di pinggang. “Pakaian ini, memang sebagian orang belum memahaminya, karena belum pernah mendapat pendidikan tentang cara memakai pakaian adat yang rapi. Soal warna pakaian rombongan boleh saja berwarna warni, yang penting rapi, sebab pakaian yang dikenakan oleh pembayun tentu berbeda dengan pakaian dinas atau seragam sekolah”, jelas Rianom.

Sebelum berangkat menuju rumah keluarga perempuan, rombongan ini terlebih dahulu melakukan urun rembug dengan pihak keluarga laki, kepala dusun atau kepala desa untuk dimintai nasehatnya, sebagai bekal untuk menjalankan tugas kepembayunan. Sebab pembayun merupakan ustusan untuk menyampaikan dan memutuskan kepada si keluarga perempuan. “Jadi kalau mereka (pembayun) itu sudah berangkat menjalankan tugas, maka semua tanggungjawab berada di pundaknya”, imbuh Rianom.

Pembayun bisa dilakukan pada beberapa tahapan, yaitu “mesejati” yakni mengabarkan kepada keluarga perempuan , bahwa anak gadisnya sudah diambil oleh anak dari orang tua penganten laki-laki. Dan ini dilakukan paling tidak sehari setelah si gadis memulang atau kawin. Dalam hal ini keluarga laki-laki bisa langsung menggunakan pembayun atau mengutus petugas di tingkat dusun.

Mesejati ini kemudian dilanjutkan dengan runtut sejati yang tujuannya untuk memepertegas mesejati yang telah dilakukan terdahulu, dan biasa tenggang waktunya tiga hari setelah mesejati. Biasanya setelah pihak perempuan mendapat mesejati dan runtut sejati, akan langsung mengumpulkan ahli waris atau kadang jari untuk mengadakan gundem membahas besar-kecilnya aji karma.

Dan setelah selesai, hasilnya itupun disampaikan kepada pembayun selaku duta yang kemudian diteruskan kepada keluarga pengantin laki-laki. Tenggang waktu yang diberikan pihak perempuan kepada pihak keluarga laki-laki paling lama 10 hari. Dan setelah itu barulah dilakukan selabar yakni mengabarkan tentang diterimanya apa yang dibebankan kepada pihak keluarga laki yaitu aji krama.

Dan yang terakhir adalah sorong serah aji krama pada saat hari yang telah ditentukan bersama antar kedua belah pihak pada saat melakukan peradang. Dalam penyarahan piranti adat ini, disaksikan oleh semua keluarga pengantin wanita. (M.Syairi)















Selayang Pandang Desa Beleq dan Tenggorong (21)

Gumantar, --- Seiring dengan perkembangan zaman dan peradaban umat manusia, dinamika roda kehidupan komunitas masyarakat suatu daerah terus berkembang dan berputar.

Tak terkecuali komunitas Adat Gumantar. Ini karena komunitas masyarakat adat Gumantar merupakan salah satu komponen masyarakat dunia, yang selalu berdinamisasi secara dialektik,dialogis dan sinambung sepanjang masa.

Gumantar adalah salah satu dari delapan desa yang ada diwilayah Kecamatan Kayangan Kabupaten Lombok Utara. Hingga kini masyarakat  Gumantar sangat kental dengan nuansa adat istiadatnya, terutama di Dusun Gumantar dan Dusun Desa Beleq.

Secara sosiokultural, komunitas masyarakat adat Gumantar, berkaitan erat dengan ajaran agama Islam. Hal ini, bisa dilihat dari situs budaya yang ada, terus hidup dan berkembang sejalan dengan ritme kehidupan masyarakat setempat.

Pusat aspek keagamaan di Dusun Gumantar, dimana pusat Mesjid Kuno dibangun oleh para wali dan ulama penyebar agama Islam terdahulu. Sedangkan pusat Pemerintahan kala itu berada di Dusun Desa Beleq. Ini terbukti dengan situs peninggalan Bale Bangar (Pagalan), yang diyakini oleh komunitas masyarakat adat Dusun Desa Beleq, bahwa Bale Bangar Pagalan inilah yang pertama kali ada, sebelum yang lainnya ada.

Kedua wilayah ini (Gumantar dan Desa Beleq..red), merupakan pusat peradaban masyarakat Gumantar. Begitu pula dengan masyarakat dusun lainnya yang ada diwilayah Desa Gumantar, juga memegang peranan yang sama dengan masyarakat Dusun Gumantar dan Dusun Desa Beleq.

Secara historis, pada awalnya genealogi Dusun Tenggorong dan Dusun Desa Beleq, merupakan sebuah dusun yang dipimpin oleh almarhum Amaq Atnawi. Kemudian, baru pada tahun 1980-an dimekarkan menjadi dua dusun, yaitu Dusun Tenggorong dan Dusun Desa Beleq.

Meski Desa Beleq dan Tenggorong telah dimekarkan menjadi dusun definitive penuh, namun sentrum ritual keagamaannya tetap berada di Dusun Gumantar, seperti sholat Jum’at dan ritual-ritual keagamaan lainnya.

Karena jarak antara Dusun Gumantar, Dusun Tenggorong dan Dusun Desa Beleq cukup jauh ( 2 km ) jika ditempuh dengan jalan kaki.Maka wajar kalau masyarakat kedua dusun tersebut dalam melaksanakan ibadah, seperti sholat Jum’at, diharuskan berjalan kaki berjam-jam baru sampai tujuan.

Kondisi tersebut memunculkan ide masyarakat untuk melakukan konsesi (pengambilan keputusan), yang kemudian menghasilkan kesepakatan bersama untuk membangun sarana peribadatan baru di Tenggorong, yang dimulai pembangunannya sejak tahun 2002 hingga tahun 2005.

Disamping itu, komunitas masyarakat adat Gumantar memandang budaya sebagai proses perubahan ragawi, seperti masyarakat yang mengalami perubahan dari waktu ke waktu secara eksoteris, namun bukan pada tataran isoteris atau tata nilai adat istiadat, sehingga masyarakat adat Gumantar sangat terbuka terhadap perkembangan budaya modern yang dapat memberikan manfaat dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai kearifan local yang ada.

“Perubahan tersebut, nampak dari sumber daya manusianya, yang walaupun fasilitas pendidikan yang ada, tergolong minim, yaitu sebuah PAUD dan sebuah SD Filial,”kata politisi DPRD KLU  termuda, yang juga berasal dari Dusun Desa Beleq ini.

Dari 180 KK atau 700 jiwa penduduk Dusun Tenggorong dan Dusun Desa Beleq, jumlah penduduk usia sekolah, terdiri dari 62 siswa PAUD, 153 siswa SD, 50 orang siswa SLTP/MTs, 42 orang siswa SLTA/MA dan 12 orang yang sedang mengenyam pendidikan di Perguruan Tinggi dan ada pula yang sudah selesai.

Sedangkan kedua dusun ini (Tenggorong dan Desa Beleq), jika ditilik dari sisi ekonomi, tingkat kehidupan komunitas masyarakat adat Gumantar tergolong mapan, namun walaupun mereka dominan menggantungkan kehidupannya pada aspek perkebunan.

Selain itu, menurut Narsudin (anggota DPRD KLU) mengatakan, kemapanan ekonomi masyarakat setempat juga ditopang oleh kawasan Hutan Kelola Masyarakat (HKM) yang luas, di sebelah selatan Dusun Dasan Beleq dengan luasnya 350 ha dan 50 ha lahan telah menjadi milik pribadi masyarakat setempat.

Komoditas unggulan perkebunan masyarakat setempat terdiri atas kakao,kopi,vanili,kelapa,pisang dan hasil hutan lainnya, seperti madu,rotan dan kayu. Namun demikian, minimnya fasilitas sarana dan prasarana pedesaan seperti jalan beraspal dan ketiadaan pasar desa, merupakan kendala utama dalam upaya meningkatkan geliat perekonomian masyarakat adat setempat.

Mengingat tingginya potensi, baik ekonomi maupun potensi social budaya, maka sebuah keniscayaan adanya sarana-prasarana yang memadai. Oleh sebab itu,minimnya akses wilayah setempat, karena letak Desa Gumantar khususnya Dusun Tenggorong dan Dusun Desa Beleq berada di pedalaman, yaitu sekitar 30 km dari Ibukota Kabupaten, 10 km dari ibukota Kecamatan dan sekitar 4 km dari Kantor Desa Gumantar, menjadi hambatan serius percepatan pembangunan masyarakat setempat.

“Melihat kondisi ini, maka kami masyarakat Desa Gumantar pada umumnya dan masyarakat Dusun Tenggorong serta masyarakat Dusun Desa Beleq khususnya, mengharapkan kepedulian Pemerintah Daerah, dalam hal ini Pemerintah Daerah KLU, untuk segera membangun berbagai fasilitas yang dimaksud, guna menunjang akselerasi peningkatan perekonomian masyarakat, seperti jalan beraspal, Pasar Desa dan Fasilitas pendukung lainnya,”harap Narsudin, yang juga anggota DPRD KLU Putra asli Dusun Desa Beleq.(Narsudin,SPd).




Upaya Penyelamatan Bibit, Camat Kayangan Datangkan Tangki Penyiram

Kayangan,-- Upaya menyelamatkan lahan tetap hijau disekitar lapangan umum Kecamatan Kayangan, maka Camat Kayangan bekerja sama dengan H.Abidin Mustakim, datangkan tangki penyiram dari Dinas PU Kabupaten Lombok Utara,Sabtu (18/06) lalu.

Menurut Camat Kayangan Tresnahadi, upaya yang dilakukannya ini adalah untuk mengantisipasi musim kemarau yang sudah mulai tidak bersahabat belakangan ini. Terutama banyaknya tanaman pohon pelindung yang sudah ditanam awal tahun ini disekitar lapangan umum Kecamatan Kayangan.

Untuk mengantisipasi terjadinya tanaman banyak yang mati, maka pihaknya telah berupaya berkoordinasi dengan dinas terkait, dalam hal ini Dinas PU Kabupaten Lombok Utara, untuk meminjam mobil tangki penyiram.
Menurut Bambang Hardiyanto (35), salah seorang petugas dari Dinas PU KLU yang ditugaskan, mengatakan kepada suarakomunitas,net, dibutuhkan 4 hingga 5 tangky untuk menyiram sekitar 1.500 pohon dari 93 jenis yang ada di lapangan umum Kecamatan Kayangan seluas 15 ha ini.

“Jumlah itu baru sebatas di lapangan umum Kecamatan saja, belum ditempat yang lain,”kata Bambang.

Sementara itu, proses penyiraman pohon-pohon pelindung yang ditanam tersebar disekitar lapangan tersebut, ditinjau langsung Sekcam Kayangan R.Kertamono didampingi H.Abidin Mustakim. Sedangkan sebagai oprator penyiramannya langsung dipandu petugas dari Dinas PU KLU dan dibantu oleh Rasmah, petugas yang ditunjuk oleh Camat Kayangan, untuk memelihara dan menjaga tanaman tersebut dari gangguan hewan maupun tangan usil yang tidak bertanggung jawab.

Pada kesempatan itu Sekcam Kayangan berharap agar kegiatan penyiraman seperti ini, hendaknya dilakukan sesering mungkin, agar tanaman yang ada disekitar lapangan tersebut tidak layu dan mati. Lebih-lebih saat ini musim kemarau sedang berlangsung. “Untuk kegiatan semacam itu butuh perhatian dari kita semua,”kata Sekcam yang berpenampilan sederhana asal Bayan ini.

H.Abidin Mustakim, disela-sela kesibukannya memantau kegiatan penyiraman tersebut, beliau aktif menjelaskan kepada suarakomunitas.net manfaat serta kegunaan dari beberapa jenis pohon yang ada dilapangan umum Kecamatan Kayangan tersebut.

Diantaranya, menurut H.Abidin Mustakim adalah pohon waru sebagai bahan baku pembuatan karung goni, pohon imba untu pelindung.Diakuinya bahwa pohon imba ini pada tahun 1958 sejumlah 500 pohon pernah dikirim ke Timur Tengah (Arab Saudi), pada jaman Presiden Pertama RI Soekarno.Kemudian pohon Kesambik digunakan untuk bahan baku pembuatan Pelitur, dan lain-lain.

Hingga saat ini, H.Abidin Mustakim juga mengakui bahwa, jumlah tanaman penghijauan yang sudah ada di lapangan umum kecamatan Kayangan yang ditanam sejak tahun 2010 hingga awal Januari 2011 lalu berjumlah 1.500 pohon. Diharapkan pada musim penghujan berikutnya akan diadakan penanaman kembali disekitar lapangan tersebut.

“Mudah-mudahan program ini bisa berjalan sesuai dengan rencana,”kata H.Abidin sambil beristirahat dibawah pohon mente.(Eko)

Sekelumit Ritual Adat Wetu Telu di Bayan

Bayan, suarakomunitas - Dalam kehidupan masyarakat adat  Wetu telu, khsusunya di Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara,  sebenarnya terdapat banyak sekali ritual, namun ritual yang secara langsung berhubungan dengan sistem kosmologi Wetu Telu hanya ada beberapa saja, yang dapat digolongkan sebagai berikut: pertama, ritual peralihan individu, meliputi gawe urip dan gawe pati; kedua, ritual untuk menjaga keseimbangan antara jagad besar dan jagad kecil yang terimplementasikan dalam upacara siklus tanam padi; dan ketiga, ritual penghormatan terhadap roh leluhur yang meliputi ritual selametan subak dan ritual pembangar.


Ritual Gawe Urip

Dalam ritual “Gawe Urip” terdiri dari rangkaian ritual yang satu dengan lainnya saling berhubungan, di antaranya ritual buang au (upacara kelahiran), ritual ngurisang (potong rambut), ritual ngitanang (khitanan), dan ritual merosok (meratakan gigi).

 Ritual buang au. Ritual ini dilaksanakan dengan tujuan untuk membersihkan setiap bayi yang baru lahir ke dunia, karena setiap bayi yang lahir dipercaya membawa dosa orang tuanya di masa lalu. Ritual ini terdiri dari dua tahap, yaitu bedak keramas dan doa kiai. Bedak keramas adalah ramuan yang terdiri dari santan kelapa, darah ayam dan sembek yang ditaruh di dalam tempurung kelapa. Cara menggunakan ramuan tersebut adalah dengan cara dioleskan di kening bayi dan orangtuanya.

Pengolesan ramuan tersebut merupakan simbol pembersihan bagi sang bayi agar kehadirannya dapat diterima oleh alam semesta. Setelah bedak keramas selesai kemudian dilanjutkan dengan makan bersama dengan kiai dan tokoh-tokoh adat. Setelah acara makan selesai, acara diakhiri dengan doa kiai. Dalam doanya sang kiai memohon kepada Sang Pencipta agar jabang bayi yang baru saja lahir diberikan berkah yang melimpah. Selain itu, kiai juga menghadirkan arwah para leluhur untuk menyaksikan kelahiran si jabang bayi dan memberikan berkah kepadanya.

Ritual ngurisang. Ngurisang adalah upacara pemotongan rambut kepala setelah seorang anak mencapai usia antara 1 sampai 7 tahun. Ngurisang selanjutnya diikuti dengan molang malik atau upacara pemotongan umbak kombong (secarik kain yang ditenun dari benang bayan, benang yang diwarnai secara organik). Ngurisang dan molang malik adalah simbolisasi pengislaman seorang anak, karena sebelumnya anak masih dalam kondisi boda atau belum Islam. Dalam kepercayaan orang Bayan, arwah para leluhur juga hadir dalam upcara ini untuk memberikan berkah kepada anak yang baru di-Islamkan.

Ritual ngitanang. Dalam ajaran Wetu Telu, anak wajib dikhitan setelah berusia antara 3 sampai 10 tahun. Sama seperti ngurisang, ngitanang juga merupakan simbol pengislaman seorang anak. Seorang anak tetap boda sampai ia dikhitan.

Ritual merosok. Merosok adalah upacara yang menandai peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Upacara yang dipimpin oleh seorang kiai adat ini berupa proses penghalusan gigi bagian depan anak laki-laki dan gadis remaja. Makna simbolis di balik upacara ini belum diketahui secara pasti. Namun yang jelas, upacara ini adalah bagian dari upacara pembersihan sang anak agar kehadirannya di dunia selalu dalam keadaan bersih.

Ritual Gawe Pati

Untuk memberi pengormatan kepada orang yang sudah meninggal, penganut Wetu Telu memiliki rangkaian ritual yang lengkap dan rumit. Penghormatan dimulai semenjak hari penguburan (nusur tanah), dilanjutkan pada hari ketiga (nelung), hari ketujuh (mituk), hari kesembilan (nyiwak), hari keempat puluh (matang puluh), hari keseratus (nyatus), dan diakhiri pada hari keseribu (nyiu). Tujuan dilaksanankannya ritual paska kematian ini adalah untuk mengantarkan roh orang yang sudah meninggal menuju kehidupan yang lebih tinggi, yaitu alam halus. Tepat pada peringatan hari yang keseribu (nyiu), roh orang yang sudah meninggal dipercaya telah sepenuhnya diterima di dunia para leluhur atau terangkat menuju lingkaran leluhur (keluhuran).

Setelah roh orang yang meninggal tersebut telah bersemayam di dunia para leluhur, roh tersebut dapat dibangkitkan kembali untuk memberikan berkah kepada mereka yang masih hidup di dunia. Mengenai hal ini, Maurice Bloch (1988) dengan cermat memberikan gambaran tentang bagaimana para penganut Wetu Telu mempersepsi kematian dan kehidupan setelahnya. Menurut Bloch, kematian seseorang tidak dipandang sebagai akhir dari aktivitas duniawinya, melainkan perpanjangan dari kehidupan duniawi itu sendiri. Kehidupan paskadunia itu disebut sebagai kehidupan alam roh, dimana untuk menuju kesana harus melalui ritus-ritus transformasi yang akan menjamin proses pergantian kehidupan tersebut.



Ritual Menjaga Keseimbangan Kosmos

Salah satu pilar utama konsep kosmologi Wetu Telu adalah keseimbangan antara jagad besar dengan jagad kecil– antara alam semesta dengan kehidupan sehari-hari. Merujuk pada pendapat Budiwanti (2000), upaya untuk menjaga keseimbangan tersebut dapat dilihat pada ritual siklus tanam padi dan ritual selametan kuta.

 Ritual Tanam Padi.
Dalam bercocok tanam, masyarakat Wetu Telu sangat tergantung dengan alam, sehingga tata cara yang dijalankannya pun berpatokan pada tanda-tanda alam. Mereka menganggap bahwa mematuhi dan mengikuti tanda-tanda yang ada di alam merupakan cara untuk menjaga keseimbangan kosmos. Sebab, di balik tanda-tanda alam tersebut terdapat hukum alam yang pada hakikatnya menghendaki keseimbangan. Jika hukum alam tersebut dilanggar oleh manusia, maka keseimbangan tersebut akan terganggu. Dalam bercocok tanam, tanda-tanda alam yang dapat dijadikan pedoman adalah ketika terjadi pergantian musim.

Momen-momen pergantian musim ini memberi pedoman kapan waktu yang tepat untuk menyemaikan benih padi, bagaimana cara merawatnya, dan kapan waktu yang tepat untuk memanennya.Masyarakat Wetu Telu di Bayan mengenal tiga macam ritual sehubungan dengan masa pertumbuhan padi, yaitu 1) ngaji makam turun bibit yang diselenggarakan pada musim tanam,

Ngaji makam tunas setamba. Ini dilakukan bertujuan untuk menyuburkan tanah. Dalam ritual ngaji makam tunas setamba dipanjatkan doa-doa tertentu kepada Tuhan dan roh para leluhur agar tanaman padi terhindar dari gangguan hama. Dengan meminta berkah kepada Tuhan dan roh para leluhur, berarti orang Wetu Telu telah menghargai dan melibatkan kekuatan-kekuatan kosmos lainnya.

 Ngaji makam ngaturang ulak kaya yang diselenggarakan saat panen. Secara simbolis, ritual-ritual ini merupakan penanda tentang kepekaan masyarakat Wetu Ttelu dalam membaca fenomena alam. Dengan dilakukannya ritual-ritual tersebut orang Wetu Telu berharap hasil panennya akan melimpah ruah.

Sedangkan dalam ritual ngaji makam ngaturang ulak kaya dipanjatkan doa-doa ungkapan rasa syukur karena musim panen telah tiba, apapun hasil panen yang didapat. Dalam ritual ini penganut Wetu Telu juga berharap agar hasil panen di musim selanjutnya lebih berlimpah.

Dalam upacara ini juga disertai dengan acara membersihkan (mengosap) makam para leluhur agar roh para leluhur menjadi senang. Dalam kepercayaan orang Wetu Telu, jika leluhur dihormati secara tepat, roh mereka akan meminta kepada Tuhan agar anak turun mereka yang ada di dunia selalu diberikan berkah dan kesejahteraan yang melimpah. Dalam konteks ini, roh para leluhur ibarat sebuah “antenna”, yang dapat menyampaikan harapan-harapan orang yang masih hidup kepada Sang Pencipta.


Ritual Selametan Kuta

Selametan kuta dilaksanakan sebagai sarana untuk mencegah dan menangkal segala musibah, penyakit, dan kemalangan yang dapat melanda sebuah desa. Upacara ini didasarkan atas keyakinan para penganut Wetu Telu yang menganggap bahwa setiap desa memiliki penghuninya sendiri-sendiri yang berasal dari arwah para leluhur dan makhluk halus lainnya. Jika manusia tidak mampu menjaga kelestarian tanah yang ditempatinya, maka arwah leluhur dan mahluk-mahluk halus tersebut akan murka. Dampak dari kemurkaan tersebut dapat berupa wabah penyakit, bencana alam, dan kemalangan-kemalangan lainnya yang menimpa seluruh warga desa. Untuk itu, perlu diselenggarakan selametan kuta yang berfungsi sebagai penangkal segala musibah dan kemalangan tersebut, termasuk yang dapat menyerang tumbuh-tumbuhan dan ternak.

Ritual selametan kuta dilaksanakan setiap tahun sekali dan bertempat di pintu masuk perbatasan sebuah desa. Ritual yang dipimpin oleh seorang pemangku adat ini diawali dengan membaca doa-doa tolak bala dan meminta berkah yang dipanjatkan kepada arwah para leluhur untuk kemudian disampaikan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Setelah itu, ritual dilanjutkan dengan acara bersih-bersih desa dan ditutup dengan menyantap hidangan ketupat secara bersama-sama.

Makanan ini secara simbolis mengekspresikan harapan penganut Wetu Telu agar Tuhan menghindarkan mereka dari segala malapetaka dan menganugrahkan banyak berkah setelah selametan kuta dilaksanakan. Jika dilihat sepintas, upacara ini mirip kerja bakti membersihkan desa dalam masyarakat lain di daerah mana pun, hanya saja diselenggarakan dengan tata cara yang lebih terstruktur. Satu hal yang juga penting disebutkan di bagian ini adalah tentang tata cara menjaga dan mengelola tanah warisan leluhur. Setiap tanah yang diwarisi dari leluhur “haram” hukumnya untuk dijual. Jika hukum ini dilanggar, maka orang yang menjualnya akan terkena murka leluhurnya sehingga kehidupannya akan menuai banyak petaka.

Tanah bagi penganut Wetu Telu menjadi sesuatu yang sangat bermakna. Sebab pada tanah-tanah itulah tertanam simbol-simbol keyakinan adat mereka. Pada tanah itu juga ikatan komunitas terbangun. Tanah-tanah inilah yang menopang sistem kelembagaan adat mereka. Dengan demikian, sebagai komunitas mereka tidak hanya memiliki sistem kepercayaan tertentu, namun juga memiliki imajinasi ruang tertentu pula.

Keterikatan pada tanah memberikan rasa aman dan ikatan hubungan dengan para leluhur (Prasetia, 2005a). Namun jika ditelusuri lebih lanjut, larangan menjual tanah warisan leluhur juga mencerminkan semangat kearifan ekologis. Tanah dalam konteks Wetu Telu adalah sebagai sarana penopang kehidupan (terlebih lagi tanah tempat bercocok tanam), bukan untuk kepentingan yang lainnya. Sebab, ketika tanah tempat bercocok tanam digunakan untuk kepentingan lain, maka keseimbangan kehidupan akan terganggu. Hal ini sebenarnya logis adanya, karena ketika lahan pertanian semakin berkurang, maka jumlah makanan yang diproduksi juga akan berkurang.



Ritual Penghormatan Roh Leluhur

Dalam penganut atau komunitas atau bisa juga disebut sebagai masyarakat Wetu Telu, berkembang keyakinan bahwa setiap tempat di dunia ini terdapat roh-roh leluhur yang menunggunya. Roh-roh tersebut bertempat tinggal secara berkelompok layaknya manusia. Mereka juga memiliki keluarga, kerabat, dan tetangga. Kepercayaan kepada roh penunggu bertempat tinggal di banyak tempat membuat komunitas Wetu Telu harus melaksanakan ritual-ritual tertentu untuk meminta ijin kepada roh penunggu jika tempat tersebut akan difungsikan sebagai sawah, tempat pemukiman, membangun irigasi, dan lain-lain. Misalnya, jika masyarakat Wetu Telu akan memanfaatkan aliran sungai untuk keperluan irigasi, maka mereka wajib hukumnya melaksankan sebuah upacara yang disebut selametan subak. Ritual ini berupa pemberian sesaji kepada roh penunggu sungai agar bersedia memberi ijin bagi
manusia untuk memanfaatkan air sungai tersebut. Jika ritual ini tidak dilakukan, maka roh penunggu sungai akan murka dan manusia yang memanfaatkan air sungai tersebut akan ditimpa malapetaka, yang
biasanya berupa gagal panen jika air sungai digunakan untuk irigasi sawah (Budiwanti, 2000).

Ritual lainnya yang masih terkait dengan upaya menjaga keharmonisan hubungan antara manusia dengan roh-roh penunggu adalah ritual pembangar. Ritual ini dilaksanakan sebelum seseorang menggunakan sebidang tanah untuk keperluan bercocok tanam, memelihara ternak, atau membangun rumah (Prasetia, 2005a). Ritual ini dilakukan untuk mendapat persetujuan dari roh penunggu tersebut agar bersedia pindah tempat karena pekerjaan berat seperti menebang pohon, menggali tanah, membakar semak, dapat menggaggu ketenangan roh-roh tersebut.

 Menurut kepercayaan penganut Wetu Telu, jika ritual ini tidak dilaksanakan, roh-roh penunggu tersebut akan marah dan cepat atau lambat akan mengancam kesejahteraan manusia yang menghuni tempat tersebut. Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa kepercayaan Wetu Telu di Bayan memraktekkan banyak ritual adat yang berfungsi sebagai pengendali tingkah laku manusia, tidak hanya berlaku bagi sesama manusia (hubungan dalam jagad kecil), tetapi juga dengan jagad besar. Tujuan dari diselenggarakannya ritual-ritual tersebut adalah untuk menjaga hubungan yang harmonis antara berbagai unsur yang menopang eksistensi alam semesta.
 
Ritual maulid Adat

Maulid Adat. Setiap tanggal 14 dan 15 bulan Rabi’ul Awal tiba, masyarakat adat Wetu Telu melaksanakan maulid adat Wetu Telu”.

Maulid adat ini disemarakkan dengan permainan Perisaian (temetian: bahasa Bayan) yang berlangsung dibeberapa tempat masjid kuno, seperti di halaman masjid kuno Dusun Barung Birak Desa Sambik Elen, masjid kuno Desa bayan, Masjid kuno Dusun Semokan Desa Sukadana dan di Desa Anyar. Permainan tradisional Suku Sasak ini dilakukan oleh dua petarung yang menggunakan rotan sebagai pemukul lawan serta perisai (ende) yang terbuat dari kulit kerbau. Sementara “pekembar” berpungsi sebagai wasit sekaligus supporter bagi petarung. Acara perisaian berlangsung semalam suntuk dalam suasana temaram sinar bulan purnama yang sekaligus membuatnya menarik, karena permainan khas Lombok ini bisasanya dilaksanakan siang atau sore hari.

Acara maulid adat ini diakhiri dengan mengarak para praja mulud dari kampu Bayan Barat menuju masjid kuno Bayan Beleq. (Ari)
 

Selasa, 21 Juni 2011

Peninggalan Datu Bayan ”Kulem” Masih Terpelihara (18)

Sesait, -- Kulem adalah nama sebuah alat yang dipergunakan oleh Mak Beleq (sebutan Datu Bayan sebelum menjadi Datu Bayan) sebagai sikap (senjata) dalam perjalanan jauh ke Semboya, untuk memantau kawasan utara gunung Rinjani yang nantinya akan dijadikan sebagai lokasi mendirikan sebuah kerajaan.

Kulem, yang sudah berusia puluhan abad ini, secara turun binurun masih tersimpan rapi oleh keturunannya yang ke-58  di dusun Sumur Pande Tengak Desa Sesait Kecamatan Kayangan KLU. Kulem tersebut adalah sejenis Perisai terbuat dari kayu dan sebilah keris.

Sebenarnya, Kulem ini adalah nama orang yang mendampingi Mak Beleq dalam perjalanannya menuju daerah Semboya, untuk melihat  seluruh daerah kawasan utara gunung Rinjani, daerah yang mana kira-kira yang cocok untuk mendirikan sebuah kerajaan baru. Dari kerajaan baru inilah nantinya akan dijadikan pusat penyebaran Islam keseluruh pelosok dikawasan utara gunung Rinjani.

Mak Beleq, dengan didampingi oleh pengiringnya yang bernama Kulem pada masa itu, sebelum sampai ke tempat tujuan, Mak Belek singgah dulu disebuah gubug di daerah Santong (sekarang Santong Asli) untuk beristirahat sejenak menghilangkan kepenatan akibat perjalanan jauh. Gubug yang digunakan oleh Mak Beleq sebagai tempat istirahat tersebut, hingga sekarang gubug  ini masih terpelihara dengan baik oleh keturunannya, yang memang berdasarkan purusanya.

Untuk sampai ketempat yang dituju oleh Mak Beleq bersama pendampingnya Kulem kala itu, mengharuskan dirinya singgah dulu untuk beristirahat dirumah yang sampai saat ini masih terpelihara di Santong Asli. Setelah itu baru dilanjutkan perjalanannya menuju Semboya. Tiba disana, dicarilah tempat yang cocok dijadikan pijakan, untuk melihat daerah sejauh mata memandang yang ada di lereng utara gunung Rinjani. Batu pijakan yang digunakan oleh Mak Beleq kala itu, yang oleh masyarakat adat wet Sesait dikenal dengan nama”Batu Penginjakan Semboya,” juga sampai saat ini masih terpelihara dengan baik dan dijaga oleh purusanya.

Pada setiap tahun, untuk memperingati hijriyahnya Mak Beleq dalam menapak tilas mencari daerah baru sebagai lokasi sebuah kerajaan yang akan didirikannya, maka Kulem ini selalu dibawa ke Semboya oleh keturunannya dalam sebuah acara ritual.

Mak Beleq didalam menjalankan misinya mencari daerah baru tersebut, berdasarkan naluri darah birunya sebagai calon Datu/Raja, maka dipilihlah daerah Bayan untuk dijadikannya sebagai daerah kerajaannya nanti.
Dimana pada saat yang bersamaan, pada masa itu di Bayan sudah ada Raja yang memerintah, yang bernama Emban Sereak. Rupanya, Mak Beleq inilah yang diceritakan dalam perjalanan sejarah nantinya yang akan menjadi Raja Bayan menggantikan Raja Emban Sereak.

Dalam perjalanan sejarah berikutnya, diceritakan bahwa Kulem ini juga dikenal sebagai salah satu tokoh penyebar Agama Islam di daerah Sesait. Salah satu tokoh keturunan  Kulem ( penyebar Islam ) di gumi Sesait adalah H.Yamani, atau yang lebih dikenal dengan sebutan H.Imok/ Amaq Imok.

Alat ini (Kulem) tersebut, hingga kini masih tersimpan dengan baik oleh keturunannya yang ke- 58, Masidep, yang juga Sekjen Perbekel Adat Wet Sesait, yang berpenampilan low profil ini.(Eko).

 

Harlah ke-18 Ponpes Nurul Islam Kayangan, Undang Dua Menteri

Kayangan, – Dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Pondok Pesantren Nurul Islam ke-18 yang jatuh pada tanggal 14 Juli 2011 mendatang, rencananya akan mengundang Menteri Kelautan dan Menteri Agama Republik Indonesia.Dalam Harlah Ponpes Nika ke-18 kali ini akan dimeriahkan dengan menggelar berbagai macam kegiatan lomba.
Menurut Ketua Panitia pelaksana Nurdin,S.Pd mengatakan bahwa, kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Pondok Pesantren Nurul Islam pada tahun 2011 ini adalah dalam bentuk lomba catur, tennis meja,futsal, lomba lari 10 K untuk tingkat SMA/MA dan SMP/MTs se Kabupaten Lombok Utara. Sedangkan untuk lomba Tilawatil Qur’an, lomba pidato menggunakan tiga bahasa (Inggris,Arab dan Indonesia) di ikuti oleh seluruh sekolah SMA/MA dan MTs yang ada diwilayah Kecamatan Kayangan.

Selain itu, Nurdin juga berharap dalam perayaan Harlah Ponpes Nika tahun ini, masing-masing pihak yang terlibat dalam kepanitiaan harus bekerja sama dalam menyukseskan gawe besar ini.

Sementara itu, Ketua Komite Sekolah Nurta,S.PdI, juga berharap keterlibatan semua anggota panitia sangat dibutuhkan demi lancar dan suksesnya sebuah acara yang digelar bersekala Nasional ini. Lebih-lebih yang akan di undang dalam acara Harlah Nurul Islam ke-18 tahun 2011 ini adalah dua orang Menteri. Jadi, mau tidak mau harus semua terlibat dalam mempersiapkan segala sesuatunya.

Pimpinan Pondok Pesantren Nurul Islam Kayangan Ust.Muh.Turmuzi,SH.M.Pd, dalam pengantarnya pada acara yang digelar dan dihadiri oleh seluruh anggota Panitia Harlah, Kepala MA dan MTs, Ketua Komite Sekolah,Pembina Ponpes Nika H.Abidin Mustakim, dan undangan lainnya,Minggu, (19/06) lalu, mengatakan bahwa acara Harlah Nurul Islam pada tahun 2011 ini adalah acara yang boleh dibilang bersekala Nasional, karena mengundang Menteri.

Pimpinan Ponpes Nurul Islam Kayangan Ust.Muh.Turmuzi,SH.M.Pd yang juga anggota DPRD KLU ini menyatakan bahwa, pada saat puncak berlangsungnya acara Harlah itu nanti, maka ada beberapa unggulan yang akan ditampilkannya.

Diantara unggulan yang akan ditampilkan nantinya adalah ada dua lembaga sebagai mitra kerja dari Pondok Pesantren Nurul Islam Kayangan. Yaitu Kelompok Nelayan dan Kelompok Pengembang Usaha Mina Pedesaan (KPUMP). Disamping itu, Pondok Pesantren Nurul Islam Kayangan, juga sudah memiliki Panti Asuhan Nurul Mustakim, dengan luas areal 15 ha. Tanah yang merupakan tempat didirikannya Panti Asuhan Nurul Mustakim ini nanti adalah tanah milik H.Abidin Mustakim (65) yang telah diwakafkan ke ponpes Nurul Islam Kayangan sebagai pengelolanya.

Selain itu, Ust.Turmuzi juga menyinggung bahwa di daerah Kayangan ini banyak sekali situs-situs peninggalan sejarah masa lalu, yang menjadi kebanggaan masyarakat Kayangan dan sekitarnya, terutama warga masyarakat Empak Mayong. Karena menurutnya, sebagian besar situs-situs sejarah terasebut berada diwilayah teritorial Dusun Empak Mayong.

“Ini sangat menguntungkan daerah kita ini, untuk dijadikan Icon tujuan wisata dimasa mendatang, yang tentunya dibutuhkan keseriusan Pemerintah Daerah dalam mengelolanya,”katanya. (Eko)

Pembangunan SPAM Kayangan, Ditargetkan 180 Hari Selesai

Kayangan,-- Untuk melayani kebutuhan air bersih bagi  warga masyarakat di tiga desa diwilayah Kecamatan Kayangan, patut disyukuri.

Pasalnya, pada saat ini ada dua kontraktor yang akan menangani masalah hajat akan kebutuhan air bersih bagi warga masyarakat Kecamatan Kayangan, khususnya di tiga desa yang memang diperuntukkan untuk itu. Ketiga desa yang dimaksud adalah desa Kayangan, desa Sesait dan desa Santong,

Untuk kepentingan tersebut, saat ini sedang di bangun dua buah SPAM (Sistem Pengelolaan Air Minum) di dua tempat. Satu buah bangunan SPAM dibangun di Dusun Waker Desa Santong,dengan kapasitas 100 kubik, dengan ukuran 10x10 meter, yang nantinya diperuntukkan bagi warga masyarakat di dua desa yaitu desa Santong dan desa Sesait. Sedangkan satu buah bangunan SPAM dibangun di dusun Empak Mayong, tepatnya ditanah milik H.Abidin Mustakim, dengan kapasitas 300 kubik, dengan ukuran sama seperti bangunan pertama 10x10 m. Kedua bangunan ini pengerjaannya ditangani oleh PT.Jasuka Bangun Pratama. Sedangkan yang mengerjakan system perpipaannya dari PT lain dari Bali.

“Kami hanya mengerjakan bangunannya saja, kalau pipanya ada PT lain dari Bali yang mengerjakannya,”jelas Ifan (36) salah seorang penanggungjawab dilokasi bangunan dari PT.Jasuka Bangun Pratama, kepada suarakomunitas.net.

“Surat Perintah Kerja (SPK) untuk memulai pengerjaannya tanggal 23 Mei 2011 hingga September 2011 mendatang. Jadi kami dibatasi hanya 180 hari harus selesai,”tambahnya.

Sementara itu, menurut H.Abidin Mustakim yang selama ini mendata dan dari hasil surveinya untuk seluruh sumber mata air yang ada diwilayah ini, mengatakan bahwa lokasi pengambilan air bersih untuk masyarakat di tiga desa diwilayah Kecamatan Kayangan ini adalah mata air Batubara inilah yang bisa dimanfaatkan. Dengan demikian, lanjutnya, tidak mengganggu irigasi yang selama ini dimanfaatkan oleh warga. Tetapi kalau jadi mata air Sumur Bual digunakan untuk ini, maka akan mengganggu kepentingan petani yang satu-satunya sumber irigasi bagi sawah mereka.

Seperti diketahui bahwa, sumber mata air yang akan dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat di tiga desa tersebut, adalah berasal dari sumber mata air Batubara, sekitar 5 km kearah tenggara dari Pawang Semboya.

 Wilayah Kecamatan Kayangan memiliki beberapa sumber mata air dan sumur tradisional yang masih bertahan hingga saat ini. Sebagian diantaranya ada yang memiliki debit air besar walaupun di musim kemarau. Namun tidak bisa dipungkiri, ada juga yang mengalami kekurangan debit air dan bahkan ada yang mongering dimusim kemarau. Hal tersebut diakui H.Abidin Mustakim, karena keadaan tersebut berdasarkan hasil surveinya pada tahun 2006 silam.

Salah satu mata air yang debit airnya besar adalah mata air Batubara ini, walau pada musim kemarau jangka waktu yang lama. Itulah sebabnya, sumber mata air Batubara inilah sebagai salah satu pilihan utama untuk dimanfaatkan bagi kebutuhan air bersih untuk desa Santong, desa Sesait dan desa Kayangan.

“Mudah-mudahan program ini bisa berjalan sesuai rencana,”kata Surta warga Empak Mayong yang peduli terhadap kebutuhan warga sekitar. (Eko)

Situs Telapak Kaki Datu Keling Kayangan, Banyak Menyimpan Nilai Sejarah (19)

Kayangan-- Obyek wisata situs telapak kaki Datu Keling yang terletak di tebing sungai Cempogok Kayangan KLU, menyimpan sejarah nilai seni dan budaya dari kerajaan Keling Hindu beberapa abad yang silam.

Situs ini terletak beberapa meter sebelah timur jalan raya Kayangan-Santong, yang bersebelahan dengan montong Cempogok, tidak jauh dari pusat Pemerintahan Kantor Camat Kayangan KLU.

Sebelumnya situs ini memang secara turun menurun sudah banyak warga masyarakat Kayangan yang menemukannya. Namun pada saat penemuannya itu, biasa-biasa saja belum ada yang berfikiran untuk mempublikasikannya. Hal ini disamping keterbatasan pengetahuan masyarakat setempat kala itu, juga disebabkan tidak tahu bagaimana caranya supaya banyak orang yang mengetahuinya.Lebih-lebih kala itu belum ada media cetak maupun dunia maya seperti jaman sekarang.

Sebagaimana diceritakan secara turun-temurun bahwa keberadaan situs telapak kaki yang menempel ditebing bebatuan diatas sungai Cempogok tersebut, adalah oleh masyarakat adat setempat diyakini, itu bekas telapak kaki Datu Keling yang membekas ketika Datu Keling berburu.
Sehingga bukti keberadaan situs ini, dibenarkan dengan pernyataan Datu Keling yang pernah berwasiat kepada kaula balanya (rakyatnya), bahwa  jika suatu saat dia akan menghilang, maka dia akan meninggalkan bekas telapak kakinya. Sangat besar kemungkinan, jika bekas telapak kaki ini adalah jejak Datu Keling seperti yang diwasiatkan.
 

Disamping keberadaan situs telapak kaki yang menempel ditebing bebatuan sungai cempogok Kayangan tersebut, bukti yang lain memperkuat dugaan bahwa, memang benar bekas telapak kaki Datu Keling yang diyakini pernah berkuasa disekitar lereng gunung Rinjani pada masa pra aksara, juga tidak jauh  dari situs telapak kali ini,sekitar dua ratus meter kea rah selatan, ditemukan pula situs Jukung (sampan/rakit), Telapak Kaki Kuda dan situs dudukan serta situs aliran air seni dari Datu Keling yang menempel disekitar bebatuan kelat lante Empak Mayong Kayangan.

Tidak hanya itu saja, sebagai pendukung keberadaan situs telapak kaki ini, sekitar 500 meter kearah barat daya situs tersebut, ditemukan pula situs Sumur Jembung dan situs Batu Dendeng Bertutup. Situs-situs yang ditemukan ini pula, yang oleh masyarakat adat wet Sesait diyakini sebagai peninggalan dari Datu Keling yang pernah ada dan jaya dimasanya.

Lokasi Situs-situs ini adalah dulunya hutan Busur yang lebat, banyak dihuni ular-ular berbisa dan berbahaya. Karenanya, waktu itu raja berinisiatif untuk meminta bantuan kepada kaula balanya (rakyatnya), terutama para sesepuh kerajaan (pawang ular berbisa), untuk bagaimana bisa bersahabat dengan  hutan yang menjadi lokasi daerah buruannya, guna mengusir binatang berbisa itu.

Para Pawang sesepuh kerajaan Keling tersebut, ternyata menggunakan sejumlah burung merak untuk mengusir ular-ular dari hutan, tempat Datu Keling berburu dan beristirahat, sambil menunggu hasil buruannya.
Jika mengunjungi situs-situs ini, baik situs telapak kaki Datu Keling maupun situs-situs Datu Keling yang lainnya, anda akan disuguhkan dengan pemandangan yang jauh dari kesan hingar bingar kota. Suasana sejuk, hijau, dan alami akan menemani anda di tempat tersebut.

Oleh pemerintah daerah, khususnya Dinas Pariwisata KLU, hendaknya situs-situs peninggalan budaya masa lampau yang banyak tersebar dan yang belum ditemukan  di daerah ini, dikemas sebagai icon daerah tujuan wisata dimasa mendatang. (Eko)

Senin, 20 Juni 2011

Paguyuban Gendang Beleq Sekar Tunjung, Batu Jompang

SESAIT,--- Mengingat betapa pentingnya reaktualisasi nilai-nilai kearifan local sebagai strategi pencegahan terjadinya degradasi moral, maka Pemuda Merenten yang terikat secara culture/budaya dan adat istiadat sepakat untuk membentuk wadah atau organisasi sebagai alat atau sarana bersillaturrahmi dengan mengedepankan nilai-nilai kearifan local (Lokal Genuine) dengan nama organisasi Gendang Beleq Paguyuban Sekar Tunjung, Batu Jompang.

Tujuan pendirian organisasi paguyuban ini menurut Ketuanya Hamdan Wadi (30) adalah dalam rangka menghidupkan kembali nilai-nilai kearifan local yang dipandang sebagai potensi dalam pembangunan KLU khususnya dan Indonesia umumnya.

Merujuk pada dinamika kehidupan modern saat ini, lanjut Hamdan, yang cenderung didominasi oleh perilaku kekerasan sebagai wujud terjadinya transformasi budaya dari budaya ketimuran ke budaya kebarat-baratan, tidak terkecuali melalui budaya seni music modern.  kita dapat saksikan bersama tampilan dari seni music modern lebih banyak menunjukkan sebuah aura kebebasan.

Kebebasan dalam artian ketidak terikatan terhadap nilai-nilai moral, nilai-nilai budaya dan nilai-nilai agama. Pertunjukan atau pentas music modern lebih berorientasi kepada mengekspresikan eksistensi diri dan kelompoknya dalam suatu komunitas dengan harapan akan mendapatkan reword atau penghargaan dan nilai jual di pasar.

Trend music modern saat ini semakin meluas sampai ke pelosok-pelosok Desa yang notabenenya adalah sebuah masyarakat dengan tingkat solidaritas social/kekeluargaan yang tinggi, dimana setiap sesuatu yang dihasilkan untuk bersama dan sebagai milik bersama termasuk seni music.

Ekspansi seni music modern telah melumpuhkan sendi-sendi social masyarakat dan bangsa Indonesia  pada umumnya, sehingga muncullah budaya kekerasan anak remaja, yang merupakan  wujud dari kekesalan.(Eko)

Kamis, 16 Juni 2011

Kelembagaan Adat Wet Sesait menjadi Pilot Projeck Bank Dunia (14)

Kayangan, - Dijadikannya System Kelembagaan Adat Wet Sesait, Kabupaten Lombok Utara (KLU), sebagai Pilot Project (Proyek Percobaan) oleh Bank Dunia. Dalam system tata kelembagaan adat, berdasarkan hasil pantauan dan penelitian awal terhadap keberadaan dan fungsi sosialnya yang masih utuh, serta masih diakui oleh Komunitas Masyarakat Wet Adat Sesait.
 
Hal ini diakui oleh juru tulis (Sekretaris Jendral, red) Pembekel Adat, Masidep SPd, kerap disapa Amaq Masi, mengungkapkan kepada suarakomunitas.net, saat ditemui di Bale Pesanggrahan, Kamis (1/6) siang, bahwa keinginan Bank Dunia untuk menjadikan Kelembagaan Adat Wet Sesait sebagai Pilot Project telah disampaikan beberapa kali kepada kami.

“Bahkan kami telah di undang dalam kegiatan-kegiatan seminar maupun work shop di salah satu hotel bintang lima di Mataram, “katanya.
Ia juga menjelaskan, tentang beberapa hal yang menjadi fokus kajian Bank Dunia, terkait pranata adat dan pranata sosial budaya, diantaranya system sosial Komunitas Masyarakat Adat Wet Sesait, Sistem Kelembagaan Adat dan Awik-awik (aturan hukum adat) baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis.

Untuk diketahui, “sambung Amaq Masi, ada beberapa Norma Adat yang dijadikan pedoman hidup Komunitas Masyarakat Adat Wet Sesait yaitu pertama, Adat Luir Gama (Norma Agama) sebagai Sumber Pedoman utama. Kedua, Adat Tata Krama yang di dalamnya juga mengatur tentang Aji Krama atau Adat Pemulangan (Pernikahan). Ketiga, Adat Tapsila atau Norma Sopan Santun dan Kesusilaan.

“Ketiga norma Adat tesebut menganut hubungan hirarkis yang merupakan satu kesatuan utuh, tidak bisa terpisahkan satu dengan lainnya dalam penanganan ataupun penyelesaian persoalan yang ada, “ungkapnya.

Lanjutnya,  ketiga norma adat tersebut, masing-masing terdiri dari beberapa bagian dengan Dosa Angkatan dan lambang tersendiri, baik itu yang berkaitan dengan kasus pidana maupun perdata. “Untuk dimaklumi, butuh waktu satu bulan untuk mengupas sebagian dari system sosial dan kelembagaan adat komunitas masyarakat Wet Sesait,” ungkap Amaq Masi.

Sementara, Ketua Pembekel Adat, Amaq Suniarni Degoh, membenarkan yang dikatakan Juru Tulisnya, bahwa Bank Dunia sedang menjajaki komunitas-komunitas adat untuk dijadikan proyek percontohan.

Terkait dengan Komunitas Adat Sesait sebagai pilot projek untuk saat ini belum ada kesepakatan yang jelas dengan pihak Bank Dunia. “Menurut Bank Dunia, dalam hal adat istiadat Sesait memang paling layak untuk dijadikan sebagai pilot project mengingat Komunitas Masyarakat Adat Sesait masih mengakui dan mempertahankan tradisi leluhur, setiap pelaksanan Ritual Adat yang dipusatkan di Kampu Sesait dan Masjid Lokaq (masjid kuno), masyarakat dari berbagai penjuru berbondong-bondong mengikuti pelaksanaan Ritual Adat, “ungkap Amaq Degoh sapaan akrabnya.

Ia juga menjelaskan, luas wilayah Sesait berdasarkan Kara-Kara (Kitab Sejarah) memiliki batas-batas yaitu batas sebelah barat laut adalah Dangar Duh (Pohon Kayu Dangar),  yang berada di Tanak Song, Desa Jenggala, Kecamatan Tanjung.  Batas Sebelah Timur laut yaitu Ketapang Sejolo, Dusun Tampes, Desa Selengen, Kecamatan Kayangan. Batas sebelah tenggara yaitu Lokok Tangkok, areal Hutan Lindung dan Hutan Taman Nasional Gunung Rinjani dan sebelah Barat Daya adalah Punikan sebelah utara Kecamatan Lingsar, Lombok Barat.

Namun,  seiring perkembangan zaman, pada era Orde Baru muncul kebijakan Penyeragaman system pemerintahan desa yang mengakibatkan terjadinya pemecahan wilayah Komunitas Adat menjadi tiga bagian wilayah adat dan beberapa desa.

Saat ini, ada empat desa yang tetap memusatkan pelaksanaan Ritual Adat di pusat budaya Kampu yaitu, desa Sesait sebagai desa induk, dengan kepala pemerintahan bergelar Pemusungan, desa Pendua dengan kepala pemerintahan adalah Kepala Desa, desa Kayangan dengan Kepala Pemerintahan adalah Kepala Desa dan desa Santong dengan Kepala Pemerintahan adalah Kepala Desa dimana keempat Desa tersebut berada di Kecamatan Kayangan, KLU.

Kegiatan Ritual Adat Wet Sesait berpedoman kepada ajaran agama Islam, misalanya pada saat pelaksanaan ritual Aji Makam “Pulek Taon Lakok Balit” alias pergantian musim hujan ke kemarau, semua prosesi bernuansa keagamaan seperti mengaji sampai tamat 30 zus kitab Al-Quran di Masjid Lokaq yang dipimpin oleh Lokaq Empat (Empat orang tua dalam system kelembagaan adat)  yaitu Mangku Bumi, Pemusungan, Pengulu dan Jintaka.

Demikian pula dalam Ritual Adat lainnya, misalnya dalam pelaksanaan Peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW, selama tiga hari tiga malam dipusatkan di dalam Kampu dan Masjid Lokaq.

Sementara itu tokoh Masyarakat Adat Lombok Utara Djekat SSos, menyambut baik keinginan Bank Dunia untuk menjadikan Sesait sebagai Pilot Project, dalam hal tata kelembagaan adat. Tokoh kharismatik yang juga Pendiri Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ini mengungkapkan, bahwa kepercayaan Bank Dunia adalah moment bagi kami untuk menjelaskan tentang kebradaan Masyarakat Adat yang sesungguhnya, karena selama ini muncul stigma yang kurang bersahabat terhadap keberadaan komunitas masyarakat adat. Misalnya istilah Waktu Telu yang sering disalah pahami oleh sebagian orang.

“Waktu Telu sering dikonotasikan dengan ajaran sesat dan menyimpang dari ajaran agama Islam padahal tidak demikian, buktinya kami memiliki Kitab Al-Quran cetakan pertam pada zaman Turki  Usmani dan masih banyak lagi benda-benda bersejarah peninggalan Para Wali di dalam Kampu Sesait, “ungkap Bapak Djekat. (Hamdan Wadi)

Nilai-Nilai Kearifan Lokal Merenten Sebagai Falsafah Hidup (16)

SESAIT,--Merujuk pada dinamika kehidupan modern saat ini, kita dapat saksikan warna kehidupan yang didominasi oleh sikap dan prilaku yang merupakan buah transformasi budaya  Barat sebagai pengaruh langsung Globalisasi.

Sikap dan prilaku tersebut adalah cerminan dari mindside berpikir yang tidak lazim dimiliki oleh masyarakat Dunia Timur. Kerangka pikir Dunia Barat tersebut dimotori oleh paham Kapitalisme yang lahir dari filsafat materialisme dan filsafat Dialektika.

Filsafat materialisme memandang kehudupan ini sebagai suatu system mekanistik yang  akan terus berjalan dan akan menghasilkan materi baru sebagai hasil perubahan dari materi itu sendiri.

Masyarakat Barat memandang bahwa materi adalah realitas kehidupan sehingga setiap aktivitasnya harus menghasilkan materi walaupun jalan yang ditempuh tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana dianut masyarakat Dunia Timur.

Strategi atau upaya untuk menghasilkan materi adalah dengan membangun system kapitalistik, dimana penguasaan terhadap modal (uang, bahan baku industri, energi, dll) merupakan tujuan dalam rangka mencapai kepuasan hidup. Untuk menjamin berjalannya system kapitalis maka dikombinasikan dengan faham liberal (paham Kebebasan individual). Kebebasan tanpa batas dan tanpa kendali Agama sebagai sumber Moral.

Masyarakat barat selain memandang materi adalah realitas kehidupan dan penguasaan terhadap materi secara bebas merupakan keharusan, mereka juga meyakini bahwa dalam dinamika kehidupan ummat manusia tidak lepas dari peristiwa komplik. 

Jadi mereka meyakini bahwa komplik adalah keniscayaan (paham Dialektika). Paham dialektika memandang bahwa untuk menghasilkan sesuatu yang baru dan lebih baik harus melalui peristiwa komplik. Paham inilah yang menjadi sumber malapetaka dalam kehidupan umat manusia. Paham ini memicu setiap orang untuk berusaha sekuat mungkin dalam memperoleh atau menguasai sumber-sumber kehidupan demi kepentingan pribadi melalui persaingan tidak sehat.

Dalam persaingan harus ada yang dikalahkan atau harus ada sebagai pemenang dengan pengakuan sebagai orang terkuat layaknya kehidupan rimba.

Mengacu pada realitas tersebut tidak mengherankan jika kita sering menyaksikan terjadinya komplik dimana-mana dalam Negara kita atau di sekitar lingkungan kita sendiri terutama komplik yang didominasi oleh kaum muda. Hal ini adalah akibat dari perubahan cara berpikir dan prilaku yang cenderung kebarat-baratan.

Contoh yang lebih nyata dalam konteks social budaya local masyarakat Lombok Utara, KLU yang nota bene-nya dianggap sebagai masyarakat yang kental dengan nilai-nilai adat istiadatnya justru sebaliknya kering, bagaikan musik tanpa makna.

Masyarakat telah kehilangan jati dirinya sebagai masyarakat yang berbudaya seperti hilangnya solidaritas social, tenggang rasa, gotong royong dan rasa kekeluargaan. Realitas ini timbul sebagai akibat dari arus perubahan cara berpikir pragmatis-praktis dipengaruhi oleh globalisasi dengan kendali kaum-kaum kapitalisme dan imperialisme barat yang memandang bahwa materi adalah tujuan hidup dan manusia tidak ada bedanya dengan binatang, siapa kuat ia menang (eloknya seperti hukum rimba).

Menyimak realitas tersebut,  tentu kita perihatin sebagai anak bangsa yang meyakini bahwa kita adalah bangsa yang besar dan beradap atau bangsa yang memiliki budaya dan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur dengan menganggap orang lain adalah saudara dan kawan bukan lawan atau pesaing.

Namun demikian membangun prinsip dan konsep hidup tersebut tidaklah mudah karna harus memiliki landasan yang kuat sebagai sumber moral dan sumber kaedah-kaedah dalam kehidupan. Artinya suatu komunitas masyarakat tertentu yang memiliki latar belakang sejarah dan sumber moral adalah sangat potensial dalam mempengaruhi dinamika kehidupan global baik secara langsung maupun tidak (membangun kader-kader muda yang cerdas dan bermoral), misalnya seperti Komunitas Masyarakat Adat Wet Sesait.

Masyarakat wet Sesait dalam wilayah Kabupaten Lombok Utara merupkan masyarakat yang masih mengakui dan terikat dengan nilai-nilai adat istiadat (Lokal Genuine).

Salah satu indikatornya adalah semboyan merenten (Persaudaraan). Walaupun demikian tidak dipungkiri terjadinya pergeseran nilai akibat kebijakan pariwisata dengan tidak mengindahkan nilai-nilai kearifan local.

Semboyan merenten tidak lahir begitu saja, tetapi semboyan merenten merupakan hasil atau bentuk dari kemurnian nilai-nilai adat istiadat dan budaya berdasarkan keyakinan keagamaan.

Secara harfiah merenten berasal dari kata dasar renten yang artinya saudara dan imbuhan me- yang menyebabkan kata benda berubah menjadi kata kerja me-renten yang maknanya bersaudara. Melihat bentuk kata dari semboyan merenten maka dapat disimpulkan bahwa para leluhur masyarakat wet sesait menghendaki semboyan merenten tidak sekedar sebagai symbol belaka tapi lebih menekankan kepada penerapan atau pelaksanaan nilai-nilai merenten dalam kehidupan sehari-hari.

Secara sosiokultural masyarakat wet Sesait merupakan masyarakat adat/tradisi sekaligus juga masyarakat yang religius. Masyarakat wet Sesait berkeyakinan bahwa antara adat istiadat dan agama tidak bisa dipisahkan, agama adalah ruh dari adat istiadat itu sendiri. Hal ini bisa terlihat dari struktur kelembagaan adat yang terdiri dari pemusungan adat, pemangku adat, Kiyai, dan mangku bumi.

Kondisi sosiokultural masyarakat Wet Sesait dipengaruhi cara pandang atau falsafah hidup masyarakatnya. Mereka memandang kehidupan ini sebagai sebuah anugrah Tuhan sekaligus juga amanah Tuhan yang harus dijalani dan dipelihara. Kehidupan dunia merupakan tanggung jawab kekhalifahan dimana setiap orang merupakan pelaksana dari tanggung jawab tersebut maupun dengan berkelompok.

Pandangan hidup masyarakat wet Sesait mempengaruhi pola interaksi baik pola interaksi antar sesama manusia/relasi sosial, pola intraksi dengan alam maupun cara berhubungan dengan Tuhan dan selanjutnya sangat mempengaruhi model struktur kelembagaan adat.

Cara Pandang  tentang alam semesta tersebut mempengaruhi pola Intraksi atau relasi masyarakat dengan alam misalnya dalam memanfaatkan hasil hutan atau ekosistem lainnya. Prinsip hidup dalam memanfaatkan alam bagi masyarakat adalah “Aik Meneng Empak Bau Tunjung Tilah dan Bau Besi Bau Asak (Oleh Kamardi).

Makna dari falsafah ini adalah bahwa dalam setiap aktivitas memanfatkan alam kita tidak boleh berlebihan atau dengan tanpa merusak ekosistem/alam itu sendiri, kelestarian lingkungan tetap terjaga, sedangkan bau Besi bau asak bermakna bahwa setiap sesuatu yang diambil dari alam tidak boleh berlebihan sehingga menjadi mubazir oleh karena itu barang tersebut harus di olah terlebih dahulu sehingga menjadi sesuatu yang berdaya guna.

Masyarakat memandang alam semesta adalah anugrah Tuhan yang harus dipelihara dan dijaga kelestariannya karena mereka memandang alam juga adalah mahluk ciptaan Tuhan yang memiliki ruh dan merupakan titipan Ilahi yang harus diperlakukan sama.
 Sehingga dalam memanfaatkan alam, masyarakat tradisi, tidak boleh mengambil secara berlebihan dan disertai tanggung jawab untuk memulihkan kembali sesuatu dari alam yang dimanfatkan.

Untuk lebih menjamin prinsip atau nilai-nilai hidup bisa menjadi standar interaksi dengan alam atau menjadi kesadaran kolektif yang melekat pada masing-masing individu dalam kehidupn sehari-hari, masyarkat tradisi membuat awik-awik yang merupakan hasil consensus bersama melalui musyawarah.

Sedangkan dalam pola interaksi dengan sesama/relasi sosial masyarakat tradisi menjadikan merenten sebagai semboyan dalam kehidupan bermasyarakat. Setiap orang dalam wilayah wet adalah bagian dari keluarga besar yang memiliki hak dan kewajiban yang sama.

Dari hasil kajian awal tentang pranata social yang ada di msyarakat wet sesait dan kajian literature budaya nusantara menunjukkan bahwa budaya nusantara dengan segala keanekaragamannya merupakan potensi yang harus tetap dipelihara dan dikembangkan sebagai identitas bangsa dalan rangka menumbuhkan kepercayaan diri sebagai bangsa yang setara dengan bangsa lain untuk mewujudkan perdamian abadi di dunia. .(Eko